Perluasan Pasar Nontradisional Pacu Ekspor
JAKARTA, KOMPAS – Perluasan pasar nontradisional mutlak dilakukan guna meningkatkan ekspor. Peningkatan daya saing produk juga harus dilakukan untuk menghadapi perlambatan permintaan global.
Dalam meningkatkan ekspor, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, penetrasi ke pasar nontradisional perlu dilakukan. Selain negara-negara Afrika yang telah menjadi fokus sejak 2017, Indonesia akan mulai berfokus pada kawasan Pasifik Selatan, Amerika Latin, dan Karibia pada tahun 2019.
"Bukan menghindari pasar tradisional, tetapi kita perlu memperkuat akses pasar nontradisional dalam meningkatkan hubungan serta ekspor dengan negara lain di tengah ketidakpastian global," kata Retno, di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Paparan ini dibahas dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2019 bertemakan "Meningkatkan Perdagangan Bernilai Tambah dan Berdaya Saing". Hadir pula sebagai narasumber dalam rapat kerja ini, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Retno mengatakan, untuk kerja sama dengan Afrika, peningkatan infrastruktur kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan harus segera dilakukan. Indonesia kalah cepat dibandingkan negara lain dalam memanfaatkan peluang kerja sama ekonomi dengan Afrika.
"Saat masuk ke Afrika, kita baru sadar banyak produk kita yang kena tarif 30 hingga 35 persen. Sementara negara lain tidak dikenakan tarif karena sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan negara tersebut, sehingga kita harus mendorong berbagai perjanjian dagang," ujar Retno.
Dengan Afrika, terdapat kesepakatan bisnis dengan nilai mencapai 586,56 juta dollar AS dan terdapat potensi bisnis lain dengan nilai mencapai 1,3 miliar dollar AS. Retno menilai, ini adalah awal dari sesuatu yang menjanjikan untuk hubungan ke depan.
"Kita akan melakukan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue pada 20-21 Agustus 2019. Melalui pertemuan nanti, diharapkan sejumlah proyek infrastruktur dan kerja sama industri strategis dapat mulai dilakukan Indonesia di negara-negara Afrika," kata Retno.
Sebagai contoh, Retno menyebut, salah satu Badan Usaha Milik Negara sudah masuk bidang infrastruktur. BUMN tersebut sudah mulai masuk ke pasar Afrika Sub-Sahara, yaitu memenangkan tender untuk renovasi Istana Presiden Niger.
Pendekatan yang sama juga akan coba dilakukan di Pasifik Selatan. Kalau dilihat dari nilai ekonomi, kata Retno, mungkin tidak terlalu banyak, tetapi Indonesia bisa memperkuat hubungannya di Pasifik Selatan.
"Bulan Maret ini kami juga akan mengadakan Indonesia-South Pacific Forum dan Indonesia-South Pacific Business Forum. Kemudian di Bulan Juli akan diadakan Pacific Exposition, di Auckland dalam bentuk semacam pameran dagang," papar Retno.
Strategi perluasan pasar nontradisional juga sejalan dengan fokus Kementerian Perdagangan. Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan, selain menjaga hubungan dengan pasar tradisional, kita perlu membuka pasar baru.
"Tahun 2019, perjanjian perdagangan dengan negara-negara Afrika seperti Mozambik, Tunisia, Maroko, juga dengan RCEP, EU, Turki, Korea Selatan, dan Bangladesh adalah kelompok negara atau negara-negara yang menjadi prioritas untuk kami proses dan selesaikan negosiasinya," kata Enggartiasto.
RCEP atau Regional Comprehensive Economic Partnership adalah kawasan yang sedang menajjaki perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara ASEAN dan ditambah Australia, India, Jepang, China, Korea Selatan, dan Selandia Baru. EU adalah Uni Eropa.
Mozambik, kata Enggartiasto, akan menjadi negara Afrika pertama yang perjanjiannya ditargetkan selesai tahun ini. Setelah itu, ada Tunisia dan Maroko di bagian utara, kemudian juga Bangladesh. Berbagai perjanjian ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan daya saing dengan negara lain.
"Dampaknya, secara untuk ekspor pasti meningkat. Kita tidak boleh berdiam diri, selain tentu industri manufaktur yang diperkuat, juga untuk meningkatkan daya saing dari sisi harga maupun kualitas," tutur Enggartiasto.
Daya saing
Kementerian Perdagangan mencatat, hingga Maret 2019, ada 12 perjanjian perdagangan internasional yang telah diselesaikan dan masuk dalam proses ratifikasi. Sementara yang masih dalam proses perundingan sebanyak 12 perundingan. Selain itu, ada 12 perjanjian lainnya yang diinisiasi untuk dinegosiasikan.
Melalui perjanjian perdagangan internasional, hambatan perdangan, baik tarif maupun nontarif, akan dieliminasi dengan tujuan menguntungkan negara-negara yang bersepakat. Namun, Darmin menilai, perlu ada kajian lebih dalam terkait pemanfaatan berbagai perjanjian perdagangan ini.
"Kita telah menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) dengan banyak kelompok negara dan negara tetapi belum pernah mengharmonisasinya. Kita perlu mengkaji agar kita tahu, apakah kita sedang mendorong industri dalam negeri untuk berkembang atau jangan-jangan terlalu murah hati terhadap bea impor dalam perjanjian perdagangan," papar Darmin.
Selain itu, Darmin menyoroti bahwa mencari pasar baru itu tidak mudah. Sebab, bukan hanya sekadar membawa barang ke negara tujuan, tetapi harus ada pembangunan di bidang infrastruktur serta penguatan merek produk.
Bambang pun menyoroti hal serupa. Menurutnya, dalam mengekspor produk, kita tidak lagi bisa mengandalkan ekspor yang ada selama ini, apalagi sekadar mengandalkan komoditas. Perlu kompleksitas dalam produk yang akan diekspor.
"Misalnya tekstil, jika kita hanya mengekspor garmen, semua negara dapat mencontohnya dan membuat produk kita sulit bersaing. Namun, ketika ada sentuhan kompleksitas, yaitu dibatik dengan manual, tentu akan meningkatkan nilai ekspor," ujar Bambang. (SHARON PATRICIA)