Berjuang Menjamin Kesehatan Warga
Memasuki usia ke-22, komitmen Kota Bekasi untuk mengobati penyakit yang diderita warga semakin terlihat. Pemerintah membangun rumah sakit modern dengan fasilitas lengkap dari tingkat kota hingga kecamatan. Namun, untuk membangun kota yang sehat, hal itu saja tidak cukup.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Chasbullah Abdulmadjid, Kota Bekasi, tak pernah sepi pasien. Baik pagi, siang, maupun malam, ribuan orang hilir mudik di rumah sakit yang berseberangan dengan alun-alun kota itu. Untungnya, mereka tak perlu berdesakan atau diperlakukan tidak layak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
RSUD kelas B itu terdiri atas enam blok bangunan. Beberapa gedung di antaranya terdiri atas delapan lantai. Layanannya terbilang lengkap, mulai dari 16 jenis klinik sampai sejumlah ruang ruang inap.
Ada pula instalasi gawat darurat (IGD) yang mampu menampung ratusan pasien sekaligus. Selain itu, IGD juga dilengkapi kantin yang bernuansa laiknya kafe di mal sehingga pengantar pasien bisa menunggui keluarganya dengan nyaman.
Direktur RSUD dr Chasbullah Abdulmadjid, Kusnanto Saidi, Jumat (8/3/2019), mengatakan, perbaikan rumah sakit itu merupakan hasil kerja keras selama beberapa tahun ke belakang. Mulanya, rumah sakit yang sudah berdiri sejak 1939 itu berbentuk bangsal. Pelayanannya pun belum optimal.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat pada layanan RSUD minim. Menurut dia, yang sudah bekerja di sana sejak 2009 jumlah rata-rata pasien rawat jalan adalah 700-900 orang per hari. Adapun pasien IGD sekitar 70 orang per hari.
”Proporsi pasien, sebanyak 60 persen dari total adalah warga Kota Bekasi, sedangkan 40 persen lainnya dari luar kota,” kata Kusnanto. Menurut dia, belum semua warga Kota Bekasi percaya pada pelayanan di RSUD. Mereka lebih memilih untuk berobat di rumah sakit swasta.
Bahkan, berdasarkan catatan Kompas, manajemen rumah sakit pun berantakan. Pada 2011, dokter-dokter yang bertugas di RSUD berdemonstrasi menuntut transparansi laporan keuangan, administrasi, dan organisasi. Mereka juga meminta jasa medik yang merupakan hak dokter dibayarkan secara tepat waktu (Kompas, 2/4/2011).
Namun, hal tersebut berubah drastis sejak RSUD direnovasi besar-besaran mulai 2012. Selain membangun secara fisik, kata Kusnanto, manajemen dan sumber daya manusia rumah sakit pun dibenahi. ”Hasilnya, masyarakat semakin puas dengan pelayanan kami,” ujar Kusnanto.
Menurut dia, hal itu tampak dari lonjakan jumlah pasien sepanjang 2018. Misalnya, rata-rata pasien IGD mencapai 200-250 orang per hari. Begitu juga pasien rawat jalan yang mencapai 2.000 orang setiap hari. ”Saat ini, proporsi pasien itu 90 persen merupakan warga Kota Bekasi, sedangkan dari luar kota hanya 10 persen,” kata Kusnanto.
Memudahkan warga
Kusnanto mengatakan, peningkatan jumlah pasien RSUD juga dipengaruhi oleh program Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK). Program yang digagas Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sejak 2017 itu memangkas birokrasi kesehatan yang relatif lama. Dengan kartu tersebut, warga dapat langsung mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD.
Warga juga tidak perlu memikirkan uang sebab semua biaya pelayanan kesehatan ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). ”Saat itu masyarakat terjebak dalam euforia. Mereka yang berpenyakit ringan tidak mau berobat ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), tetapi langsung ke rumah sakit,” ujar Kusnanto.
Rahmat Effendi yang akrab disapa Pepen mengatakan, euforia masyarakat itu menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengevaluasi program KS-NIK. Oleh karena itu, kartu tersebut tidak dapat lagi digunakan langsung ke rumah sakit. Warga harus mendapatkan rujukan berjenjang dari puskesmas.
Selain itu, warga juga harus memilih penggunaan KS-NIK atau Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebab warga tidak bisa menggunakannya dalam satu kesempatan. Layanan dari KS-NIK pun dibatasi pada fasilitas kelas 3.
