Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengirim tim penegakan hukum ke Aceh untuk memburu pelaku penembakan terhadap orangutan sumatera di Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Satu individu orangutan betina, usia 30 tahun, korban penembakan kini dalam keadaan kritis dan dirawat di pusat rehabilitasi orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengirim tim penegakan hukum ke Aceh untuk memburu pelaku penembakan terhadap orangutan sumatera di Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Satu individu orangutan betina, usia 30 tahun, korban penembakan kini dalam keadaan kritis dan dirawat di pusat rehabilitasi orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara.
Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, dihubungi dari Banda Aceh, Rabu (13/3/2019), mengatakan, pelaku penembakan orangutan di Subulussalam akan ditindak tegas.
”Kami menugaskan tim Gakkum untuk mendalami dan berkoordinasi dengan para pihak untuk melakukan penegakan hukum terhadap kasus ini,” kata Rasio.
Ia melanjutkan, pihaknya berkomitmen menindak tegas pelaku kejahatan terhadap satwa lindung. Hukuman berat harus memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain. ”Tadi pagi, petugas kami berangkat menuju ke lokasi untuk mendalami dan mencari pelaku penembakan ini,” ujar Rasio.
Dua individu orangutan, yakni induk dan bayi usia 1 bulan, ditemukan dalam keadaan kritis oleh warga di Desa Bunga Tanjung, Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Satwa lindung itu terperangkap di perkebunan sawit warga.
Pada Minggu (10/3/2019), petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Wildlife Conservation Society-Indonesian Program (WCS-IP), dan Yayasan Orangutan Information Center mengevakuasi orangutan itu.
Bayi orangutan berusia 1 bulan itu mati karena gizi buruk. Sementara induknya kini dalam keadaan kritis. Pada tubuhnya ditemukan peluru senapan angin sebanyak 74 butir. Bayi orangutan dikuburkan, sedangkan induknya dirawat di Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit.
Kepala BKSDA Aceh Sapto AJi Prabowo mengatakan, awalnya keberadaan orangutan itu dilihat oleh warga. Kondisi bayi orangutan dan induknya kritis karena terdapat sejumlah luka pada tubuhnya. Dari hasil pindai dengan alat sinar-X, ditemukan 74 peluru senapan angin pada bagian tubuh, kaki, dan tengkorak.
”Kami mengecam keras tindakan biadab menganiaya satwa liar yang dilindungi undang-undang. Kami berharap pelaku ditangkap dan dihukum berat,” kata Sapto.
Orangutan itu diberi nama Hope yang berarti ”harapan”. Sapto berharap, Hope bisa pulih kembali.
Dokter hewan dari The Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), Yenny Saraswati, menuturkan, saat ini Hope dalam perawatan intensif. Beberapa peluru telah dikeluarkan.
Untuk tahap awal, penanganan lebih pada pemenuhan nutrisi dan penanganan mental. Peluru yang bersarang di dalam tubuh orangutan itu kemungkinan tidak bisa dikeluarkan. Hope akan dibiarkan hidup dengan puluhan peluru di dalam tubuhnya.
”Pengangkatan peluru hanya kami lakukan untuk beberapa peluru yang berada di permukaan mengingat kondisi Hope kritis,” ucap Yenni.
Senapan angin
Rasio menambahkan, penggunaan senapan angin perlu dibatasi karena kerap digunakan untuk memburu satwa lindung. Rasio menyebutkan, pihaknya berkoordinasi dengan kepolisian untuk membatasi penggunaan senapan angin. Penggunaan senapan angin untuk menembak orangutan sebelumnya terjadi di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.
Sebelumnya, Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo mengatakan, kondisi orangutan sumatera kian terancam akibat perburuan dan perdagangan satwa. Di samping itu, deforestasi hutan juga memicu kerusakan habitat orangutan.
”Banyak orangutan kini terdesak dan terisolasi karena habitatnya hancur, alih fungsi lahan telah merampas rumah mereka,” ucap Panut.
Banyak orangutan kini terdesak dan terisolasi karena habitatnya hancur, alih fungsi lahan telah merampas rumah mereka.
Pada 2018, OIC mengevakuasi 14 orangutan yang terisolasi di perkebunan warga di Aceh. Orangutan itu kemudian direlokasi ke kawasan hutan. Adapun pada 2018, enam orangutan disita dari warga.
Panut mengatakan, penyitaan tidak memberikan efek jera karena tanpa penindakan hukum. Oleh sebab itu, ia mendesak aparatur menindak warga yang memelihara dan memperdagangkan satwa lindung.