TORINO, SELASA — Dua puluh enam tahun silam di Pulau Madeira, Portugal, klub sepak bola usia muda, Andorinha, tertinggal 0-2 dari Camacha pada paruh laga. Melihat hasil itu, seorang pemain Andorinha menangis tersedu-sedu di bangku cadangan. Bocah berusia delapan tahun itu bernama Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro.
Ronaldo muda amat sedih karena timnya kalah di paruh pertandingan. Dia tidak bisa membantu timnya karena duduk di bangku cadangan. ”Dia menangis kencang seperti seorang bocah yang kehilangan mainannya,” kenang Presiden Klub Andorinha musim 1993-1994, Rui Santos, dalam buku otobiografi Ronaldo karya Luca Caioli.
Lelaki asal Madeira, pulau terpencil di barat daya Portugal, itu memang membenci kekalahan. Dia sempat tidak mau bermain sepak bola lagi karena Andorinha adalah tim kecil yang hampir pasti akan kalah.
”Dia dijuluki si cengeng karena mudah menangis jika berhubungan dengan sepak bola. Seperti saat timnya kalah, juga saat tak mampu mencetak gol atau rekan timnya tidak memberinya umpan,” kata ibu Ronaldo, Maria Dolores.
Motivasi dari sang ayah, Jose Dinis Aveiro, membuatnya lebih dewasa. Meski sering mabuk, Aveiro pernah berkata, hanya orang lemah yang mudah menyerah. Kalimat itu yang memotivasi Ronaldo hingga kini.
Saat air matanya belum mengering, Ronaldo muda bangkit dari bangku cadangan. Bocah bertubuh tegap itu dimainkan pada awal babak kedua. Dengan percaya diri, dia mencetak dua gol untuk membawa Andorinha menang 3-2 atas salah satu klub terbaik di wilayah itu.
Setelah 26 tahun berlalu, dia berubah dari bocah cengeng menjadi peraih lima kali gelar pemain terbaik dunia. Dari pemain cadangan di Madeira, Ronaldo menjadi pahlawan di Turin, Italia, bersama Juventus.
Pada Rabu (13/3/2019) dini hari WIB, Ronaldo mengantarkan Juventus lolos ke perempat final Liga Champions. Hattrick pemain nasional Portugal itu membawa ”Si Nyonya Besar” mengalahkan Atletico Madrid, 3-0, pada laga kedua babak 16 besar di Stadion Allianz. Mereka lolos dengan agregat 3-2.
Ronaldo seperti membawa mesin waktu ke masa kecilnya. Sama seperti di Andorinha, Juventus tertinggal 0-2 pada laga pertama di Madrid. Atletico pun lebih diunggulkan untuk lolos. Alih-alih menangis, Ronaldo justru membuat pemain dan pendukung lawan menangis. Dia mencetak dua gol sundulan pada menit ke-27 dan ke-48 serta gol penentu lewat titik putih empat menit menjelang laga berakhir.
Pengoleksi lima gelar Liga Champions bersama Real Madrid dan Manchester United itu menyadari tugasnya di Juventus, yaitu membawa tim asal Turin meraih trofi itu setelah paceklik gelar selama 23 tahun. ”Saya hanya melakukan tugas dan sangat senang malam ini. Mungkin karena itu mereka menghadirkan saya di sini,” katanya.
Ronaldo seolah hantu paling mengerikan untuk Atletico. Mantan pemain Real Madrid itu total mencetak 25 gol dan 8 asis dalam 33 pertandingannya melawan ”Los Rojiblancos”.
Sejak dilatih Diego Simeone pada 2011, Atletico tercatat lima kali masuk ke fase gugur Liga Champions. Dari lima kesempatan itu, semuanya digagalkan tim Ronaldo, empat kali bersama Real Madrid dan terakhir bersama Juventus.
Simeone pun tak bisa berkata apa pun selain memuji pencetak 124 gol di Liga Champions itu. ”Dia selalu memikirkan perasaan pendukung dan memperlihatkan bagaimana seharusnya klub besar seperti Juventus bermain,” kata pelatih asal Argentina tersebut.
Atletico seperti tidak berdaya pada laga kemarin. Dengan formasi 4-4-2, duet striker Antoine Griezmann dan Alvaro Morata hanya menghasilkan satu tendangan ke gawang. Sekali lagi, Ronaldo menghalangi impian Atletico menjadi juara Liga Champions yang finalnya tahun ini digelar di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, kandang Atletico. (REUTERS)