Menunggu 13 Tahun, Akhirnya "Agterplaas" Tiba
Perlu waktu hampir 13 tahun bagi para penggemar kuartet indie rock The Adams untuk menyimak lagu baru. Penantian lama itu akhirnya usai dengan album Agterplaas yang meluncur mulai Rabu (6/3/2019). Pertunjukan untuk peluncurannya dikemas spesial.
“Kami nggak perlu lagi bohong di panggung,” seloroh Saleh Husein, gitaris dan vokalis band itu. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak mulai manggung lagi, band itu sering ditanyai penggemar perihal album baru. “Tahun depan” adalah jawaban yang kerap terlontar. Padahal mereka belum siap.
Saleh, atau panggil saja dia Ale, melontarkan cerita itu di panggung peluncuran album Agterplaas. Mereka tampil di sebuah ruang besar seperti gudang kosong bernama Studio Palem di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Lokasinya agak tersembunyi dari jalan utama.
Pun demikian, sekitar 400 penonton berhasil menemukan lokasi itu. Salah satu di antaranya adalah Torus. Dia adalah kawan dekat Ale; kenal secara pribadi. Namun Torus tidak memanfaatkan kedekatan itu untuk minta tiket gratis. Pekerja panggung ini merogoh kocek Rp 450.000 untuk mendapat album Agterplaas kemasan khusus yang berbonus tiket konser. Tiket pertunjukannya saja, tanpa album, seharga Rp 125.000 telah ludes tiga hari sebelum hari H.
“Gue emang suka (band ini) sejak lama. Boxset ini juga buat dikoleksi,” ucap Torus. Dia datang awal ke studio itu ketika hari belum gelap. Dia berjibaku di tengah kemacetan lalu lintas sore di daerah Pancoran, yang terasa lebih menyiksa akibat hujan. Macet sekian menit seolah tak ada artinya dibandingkan jeda antaralbum yang sampai 13 tahun itu.
Hujan, kemacetan pada jam pulang kantor, dan tanda masuk yang tak bisa dibilang murah, tak menyurutkan langkah pada penggemar The Adams. Mereka menghabiskan petang di arena dengan mengobrol dengan kawan baru maupun lama, atau mengudap mi ayam. Pintu masuk ke dalam gedung studio baru dibuka pukul 20.00, atau kurang sedikit.
Di dalam gedung, Torus terperangah dengan susunan panggung. Dia agak kebingungan, begitu juga penonton lain. Tak heran, di dalam ada lima panggung kecil, sesuai dengan jumlah pemain yang tampil malam itu. Ya, masing-masing pemain dapat panggungnya sendiri.
Penonton bebas memilih mau menyimak permainan siapa. Kalau sudah bosan bisa bergeser ke panggung lainnya. Ini seperti perilaku orang yang datang ke pameran lukisan atau fotografi, misalnya. Rupanya memang kesan seperti itulah yang dirancang The Adams, yang lahir dari tongkrongan di kampus Institut Kesenian Jakarta pada 2002 ini.
Ale, sebagai anggota band yang paling supel, ditempatkan di sisi kanan, tak jauh dari pintu masuk. “Dia jadi among (penerima) tamu,” celetuk Ario Hendarwan, juga gitaris. Di seberang panggung Ale adalah area milik Gina Salsabila, pemain tambahan di posisi keyboard.
Penonton bebas memilih mau menyimak permainan siapa. Kalau sudah bosan bisa bergeser ke panggung lainnya.
Di samping kiri panggung Gina, yang lebih menjorok lagi ke dalam, adalah wilayah kekuasaan Ario. Di seberang Ario merupakan panggung pemain bas Pandu Fathoni. Sementara pemain drum Gigih Suryoprayogo bersemayam di tengah, membelakangi dinding gedung bertuliskan “Agterplaas” besar-besar.
Lagu pertama adalah nomor instrumental berjudul sama dengan album. Keraguan perihal kualitas bunyi akibat panggung yang tersebar itu seketika sirna. Penonton di panggung paling ujung tetap bisa menyimak detil suara setiap instrumen secara utuh, walau memang yang lebih dominan terdengar adalah bunyi dari instrumen di panggung itu.
