DBD Renggut Dua Nyawa, Petugas Medis Diminta Lebih Cermat
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demam berdarah dengue telah merenggut dua jiwa dalam kurun waktu Januari-Maret 2019 ini di DKI Jakarta. Petugas medis diminta lebih cermat memeriksa gejala dan tak hanya berpatokan pada hasil tes darah.
Demam berdarah dengue (DBD) kembali merenggut nyawa di Jakarta Timur. Seorang remaja berusia 17 tahun warga Jakarta Timur meninggal pada Februari lalu di sebuah rumah sakit swasta akibat dengue shock syndrome. Kasusnya baru terdapat pada Maret karena diperlukan waktu untuk memastikan penyakitnya adalah DBD.
”Sebelum ke rumah sakit swasta, dia periksa ke dokter praktik swasta. Hasil tes darah saat di dokter baik sehingga oleh dokter belum dirujuk ke rumah sakit. Pada hari ketiga dia ke rumah sakit, kondisinya sudah buruk dan sempat akan dirujuk ke rumah sakit lain, tetapi tidak tertolong,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Hal yang sama juga terjadi pada anak balita usia 4,5 tahun asal Jatinegara, Jakarta Timur, pada 31 Januari lalu. Hasil tes darah menunjukkan trombosit dan hematokrit masih dalam kondisi normal. Namun, beberapa hari sesudahnya, kondisinya memburuk dan tak tertolong karena DBD menyerang organ lain.
Dari dua kasus itu, Widyastuti mengingatkan petugas medis agar tak terpaku hanya pada hasil tes darah sehingga tak terjadi keterlambatan diagnosis. Petugas medis diminta untuk memperhatikan gejala-gejala klinis lainnya.
”Memang dulu ada indikasi pasien dirawat di rumah sakit kalau jumlah trombosit kurang dari 100.000. Sekarang jangan hanya berpegang pada hasil tes darah. Sebab, variasi manifestasi gejala sangat lebar,” katanya.
Para petugas medis diminta untuk lebih jeli menggali informasi dari keluarga pasien. Salah satu indikator yang bisa menjadi tanda adalah berkurangnya frekuensi buang air kecil pada pasien serta apakah pasien sudah pernah mengalami DBD sebelumnya.
Pasien yang pernah terserang DBD sebelumnya, kata Widyastuti, patut diwaspadai karena serangan kedua dan seterusnya berpeluang lebih besar menjadi parah.
Sepanjang 1-12 Maret ini, terdata 172 kasus DBD di DKI Jakarta. Pada Januari tercatat 989 kasus dan 1.354 kasus selama Februari. Dengan demikian, selama 1 Januari-12 Maret 2019 terdata 2.515 kasus dengan dua orang meninggal.
Persentase terbesar pasien DBD adalah anak-anak berusia 7-14 tahun. Jumlah terbesar masih di tiga kota, yaitu Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah memetakan RW-RW rawan DBD yang terus diperbarui setiap pekan. Informasi ini diteruskan kepada pihak terkait untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan pengasapan (fogging). Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga tengah memetakan sekolah-sekolah rawan DBD.
Hal ini karena jumlah pasien terbanyak adalah anak sekolah dan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor virus DBD aktif sekitar pukul 10.00, yang merupakan jam sekolah. Pemetaan diharapkan membuat langkah pencegahan lebih terarah.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Bowo Irianto mengatakan, pihaknya sudah membuat surat edaran yang mengimbau sekolah-sekolah menggiatkan pemberantasan sarang nyamuk. Surat edaran itu ditujukan kepada semua sekolah di DKI Jakarta sejak Januari. ”Sampai sekarang surat edaran masih terus berlaku,” katanya.
Untuk pemetaan sekolah rawan, kata Bowo, koordinasi dilakukan oleh pihak puskesmas yang memantau di wilayah. Puskesmas akan memberi tahu sekolah asal pasien DBD untuk tindakan pemberantasan sarang nyamuk.