JAKARTA, KOMPAS – Kepolisan Negara RI mewaspadai ancaman aksi teroris lanjutan di sejumlah daerah setelah penangkapan terduga teroris Abu Hamzah alias Husain. Peningkatan kewaspadaan juga dilakukan di media sosial untuk mencegah penyebaran indoktrinasi paham radikal yang lebih luas.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah memetakan sejumlah daerah dan mewaspadai pelaku teror tunggal atau lone wolf yang lekat hubungannya dengan Abu Hamzah. Ini guna memitigasi peluang aksi teror lanjutan.
"Tim masih terus bekerja, masih mengembangkan terduga pelaku teroris yang sudah tertangkap di awal kemarin. Kami terus melakukan pengejaran-pengejaran. Tidak menutup kemungkinan, apabila jaringan itu masih terkait kepada lone wolf lainnya akan dilakukan upaya hukum lebih lanjut," ujar Dedi di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Sejumlah wilayah yang ditingkatkan kewaspadaannya itu, antara lain di Sumatera (Riau, Lampung, Sumatera Utara), Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah), dan di hampir seluruh daratan Jawa.
"Itu daerah-daerah yang cukup rawan dan perlu diwaspadai. Kami sudah pantau semuanya," tutur Dedi.
Kewaspadaan ditingkatkan mengingat jenis dan motif aksi teror yang terjadi belakangan ini relatif sama. Sebut saja saat penangkapan "murid" Abu Hamzah, yaitu RS alias PS (23) di Lampung Sabtu lalu, polisi menemukan dua bom yang jenisnya sama dengan milik Abu Hamzah, yakni paralon, paku, saklar (switch), dan bahan bom dari potasium nitrat.
Selain itu, polisi juga menemukan satu komunikasi yang sama dengan terduga pelaku teror, PK alias SS (38) di Kalimantan Barat, yang telah ditangkap hari Minggu lalu.
"Secara umum hampir sama. Cuma yang Abu Hamzah itu jauh lebih banyak dan dia ahlinya. Tapi mereka semua saling berkaitan," ujar Dedi, yang menyebutkan tokoh paling penting bagi mereka adalah Aman Abdurrahman.
Tidak berkait pemilu
Meski sejumlah aksi teror itu terjadi di masa Pemilu 2019, Dedi meyakinkan bahwa aksi-aksi tersebut tidak berkaitan dengan pemilu. Aksi tersebut, lanjut Dedi, semata-mata hanya ingin menyasar aparat kepolisian yang terus-menerus melakukan pengejaran dan penegakan hukum terhadap para anggota kelompok teroris.
"Jadi, tak ada kaitannya dengan pemilu. Kelompok tersebut melakukan aksinya itu bisa setiap saat, tergantung kesempatan dan peluang yang dmiliki kelompok tersebut. Tetapi, kami menjamin situasi tetap kondusif dan aman," katanya.
Selain peningkatan kewaspadaan di lapangan, kepolisian juga terus mengamati pergerakan indoktrinasi paham radikal melalui media sosial. Setiap polda, menurut Dedi, sudah terbentuk satuan tugas antiterorisme dan antiradikalisme yang bertugas mengawasi pergerakan jaringan teroris di Indonesia.
"Kalau ada komunikasi-komunikasi yang mencurigakan, pasti kami segera analisa dan tindaklanjuti," tutur Dedi.