Tegakan hutan di Sumatera Selatan menurun pesat dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, penebangan pohon dan pembakaran hutan ilegal. Skema perhutanan sosial perlu didorong agar masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga hutan.
Oleh
Rhama Purna Jati
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Tegakan hutan di Sumatera Selatan menurun pesat dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, penebangan pohon dan pembakaran hutan ilegal. Skema perhutanan sosial perlu didorong agar masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga hutan.
Berdasarkan data yang dimiliki Hutan Kita Institute (HaKI), total kawasan hutan di Sumsel mencapai 3,5 juta hektar. Namun, dari jumlah tersebut, tegakan hutannya diperkirakan tinggal 855.750 hektar. Jumlah itu turun dibandingkan tahun 2015, sebanyak 904.000 hektar.
"Modus para pelaku dimulai dengan menebang pohon, membakarnya, dan merubah fungsi kawasan menjadi perkebunan," kata Direktur Riset dan Kampanye HaKI Adiosyafri di Palembang, Kamis (14/3/2019).
Berdasarkan, pantauan satelit, tegakan hutan di Sumsel hanya ada di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Sembilang, Suaka Margasatwa Dangku, Hutan Daerah Aliran Sungai Hulu, dan Hutan Harapan.
“Akan tetapi, di daerah itu juga masih terjadi perambahan dan penebangan hutan ilegal,” ucap Adiosyafri.
Adiosyafri menerangkan, apabila tidak segera dihentikan, hal itu akan berdampak semakin menurunnya tegakan hutan di Sumsel. Dia mencontohkan, Hutan Harapan seluas 98.000 hektar. Sebanyak 52.000 hektar berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel dan 46.000 hektar lainnya di Jambi.
"Kondisinya semakin terancam akibat pembukaan jalan untuk kawasan tambang. Saat ini, ketika akses menuju Hutan Harapan sulit ditempuh saja banyak terjadi perambahan. Ketika jalan tambang terealisasi, para perambah mungkin akan semakin leluasa menjalankan aksinya,” ungkap Adiosyafri.
Untuk menekan potensi itu, Adiosyafri mengatakan, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan harus dilibatkan. Caranya, menggalakan perhutanan sosial agar masyarakat bisa mengelola lahan tersebut untuk meningkatkan perekonomian hidup.
“Dengan cara ini, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga hutan dari perambahan dan penebangan liar,” ungkap Adiosyafri.
Adri (47) mantan pelaku jual beli kayu di Kecamatan Desa Peninggalan, Kecamatan Tungkal Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin, menerangkan, praktik penebangan liar sudah lama terjadi, terutama di Desa Bintialo, Kecamatan Batanghari Leko. Di daerah itu, masih ada beberapa tempat pemotongan kayu. Biasanya, kayu dari hutan dibawa menggunakan jalur darat atau dialirkan melalui sungai.
"Setelah itu lantas dibawa menggunakan truk. Kayu itu tanpa dokumen resmi. Namun karena sudah ada backing (pelindung), truk bisa berjalan bebas tanpa halangan,” ungkapnya.
Saat masih aktif jual beli kayu illegal pada tahun 2008, misalnya, untuk sampai ke Palembang, dia harus melewati enam tempat pemungutan liar. Istilah dalam bahasa setempat dinamakan “ngemil”.
“Kami harus membayar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per pos kepada oknum petugas melancarkan perjalanan ke Palembang,” kata Adri.
Hingga saat ini, praktek jual beli kayu ilegal masih saja terjadi. seperti di Macan sakti, Kecamatan Sanga Desa dan Simpang Empat Dayung, Kecamatan Batang Hari Leko. Itu sebabnya, harga satu meter kubik kayu bisa mencapai Rp 2 juta di Palembang. Padahal, saat dibeli hanya Rp 850.000 per meter kubik.
Kepala Kepolisian Daerah Sumsel Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegoro berkomitmen membongkar praktik ini sampai terungkap. Pihaknya sudah menginstruksikan Kepolisian Resor Musi Banyuasin menyelidiki asal kayu yang dikirimkan dari sana. Jika ada oknum polisi yang terlibat, Zulkarnain berjanji akan menerapkan tindakan tegas.