Pembangunan Konawe Kepulauan Fokus Ekonomi Berkelanjutan
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pengembangan ekonomi Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, fokus pada sektor pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan. Daerah yang hanya satu pulau seluas 1.514 kilometer persegi itu dinilai tak cocok untuk pertambangan.
Bupati Konawe Kepulauan Amrullah menyampaikan hal itu saat ditemui di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (13/3/2019). Hal itu dikatakan menanggapi gelombang aksi penolakan tambang yang dilakukan warga dan mahasiswa di Kendari dalam seminggu terakhir. Unjuk rasa dilakukan warga dan mahasiswa pada Rabu (6/3/2019) dan Senin (11/3/2019). Tuntutannya, pencabutan izin pertambangan di kabupaten tersebut.
”Kami fokus ke pertanian dan perkebunan. Pulau Wawonii (yang menjadi kabupaten) kecil. Konsepnya pembangunan berwawasan lingkungan. Kalau pertambangan, mungkin saat ini belum ada dampaknya, tetapi nanti dirasakan oleh generasi mendatang,” ujarnya.
Amrullah mengatakan, pemerintah sedang membangun jaringan irigasi untuk sawah seluas 1.500 hektar. Sawah itu selama ini membuat pulau tersebut menikmati swasembada beras. Sektor perkebunan juga menjadi perhatian dengan pengembangan pada empat komoditas utama, yakni mete, cengkeh, pala, dan kopra.
Konsepnya pembangunan berwawasan lingkungan. Kalau pertambangan, mungkin saat ini belum ada dampaknya, tetapi nanti dirasakan oleh generasi mendatang.
Ia memastikan rencana tata ruang Konawe Kepulauan tak mengakomodasi pertambangan. Hal itu telah dikuatkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang mengeliminasi pertambangan karena Pulau Wawonii termasuk pulau kecil.
Dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 1 Ayat 3 regulasi itu menyebutkan pulau kecil merujuk pada pulau yang luasnya tak lebih dari 2.000 kilometer persegi. Dalam Pasal 23 Ayat 2 disebutkan kegiatan ekonomi di pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, perikanan, pertanian, pendidikan, dan pengembangan.
Hidup dari perkebunan
Warga Kabupaten Konawe Kepulauan selama ini memang mengandalkan penghidupan di sektor perkebunan dengan komoditas utama mete, cengkeh, pala, dan kopra. Komoditas itu dinilai menyejahterakan. Karena itu, warga menolak pertambangan masuk di kabupaten yang wilayahnya mencakup seluruh Pulau Wawonii tersebut.
”Kami merasa sudah cukup dengan perkebunan. Berkat perkebunan, kami bisa menyekolahkan anak dan membangun rumah yang baik,” kata Rasyid (61), warga Desa Roko-roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, di Kendari, Rabu.
Kami merasa sudah cukup dengan perkebunan. Berkat perkebunan, kami bisa menyekolahkan anak dan membangun rumah yang baik.
Warga datang ke Kendari, ibu kota provinsi, untuk berunjuk rasa secara damai yang menurut rencana digelar pada Kamis (14/3/2019). Unjuk rasa itu dilakukan untuk menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Pulau Wawonii ditempuh dengan perjalanan laut selama empat jam dari Kendari. Luas daratan pulau itu mencapai 867 kilometer persegi. Aktivitas ekonomi utama di sana adalah perkebunan dengan komoditas andalan mete, pala, cengkeh, dan kopra.
Penopang kehidupan lainnya adalah sektor perikanan tangkap. Kawasan permukiman warga berada di pesisir, sementara perkebunan warga mengelilingi pegunungan berhutan di bagian tengah pulau.
Pertambangan saat ini belum berjalan. Hanya ada satu perusahaan yang bersiap melakukan operasi produksi. Wilayah penambangannya berada di Desa Roko-roko Raya.
Rasyid mengatakan, dari penjualan mete, misalnya, ia bisa mengantongi pendapatan Rp 50 juta per tahun. Hasil itu didapat dari produksi 5 ton per tahun dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Bertahun-tahun komoditas itu mampu menopang ekonomi keluarga Rasyid. Tiga dari delapan anaknya merengkuh pendidikan tinggi berkat penjualan komoditas perkebunan.
”Kami sudah sejahtera dengan apa yang kami miliki,” ujar Alma. Dua anaknya sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, dua lainnya masih duduk di sekolah menengah.
Alma (46), juga warga Roko-roko Raya, mengatakan hal yang sama. Dia berjuang untuk menolak tambang karena sudah menikmati hasil perkebunan. ”Kami sudah sejahtera dengan apa yang kami miliki,” ujar Alma. Dua anaknya sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, dua lainnya masih duduk di sekolah menengah.
Terkait dengan tuntutan warga, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi pada Senin lalu menyatakan, dirinya membekukan atau menghentikan sementara operasi 15 IUP di Konawe Kepulauan. Langkah tersebut diambil untuk mengevaluasi kelayakan kabupaten itu terhadap pertambangan.
Total 15 IUP tersebar di Pulau Wawonii. Masa berlakunya hingga tahun 2030. Bahan tambangnya berupa mineral logam, terutama nikel, ataupun nonlogam. Ali menegaskan, kalau hasil evaluasi menunjukkan pertambangan tak layak di Pulau Wawonii, IUP dicabut permanen.