Selain KS-NIK, upaya untuk memudahkan warga dilakukan juga dengan pembangunan rumah sakit tipe D di tingkat kecamatan. Pada Minggu (10/3/2019), Pepen meresmikan Rumah Sakit Tipe D Jatisampurna.
”Sebelum Juni 2019, kami juga akan meresmikan dua rumah sakit tipe D lainnya, yaitu di Bantargebang dan Pondok Gede,” kata Pepen. Ia berharap kehadiran fasilitas kesehatan itu semakin memudahkan warga di tepian Kota Bekasi. Itu karena jarak tempuh dari beberapa kecamatan tersebut relatif jauh dari RSUD yang terletak di pusat kota.
Belum cukup
Meski pembangunan infrastruktur kesehatan dilakukan secara masif, pembangunan kesadaran masyarakat untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan masih minim. Contohnya, di Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Puskesmas Pekayon, upaya pencegahan penyakit demam berdarah dengue (DBD) melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) baru menyasar 8.000 kepala keluarga (KK). Padahal, total jumlah masyarakat di Kelurahan Pakayon mencapai 17.000 KK.
Kepala UPTD Puskesmas Pekayon Agung Insani, Selasa (12/3/2019), mengatakan, sosialisasi PSN belum merata karena keterbatasan tenaga penyuluh. Saat ini ada 330 kader yang setiap hari berkunjung ke perumahan warga untuk menyosialisasikan pemberantasan sarang nyamuk. ”Mereka merupakan warga sekitar yang direkrut secara sukarela. Dari 26 RW di Kelurahan Pekayon, setiap RW ada sekitar 10 kader PSN,” ucapnya.
Mengacu pada data Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Bekasi, pada Januari 2019 terdapat 75 kasus DBD. Angka itu meningkat signifikan dibandingkan pada Januari 2018 yang hanya berjumlah 49 kasus.
Petugas pendamping kesehatan lingkungan UPTD Puskesmas Pakayon, Tiurina Tambunan, menambahkan, kendala lain yang sering terjadi dalam upaya peningkatan sosialisasi PSN adalah kurangnya kepedulian pada kebersihan lingkungan sekitar. Masih ada warga yang menolak dengan alasan kompleks perumahannya bebas dari genangan air.
”Sarang nyamuk itu tidak hanya ada di saluran air. Nyamuk justru lebih senang hidup di dalam rumah, terutama bak air, tempat penampungan air AC, dan belakang kulkas,” katanya.
Tiurina menambahkan, berhasilnya pencegahan penyakit DBD sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat. Hal itu sejalan dengan instruksi pemerintah kota yang mewajibkan masyarakat bertindak sebagai kader PSN di rumah masing-masing.
Pengakuan berbeda dikatakan M Tata (39), warga RT 002 RW 015, Kelurahan Pekayon. Dia mengatakan, hingga saat ini dirinya belum dikunjungi petugas penyuluh untuk mendapatkan sosialisasi tentang pemberantasan sarang nyamuk.
”Mungkin karena lingkungan kami bersih. Setiap hari Sabtu juga ada kerja bakti dari seluruh masyarakat,” ucapnya.
Agung menambahkan, penyuluhan kesehatan masyarakat untuk hidup sehat juga dilakukan melalui berbagai pertemuan, termasuk kegiatan posyandu di tingkat RW. Posyandu dilakukan berkala setiap bulan.
Namun, penyuluhan kesehatan melalui posyandu belum berjalan maksimal karena tidak dihadiri seluruh masyarakat. Posyandu dianggap sebagai wadah bagi anak balita dan ibu hamil yang akan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
”Puskesmas sebenarnya wadah yang paling bagus untuk penyuluhan kesehatan. Tetapi, kami tidak bisa kembangkan kegiatan lain karena anggaran terbatas,” ucapnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tanti Rohilawati mengakui, peningkatan infrastruktur kesehatan memang belum cukup untuk mencapai tujuan kesehatan. Hal tersebut perlu diiringi dengan membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatannya.
”Aspek promotif dan preventif memang masih menjadi tantangan bagi kami,” katanya.
Tanti menambahkan, tujuan kesehatan akan tercapai jika ada perubahan perilaku dan peningkatan derajat kesehatan. Perlu ada penurunan angka kesakitan. Saat ini, angka kesakitan masih sekitar 20-30 persen dari total jumlah penduduk 2,7 juta orang.
Untuk itu, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan harus ditingkatkan. Pihaknya akan mendorong hal tersebut dengan pembentukan posyandu terpadu, yang tidak hanya melayani anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Selain itu, dinas kesehatan juga menginisiasi pembentukan kelurahan siaga aktif. (STEFANUS ATO)