Titik paling ideal mendapat bunyi yang seimbang adalah di tengah arena. Keseimbangan produksi bunyi itu berupaya dihasilkan dari banyak sekali titik lokasi pengeras suara di sekeliling arena. Tata lampu yang bernuansa warna shocking berhasil membangun suasana seperti era 1980-an.
Sayangnya, untaian layar putih menggantung di atas kepala penonton tak banyak bermanfaat. Semula layar itu bakal menjadi landasan video dokumenter band. Rupanya, penanggung jawab bagian itu mendadak harus dirawat di rumah sakit. Tapi tak apa. Layar putih itu justru bisa menguatkan warna-warni lampu sorot.
Susunan lagu
Urusan teknis produksi yang ciamik itu berbanding lurus dengan konten lagu mereka. The Adams, yang kini punya bekal amunisi lagu lebih banyak, cerdik menyusun repertoire. Lagu-lagu terkenal dari album The Adams (2005) dan v2.05 (2006) disisipkan di antara lagu dari album baru.
Lagu lama “Waiting” ada di antara rangkaian lagu “Agterplaas”, dan “Pelantur”, disusul dengan “Esok”, dan “Lingkar Luar” yang merupakan lagu baru. Jadi, sesi nyanyi bareng tetap ada sebelum kemudian manggut-manggut lagi dengan lagu baru yang masih asing.
Sebenarnya, lagu baru itu tak terasa asing benar. Sebabnya, The Adams tak meninggalkan jejak musikal mereka, yaitu racikan bunyi gitar berdistorsi kalem, dengan gaya menyanyi paduan suara. Keempat personilnya masih jadi vokalis. Gigih bahkan jadi vokalis utama di lagu “Sendiri Sepi”. Suaranya biasa-biasa saja.
Lagu lama “Waiting” ada di antara rangkaian lagu “Agterplaas”, dan “Pelantur”, disusul dengan “Esok”, dan “Lingkar Luar” yang merupakan lagu baru.
“Boy, gimana kalau kita patungan bayarin Gigih les vokal?” seloroh Ale kepada anggota band lainnya. Candaan, atau lebih mirip celaan, kerap terlontar sepanjang pertunjukan berdurasi sekitar 90 menit itu. Candaan itu seperti khas anak satu tongkrongan.
Tak mengehrankan mereka bisa jadi seakrab itu. Pertama, mereka memang terbentuk dari sekumpulan mahasiswa yang sering ngumpul bareng di sela jadwal kuliah. Kedua, ketika menulis dan merekam album baru ini, mereka menghabiskan waktu bareng berbulan-bulan di Studio Teras Belakang di daerah Ciledug, Tangerang, Banten. Padahal, domisili mereka tercerai-berai: ada yang di Bekas, Jakarta, dan Tangerang.
Interaksi di studio itulah yang melatari judul album ini, yang artinya “teras belakang” dari bahasa Afrika Selatan. Tema-tema di album baru muncul dari obrolan mereka di sana. Ada lagu “Lingkar Luar” yang berceloteh tentang lalu lintas di pinggiran Jakarta. Lagu andalan “Masa-masa” adalah cerita tentang kenangan masa muda.
Mereka memang tak semuda dulu, tentu saja. Usia kepala empat menjelang tak lama lagi. Maka bisa dimaklumi kalau ada lagu tentang peran baru sebagai ayah di tembang “Sinar Jiwa” dan “Timur”.
Namun demikian, konser malam itu menyisakan keriangan masa muda. Mereka memilih menutup rangkaian 16 lagu dengan “Konservatif”. Lagu itu bercerita tentang ritual ngapel yang harus usai jam sembilan malam. Karena sudah lebih dewasa, malam itu mereka dan penonton bisa pulang agak lebih larut, yaitu sekitar 22.30 dari konser tanpa sponsor korporat itu.