Kewajiban Pelabelan Kemasan Beras Perlu Lebih Rinci
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan mengubah beberapa ketentuan dalam aturan tentang kewajiban pencantuman label pada kemasan beras dengan tujuan meningkatkan efektivitas. Terkait perubahan aturan ini, para pelaku usaha menyatakan dukungannya, tetapi dengan beberapa catatan.
Beberapa ketentuan yang diubah terdapat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 59 Tahun 2018 tentang Kewajiban Pencantuman Label Kemasan Beras. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 08/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 59/2018 tentang Kewajiban Pencantuman Label Kemasan Beras dan mulai berlaku sejak diundangkan, yaitu pada 21 Februari 2019.
”Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kewajiban pencantuman label pada kemasan beras yang diperdagangkan,” ungkap Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Veri Anggriono dalam keterangan pers, Jumat (15/3/2019).
Pada Permendag No 08/2019 di Pasal 1 Ayat 3 menyatakan, pengemas beras adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengemasan beras milik sendiri, atau beras hasil pengumpulan untuk diperdagangkan kepada konsumen.
Sebelumnya, Permendag No 59/2018 menyatakan, pengemas beras adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengemasan beras milik sendiri, atau beras hasil pengumpulan untuk diperdagangkan.
Selanjutnya, di Pasal 2 Permendag No 08/2019 diatur kewajiban pencantuman label dalam bahasa Indonesia bagi pelaku usaha yang memperdagangkan beras dalam kemasan kurang dan atau sama dengan 50 kilogram. Pada Permendag sebelumnya, tidak ada ketentuan pencantuman besaran jumlah beras yang diperdagangkan.
Perubahan lainnya, pada Pasal 4 Ayat 1 Permendag No 08/2019 mengenai kewajiban mencantumkan label dalam bahasa Indonesia dilakukan pelaku usaha yang merupakan pengemas beras dan atau importir beras. Sebelumnya disebutkan hanya salah satu pelaku usaha, yaitu pengemas beras atau importir beras.
Kemudian Pasal 4 Ayat 2 (b) mewajibkan pelaku usaha mencantumkan pada label kemasan beras dengan memuat keterangan kelas mutu beras, berupa premium, medium, atau khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, keterangan yang tercantum pada label kemasan beras, yaitu jenis beras, berupa premium, medium, atau khusus, termasuk persentase butir patah dan derajat sosoh beras. Pada Pasal 4 ini juga menghapus ketentuan Ayat 2 (f) yang mewajibkan pencantuman keterangan nama dan alamat pengemas beras atau importir beras pada label kemasan beras.
Selain itu, ditambahkan 1 pasal baru antara Pasal 13 dan Pasal 14, yakni Pasal 13A. Pada pasal ini, pelaku usaha harus menyesuaikan pencantuman label berdasarkan ketentuan paling lambat 9 bulan terhitung sejak permendag ini diundangkan.
Catatan bagi pemerintah
Menanggapi sejumlah perubahan ini, Marketing PT Dewa Tunggal Abadi Elvis Alexander menyatakan dukungannya. Ia menilai, dengan adanya kewajiban pelabelan pada kemasan beras, dapat meningkatkan daya saing antarpelaku usaha.
”Peraturan seperti ini bagus untuk pelaku usaha sehingga dapat berkompetisi secara sehat karena ada kewajiban menyertakan informasi yang lengkap terkait kualitas dan berat beras yang dijual. Maka nantinya kami pun dapat membangun branding lebih baik lagi,” ujar Elvis.
Bagi konsumen pun, Elvis mengatakan, aturan ini akan lebih menguntungkan. Sebab, dengan adanya merek, spesifikasi, dan berat beras, para konsumen dapat memilih beras sesuai keinginannya.
Sejalan dengan hal itu, pemilik Toko Mitra Baru Pasar Induk Cipinang, Jumaidi, juga mendukung perubahan aturan ini. Menurut dia, melalui aturan ini, para pelaku usaha akan menjadi tertib dan konsumen diuntungkan karena dapat memilih beras sesuai kualitas, bukan karena kemasan yang menarik.
Meski demikian, Jumaidi menyoroti, dalam penerapan aturan, pemerintah harus lebih jelas siapa sasarannya mengingat sistem dagang beras yang beraneka ragam. Sebab, aturan ini akan mudah diterapkan di pasar-pasar modern, tetapi tidak dengan pasar tradisional.
”Para pedagang beras di pasar modern itu kan tidak pernah menampilkan contoh, semua sudah dalam kemasan. Kalau di pasar tradisional, berasnya itu kan dicurah, tidak ada labelnya. Soalnya, terkadang pedagang kewalahan menetapkan spesifikasi beras yang dijual,” kata Jumaidi.
Lebih lanjut, Jumaidi mengatakan, bagi pedagang beras di pasar tradisional, beras yang didapatkan terkadang mutunya kurang baik, ada kalanya beras mengandung kadar air yang tinggi karena faktor cuaca. Jika demikian, beras harus segera dijual sebelum rusak.
Dalam keadaan tersebut, untuk antisipasi kerusakan beras dalam waktu dekat, para pedagang cenderung mencampur beras berkadar air tinggi dengan beras kering. Maka, tidak mungkin pedagang mencantumkan spesifikasi dari beras tersebut.
”Aturan ini bagus, tapi terlalu rumit dan detail jika diterapkan bagi pedagang beras kecil, terlebih bagi mereka yang menjual beras hanya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari,” ucap Jumaidi. (SHARON PATRICIA)