JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mewacanakan fasilitas penggunaan lahan secara gratis untuk investasi berorientasi ekspor dan substitusi impor. Wacana ini dilontarkan sebagai alternatif meningkatkan investasi dan ekspor.
”Saya sebetulnya mau nyoba juga, ada salah satu provinsi yang kita siapkan lahan di mana investor datang enggak usah beli lahan, enggak usah sewa lahan. Langsung dirikan, silakan. Asal orientasinya ekspor atau barang substitusi impor. Harus berani seperti itu,” kata Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2019 di Indonesia Convention Exhibition, BSD, Tangerang, Banten, Selasa (12/3/2019).
Acara digelar oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hadir mendampingi Presiden antara lain Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, dan Gubernur Banten Wahidin Halim. Hadir sekitar 1.000 undangan. Mereka antara lain pejabat pemerintah daerah di bidang investasi.
Fasilitas penggunaan lahan gratis sebagaimana diwacanakan Presiden tersebut merujuk Vietnam. Menurut Presiden, insentif yang disediakan Pemerintah Vietnam atraktif sekali. Salah satunya adalah fasilitas penggunaan lahan gratis untuk investasi dengan ketentuan tertentu.
Sejalan dengan itu, Presiden juga melontarkan wacana perlunya kementerian yang khusus mengurusi investasi dan ekspor. Wacana ini juga disampaikan Presiden kepada para pembantunya dalam rapat kabinet pekan lalu.
”Mungkin dari sisi kelembagaan memang kita harus memiliki menteri investasi dan menteri ekspor. Dua menteri mungkin perlu. Tapi, nanti kalau ada menteri itu juga gak nendang lagi, yang salah ya kita semuanya,” kata Presiden.
Kedua wacana tersebut, yakni fasilitas penggunaan lahan gratis serta adanya kementerian investasi dan kementerian ekspor, disampaikan karena Presiden menilai kinerja investasi dan ekspor Indonesia tidak optimal. Padahal, Indonesia memiliki modal kuat dan telah melakukan sejumlah perbaikan struktural.
Modal kuat yang dimaksud antara lain adalah Indonesia kaya sumber daya alam dan memiliki banyak tenaga kerja. Ekonomi makro Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga terus membaik.
Adapun upaya perbaikan struktural yang telah dilakukan antara lain adalah pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Pemerintah juga giat melakukan deregulasi, debirokratisasi, dan penyederhanaan perizinan, seperti dengan menerapkan sistem perizinan elektronik.
Semua upaya perbaikan menghasilkan persepsi positif dari dunia internasional. Misalnya predikat layak investasi yang disematkan oleh tiga lembaga pemeringkat internasional. Bukti lainnya adalah survei United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi paling menarik keempat di dunia.
Namun, Presiden tidak puas dengan realisasi investasi dan ekspor sejauh ini. Tingkat realisasi investasi, misalnya, hanya 10 persen dari total rencana investasi. Sementara untuk ekspor, meski meningkat, peningkatannya lebih rendah dari pertumbuhan impor sehingga neraca perdagangan defisit.
”Yang saya rasakan sehari-hari, investor berbondong-bondong. Saya sering ketemu, kok. Bukan kadang-kadang, sering sekali menemui (calon investor). Tetapi, kok, tidak ada yang terealisasi. Ini yang salah di mana? Di pusat, di provinsi, di kota, atau di kabupaten? Ada yang salah ini kita,” kata Presiden.
Investasi dan ekspor menjadi perhatian Presiden selama ini sebab dua hal tersebut merupakan kunci memacu pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Kedua faktor itu sekaligus kunci memperbaiki persoalan struktural bangsa Indonesia yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan berkomplikasi ke berbagai lini, yakni defisit transaksi berjalan.
Tahun lalu adalah tahun yang berat untuk investasi sebab ada tiga tekanan.
”Akan saya cek dan kontrol yang salah di mana. Investor dalam dan luar negeri datang ingin investasi ini dan itu. Kok, tidak menetas. Ini pasti ada problem. Apakah kecepatan perizinan kita. Apakah mungkin urusan pembebasan lahan yang bertele-tele sehingga mereka pergi. Atau pelayanan kita yang tidak cepat dan tidak baik. Harus dicari ini,” kata Presiden.
Investasi dan ekspor adalah kunci mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kedua faktor itu sekaligus menjadi kunci untuk mengatasi persoalan struktural Indonesia, yakni defisit transaksi berjalan. ”Saya itu paling geregetan kalau kita mengerti kesalahan kita, kita mengerti kekurangan kita, kita mengerti jalan keluarnya, tetapi kita tidak bisa menuntaskan masalah yang ada,” kata Presiden.
Dalam laporannya, Lembong mengatakan, penanaman modal asing di Indonesia pada 2018 tumbuh -8,8 persen. Padahal, biasanya dua digit. Kondisi ini konsisten di seluruh dunia. Data PBB menunjukkan, investasi langsung secara global tumbuh -20 persen pada 2018.
Tahun lalu, menurut Lembong, adalah tahun yang berat untuk investasi. sebab ada tiga tekanan yang menghantam. Pertama adalah perang dagang Amerika Serikat-China. Kedua, Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan hingga empat kali dalam setahun. Ketiga, kebijakan pengampunan pajak di AS pada 2017 yang menyebabkan repatriasi besar-besaran dollar AS ke AS.
Namun, pada akhir 2018, Lembong melanjutkan, ia mulai melihat pemulihan. Trennya makin kentara pada awal 2019. ”Tahun ini kami percaya diri, PMA kembali double digit. Semangat kami saat ini mendorong kesiapan setinggi-tingginya untuk mengaktualisasi pemulihan itu,” kata Lembong.