Indonesia Terimpit Gejolak Ekonomi Global dan Stagnansi Industri Domestik
JAKARTA, KOMPAS -- Meskipun neraca perdagangan nasional mencatatkan surplus pada Februari 2019, sejumlah kalangan menilai kondisi ini patut diwaspadai. Hal ini disebabkan, neraca dagang tersebut mencerminkan Indonesia terimpit gejolak ekonomi global dan stagnansi perindustrian domestik.
Badan Pusat Statistik mendata, neraca dagang pada Februari 2019 surplus sebesar 329,5 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 4,715 triliun dengan kurs referensi JISDOR Bank Indonesia. Surplus ini disumbang oleh nilai ekspor sebesar 12,53 miliar dollar AS dan impor 12,2 miliar dollar AS.
Secara terperinci, ekspor pada Februari 2019 turun 10,03 persen dibanding Januari 2019 dan turun 11,33 persen dibandingkan Februari 2018. "Situasi dunia masih berubah dan belum pulih. Dampaknya, ekspor kita ke Jepang, AS, dan China negatif," kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Badan Pusat Statistik mendata, ekspor ke negara-negara tujuan tradisional seperti AS, China, dan Jepang turun pada Februari 2019. Ketiga negara ini memiliki proporsi 34,3 persen terhadap pangsa ekspor nonmigas nasional pada Januari-Februari 2019. Neraca dagang antara Indonesia dengan China dan Jepang tercatat defisit.
Defisit
Ekspor Indonesia ke AS merosot paling dalam dibandingkan negara lainnya pada Februari 2019, yakni sebesar 238,7 juta dollar AS atau turun 15,79 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Produk ekspor yang paling menurun berasal dari kelompok lemak dan minyak nabati dan hewani, karet, tekstil, serta alat mesin. Meskipun demikian, neraca dagang Indonesia dengan AS masih surplus 1,51 miliar dollar AS.
Penurunan ekspor nasional terbesar kedua ialah ke China, yakni sebesar 191,1 juta dollar AS atau sebesar 11,07 persen dibanding Januari 2019. Produk yang berkontribusi dalam penurunan itu berasal dari kelompok bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati dan hewani, bahan kimia organik, serta alas kaki. Neraca dagang antara Indonesia dan China mencatatkan defisit terdalam dibandingkan negara lainnya pada Februari 2019, yakni sebesar 3,9 miliar dollar AS.
Nilai ekspor Indonesia ke Jepang juga turun sebesar 162,3 juta dollar AS atau sebesar 13,57 persen dibanding bulan sebelumnya. Penurunan ekspor disumbang oleh kelompok lemak dan minyak nabati dan hewani, bahan bakar mineral, serta kayu dan barang kayu. Defisit negara dengan Jepang tercatat sebesar 413 juta dollar AS.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, penurunan ekspor nasional secara umum salah satunya disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global. "Negara-negara tujuan ekspor tradisional seperti AS dan China juga tengah melambat," ucapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Dana Moneter Internasional atau IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 sebesar 3,5 persen, turun dari tahun 2018 yang mencapai 3,7 persen. Pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen dan China dari 6,6 persen menjadi 6,2 persen.
Oleh sebab itu, Suhariyanto mengimbau pemerintah untuk mendiversifikasi pasar ekspor. Harapannya, negara-negara tujuan nontradisional dapat menopang ekspor Indonesia ketika pasar tradisional tengah mengalami turbulensi ekonomi.
Keragaman pasar ekspor juga disoroti oleh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal. Menurutnya, Indonesia tidak bisa bergantung terus-menerus pada pasar tradisional yang rentan pada gejolak ekonomi global.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, per Maret 2019, Indonesia telah meratifikasi perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) dengan Chili dan perjanjian perdagangan preferensial (PTA) dengan Pakistan. Indonesia juga mengimplementasikan nota kesepahaman dengan Palestina.
Berdasarkan data BPS, ekspor ke Chili pada Februari 2019 melonjak 41,38 persen dibandingkan Februari 2018. Nilai ekspornya menjadi 12,5 juta dollar AS.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, pelaku usaha dan industri membutuhkan dukungan fasilitas dari pemerintah untuk penetrasi pasar-pasar nontradisional. Fasilitas itu dapat berupa, pertemuan antarbisnis (business to business) dan pencarian jalur perdagangan yang efisien secara biaya bagi eksportir Indonesia ke negara tujuan.
Benahi manufaktur
Di sisi lain, impor pada Februari 2019 juga merosot sebesar 18,61 persen dibanding Januari 2019 dan 13,98 persen dibanding Februari 2018. Berdasarkan kelompok penggunaan barang, impor bahan baku dan penolong anjlok hingga 21,11 persen secara bulanan dan 15,04 persen secara tahunan menjadi 9,01 miliar dollar AS.
Menurut Darmin, kondisi ini mesti diwaspadai. Impor bahan baku dan penolong dibutuhkan untuk aktivitas industri. "Jangan sampai pertumbuhan ekonomi (nasional) nanti terpengaruh. Kita perlu segera membenahi sektor manufaktur," ucapnya.
Darmin mengatakan, dampak penurunan impor bahan baku dan penolong terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tidak pada saat yang sama dan tidak bersifat serta-merta. Oleh sebab itu, ada kesempatan untuk memperbaikan persoalan tersebut.
Dari sisi pelaku usaha, Shinta berpendapat, kinerja industri Indonesia dalam kondisi tak bisa meningkat. Hal ini disebabkan pasar internasional tengah tidak berselera dalam pembelian produk. Pelaku industri internasional tengah menunggu dan melihat dalam mengambil komitmen yang terkait dengan aktivitas produksi.
Fithra menyoroti, pertumbuhan industri yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,17 persen sedangkan pertumbuhan PDB di bidang industri senilai 4,25 persen.
Padahal, bidang industri memiliki kontribusi tertinggi dalam struktur PDB nasional pada 2018, yakni sebesar 19,82 persen. "Oleh sebab itu, surplus neraca dagang pada Februari 2019 merupakan surplus yang mengkhawatirkan. Secara struktur ekspor-impor, angka ini menunjukkan lesunya aktivitas industri nasional," tutur Fithra.
Komoditas
Dari segi komoditas yang diekspor, Indonesia masih mengandalkan produk berbasis karet dan kelapa sawit. Secara tahunan, ekspor karet dan barang dari karet pada Januari - Februari 2019 turun 13,22 persen menjadi 925 juta dollar AS.
Sebelumnya, pada pekan pertama Maret 2019, Dewan Tripartit Karet Internasional atau ITRC yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand telah merinci pengurangan ekspor karet alam. Indonesia sepakat mengurangi ekspor sebanyak 98.000 ton, Thailand 124.000 ton, Malaysia 18.000 ton. Kesepakatan ini akan dijalankan pada 1 April 2019 mendatang.
Sementara itu, ekspor produk minyak kelapa sawit turun 13,25 persen pada Januari-Februari 2019 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 2,6 miliar dollar AS. Secara bulanan, ekspor pada Februari 2019 turun 15,25 persen menjadi 1,196 miliar dollar AS.
Salah satu negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit yang mengalami penurunan ialah India. Secara tahunan, angka ekspornya menurun 23,49 persen dan bulanan 13,22 persen.
Produk berbasis karet dan kelapa sawit tergolong dalam 10 besar golongan barang utama yang diekspor. Oleh sebab itu, Suhariyanto mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan pergerakan dua komoditas tersebut.