JAKARTA, KOMPAS - Uni Eropa terus menjadikan komoditas minyak sawit mentah atau CPO Indonesia sebagai sasaran dalam alasan Delegated Act RED II. Indonesia sempat menyampaikan berniat mengajukan protes kepada World Trade Organization atau WTO karena hal tersebut pasti berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani.
Menanggapi hal tersebut Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, minyak sawit melibatkan lebih dari 17 juta rakyat Indonesia yang turut berkontribusi dalam menurunkan gini rasio Indonesia atau ketimpangan pendapatan dari 0,41 sekarang ke 0,39 persen. Tingkat kemiskinan di Indonesia pun turun menjadi di bawah 10 persen sehingga jika pasar ekspor CPO dipersulit atau dihentikan, maka tindakan itu tidak konsisten terhadap upaya penurunan kemiskinan.
"Jadi kami juga keras bersuara jangan mengajari untuk peduli terhadap lingkungan dan cara mengatasi isu lingkungan. Kami peduli terhadap masa depan rakyat yang butuh penghidupan layak," kata Luhut dalam 5th Asia Pacific CEO Forum di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Terkait proyes kepada WTO, Luhut mengatakan, saat ini dalam proses negosiasi dengan UE. "Kita lihat setahap demi setahap. Makanya kita lihat nanti program B-20 sampai B-100 atau green diesel. CPO nanti menjadi energi murah dan itu akan membuat arus defisit (neraca perdagangan) kita lebih bagus," kata Luhut.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sempat mengatakan, pada 18 Maret 2018 telah mengirim surat dan melakukan pendekatan bilateral kepada sejumlah negara. Namun, khusus UE kasus resolusi sawit dibawa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Ada tiga negara dan satu kawasan ekonomi yang menghambat ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya, yakni Amerika Serikat, Norwegia, India, serta Uni Eropa (UE).
CPO, selain memberikan devisa sangat besar dan menjadi kontributor utama terhadap ekspor nonmigas, juga menjadi andalan 22 juta jiwa penduduk yang hidup dari sektor industri kelapa sawit. Produksi CPO Indonesia pada 2017 mencapai 38 juta ton dengan 31 juta ton di antaranya diekspor ke sejumlah negara, (Kompas, 19/3/2018).
Menurut Presiden International Chamber of Commerce (ICC) Indonesia Ilham Akbar Habibie, melihat ekonomi dari sisi komoditas memang selalu ada siklus naik dan turun. Pada akhirnya, harga ditentukan dan bergantung pada pemintaan dan penawaran.
ICC dalam hal ini adalah sebagai suatu organisasi yang memperhatikan, mengembangkan, dan mengusulkan peraturan antar pihak. Namun, secara filosofis ICC mendukung perdagangan global untuk dalam hal meningkatkan kesejahteraan dan perdamaian internasional.
Saat ini, ada faktor-faktor yang menurunkan kebutuhan termasuk salah satunya peraturan yang diterapkan secara sepihak. Seperti misalnya, di Eropa yang sangat protektif untuk mengimpor komoditas yang menurut mereka merusak ekosistem hutan tropis.
"Oleh karena itu, kami di ICC sangat memperhatikan peraturan-peraturan seperti itu supaya bisa membuat sistem perdagangan yanh lebih adil kepada semua pihak," ujar Ilham.
Nilai tambah lokal
Dampaknya, lanjut dia, berimbas pada nasib para pelaku ekonomi yang bekerja di sektor komoditas seperti petani. Untuk itu, Indonesia semestinya mulai memperhatikan untuk berupaya memberikan nilai tambah lokal sehingga tidak hanya menjual dalam bentuk mentah karena itu yang membuat fluktuatif.
Upaya memberi nilai tambah lokal terhadap produk yang dihasilkan dengan melakukan pengolahan dahulu, maka petani tidak akan terlalu tergantung lagi dengan pasar global. Sebagian dari produk yang dihasilkan berupa komoditas bisa tetap diserap oleh ekonomi lokal atau ekonomi nasional.
Terkait hilirisasi agro, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Haris Munandar juga memaparkan hal serupa. Dia mengatakan, CPO dapat diproses lagi menjadi produk bernilai tambah. CPO bisa diolah menjadi 150 lebih produk turunan dan industri dalam negeri mempunyai kemampuan untuk itu.
Hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah minyak sawit. Dengan cara itu, pengaruh dari penurunan harga komoditas tidak akan terlalu besar, (Kompas, 12/3/2019).
Contohnya yang sudah dijalankan di Indonesia selama bertahun tahun yaitu melarang ekspor logam dalam bentuk mentah seperti nikel. Hal tersebut dinilai harus menjadi perhatian utama sehingga ada daya serap dari ekonomi sendiri terhadap produk yang dihasilkan. Dampaknya, harga lebih stabil bagi pelaku komoditas, terutama petani.
"Saya kira itu secara otomatis juga menjadi keinginan dari ICC. Pemangku kepentingan penting, iklim penting, termasuk perdagangan yang adil. Itu semua yang dimasukkan dalam konsep perdagangan ICC sedunia," tutur dia.(FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)