JAKARTA, KOMPAS —Sebagian besar calon anggota legislatif berusia muda yang akan bertarung pada Pemilu 2019 baru pertama kali terjun dalam kontestasi politik kekuasaan. Mereka memerlukan pendidikan politik matang agar bisa mewarnai jagat politik Indonesia.
Beberapa caleg muda yang dihubungi Kompas secara terpisah, sepekan terakhir, mengaku memiliki modal yang cukup baik untuk bersaing dalam Pemilu 2019. Agustina Hermanto (25), caleg untuk DPRD DKI Jakarta dari PDI-P, mengatakan, modal utama yang membuat ia berani mencalonkan diri adalah kemampuannya berkomunikasi. Sebagai penyanyi, Agustina yang tenar dengan nama Tina Toon itu terbiasa berhadapan dengan publik. ”Modal teriak sudah ada, he-he-he,” katanya.
Tina juga memiliki modal sosial berupa popularitas. Namun, ia sadar kemampuan berkomunikasi dan popularitas saja tidak cukup untuk menjadi politisi. Karena itu, ia membekali diri dengan kuliah magister bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas Terbuka. Ia mengaku sekarang paham bagaimana alur pembuatan undang-undang.
Dara Adinda Kesuma Nasution (24) maju dalam kontestasi DPR Daerah Pemilihan Sumatera Utara III dari PSI dengan bekal pengalamannya beraktivitas di kampusnya, FISIP Universitas Indonesia. Ia sering menjadi juara dalam beberapa kompetisi, antara lain juara pertama lomba Data Driven Journalism Aliansi Jurnalis Independen.
Ia juga punya pengalaman lain, yakni magang di Kantor Staf Presiden pada 2017 dan pernah menjadi anggota staf konsultan media dan komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting. ”Meski saya bagian dari generasi milenial yang katanya apatis terhadap politik, sedikit banyak saya mengerti politik, kepemimpinan, cara mempersuasi, dan negosiasi,” kata sarjana Ilmu Komunikasi ini, Selasa (12/3/2019).
Ia mengaku mengikuti proses penyaringan yang ketat ketika mendaftar sebagai caleg dari PSI. Ia diuji oleh panelis yang terdiri dari mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto; pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti; serta Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni.
Sementara itu, Faldo Maldini (28) maju sebagai caleg untuk DPR Dapil Jabar V dari PAN dengan bekal sebagai aktivis mahasiswa. Ketika kuliah, ia pernah menjadi Ketua BEM UI. Pengalaman sebagai aktivis, kata Faldo, sangat penting ketika ia terjun ke dunia politik praktis. Ia mengaku sudah terbiasa menyuarakan aspirasi masyarakat melalui demonstrasi dan kegiatan politik lainnya.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, caleg muda umumnya belum memiliki modal pendidikan politik yang memadai. Untuk itu, PAN mengadakan Sekolah Politik Kerakyatan selama tiga bulan untuk mendidik kader-kader muda dari partai ataupun luar partai. Para kader muda yang umumnya berusia 19-22 tahun itu diberikan pendidikan politik praktis dan pengenalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para kader juga diajari cara mengidentifikasi persoalan riil dan mencari solusinya.
Di Partai Nasdem, sekolah partai diberlakukan untuk para kader muda yang berniat berkarier di politik. Lewat program Akademi Bela Negara yang diadakan reguler selama empat bulan untuk 500 orang, para kader muda dibekali pengetahuan soal politik praktis, urusan kepartaian, serta sistem pemerintahan. Mereka juga dilatih disiplin lewat program pendidikan ala militer. ”Mereka dilatih hidup disiplin, ada latihan fisiknya. Selama empat bulan dididik itu mereka harus mengenal satu sama lain, belajar bangun pagi, hidup bersama,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate.
Baik di PAN maupun Nasdem, para caleg muda didampingi secara politik oleh struktur pengurus partai, baik di tingkat pusat maupun dapil masing-masing. ”Semua caleg muda mendapat perhatian khusus, kami beri asistensi politik,” ujar Johnny G Plate.
Sekolah politik
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto berpendapat, pendidikan politik untuk politisi muda sangat diperlukan. Meski demikian, tidak semua partai memiliki sekolah kader. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar partai belum memiliki perhatian pada pendidikan politik untuk kadernya.
”Concern partai lebih pada kontribusi kader, seperti seberapa banyak kader bisa menyumbang suara dan modal kepada partai,” ujar dosen Komunikasi Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Partai yang memiliki sekolah kader pun, lanjut Gun Gun, menyelenggarakan pendidikan untuk kader secara sporadis, terutama menjelang pemilu. Berangkat dari situasi itu, Gun Gun bersama beberapa tokoh sipil merancang sekolah politik untuk pemimpin masa depan.
Sekolah politik yang dijalankan di bawah Yayasan Satunama sejak 2015 itu dirancang untuk 15 tahun, setiap termin berlangsung lima tahun sesuai dengan termin pemilu. Peserta mendapat pengetahuan mulai komunikasi politik, marketing politik, psikologi politik, etika dan moral, pemetaan masalah, hingga cara mengatasi masalah.
Sampai saat ini, sudah puluhan politisi muda dari beberapa partai, antara lain PDI-P, Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan PPP, yang telah mengikuti kelas ini. Sebanyak 23 alumnus sekolah politik itu kini ikut kontestasi Pemilu 2019.
Untuk mengikuti sekolah politik ini, peserta harus mendapat rekomendasi dari partai. Mereka juga harus menandatangani pakta integritas, misalnya tidak boleh terlibat korupsi dan mempraktikkan politik uang. Kalau melanggar, mereka dikeluarkan dari sekolah politik dan dicoret dari daftar alumni.
Gun Gun berharap, lewat eksperimen ini, akan muncul generasi politisi muda yang kompeten dan punya integritas moral yang kuat. (E17/TRI/AGE/BSW)