Penghentian Sementara Izin Usaha Pertambangan Dinilai Bukan Solusi
Pembekuan sementara operasional izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, dinilai bukan solusi terbaik. Kabupaten yang berada di Pulau Wawonii seluas 1.514 kilometer persegi itu dianggap tak layak untuk industri pertambangan.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Pembekuan sementara operasional izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, dinilai bukan solusi terbaik. Kabupaten yang berada di Pulau Wawonii seluas 1.514 kilometer persegi itu dianggap tak layak untuk industri pertambangan.
Dari Kendari, ibukota Sultra, kabupaten itu ditempuh sekitar 4 jam dengan kapal penumpang dari Kendari. Kabupaten ini dikenal penghasil kopra, cengkeh, kacang mete, dan perikanan. Permukiman warga berada di kaki gunung dan sepanjang pesisir. Bagian tengah kabupaten itu adalah pegunungan berhutan.
Izin usaha pertambangan (IUP) kebanyakan berada di kawasan pegunungan itu. Ada 18 IUP di Konawe Kepulauan. Namun, 3 IUP sudah habis masa kontraknya. IUP yang masih aktif ada yang beroperasi produksi secara administratif, meski belum ada aktivitas. IUP didominasi tambang nikel.
“Penghentian sementara tak menjawab masalah. IUP masih bisa aktif bila pasca evaluasi dinyatakan tak bermasalah. Padahal, inti perjuangannya, Pulau Wawonii tak dapat digunakan sebagai areal pertambangan. Kawasan itu termasuk pulau kecil sebagaimana amanat undang-undang,” kata aktivis penolakan tambang yang juga warga Kabupaten Konawe Kepulauan Muamar Lasipa di Kendari, Selasa (12/3/2019).
Hal itu dikatakan Muamar menanggapi pernyataan Gubernur Sultra Ali Mazi terkait tuntutan warga dan mahasiswa untuk mencabut IUP di Konawe Kepulauan. Ali Mazi pada Senin (11/3) telah membekukan atau menghentikan sementara operasi 15 IUP di Konawe Kepulauan. Langkah itu diambil untuk mengevaluasi kelayakan kabupaten pulau itu terhadap pertambangan yang belakangan ditentang warga dan mahasiswa.
Dalam seminggu terakhir, terjadi unjuk rasa mahasiswa yang menuntut penolakan tambang di Pulau Wawonii di Kendari. Pada Senin (11/3), unjuk rasa ricuh. Mahasiswa meminta bertemu Ali Mazi. Namun, keinginan itu tak dikabulkan. Selain menuntut pencabutan IUP, mereka juga menuntut penegakan hukum atas dugaan penganiayaan terhadap peserta aksi, Rabu (6/3).
Regulasi yang dimaksud Muamar adalah Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pulau kecil didefinisikan memiliki luas tak lebih dari 2.000 km persegi. Pulau Wawonii seluas 1.514 km persegi. Selain itu, ada juga aturan di Pasal 23. Meski tidak menyebutkan pertambangan, pulau kecil digunakan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pengembangan, perikanan, dan pertanian.
Dengan dasar itu, Muamar mengatakan, izin pertambangan di Konawe Kepulauan tak hanya dievaluasi. Namun, harus dicabut. “Adanya izin menabrak aturan. Solusinya pencabutan izin-izin pertambangan. Mari kita lihat aturan dengan lebih benar,” ujar Muamar.
Adanya izin menabrak aturan. Solusinya pencabutan izin-izin pertambangan. Mari kita lihat aturan dengan lebih benar.
Ali mazi mengatakan, sembari menghentikan operasional IUP, pihaknya akan mengevaluasi dan mengundang semua direksi atau pemilik perusahaan tambang. Dia juga akan melaporkan hal ini ke pemerintah pusat. Ali menambahkan, evaluasi akan mempertimbangkan berbagai hal, antara lain kelayakan Pulau Wawonii untuk pertambangan dan masalah lingkungan.
“Kalau pulau itu dinyatakan bebas tambang, kenapa dulu ada IUP. Sebagai gubernur saya akan panggil pihak-pihak untuk menelusuri dari awal hal-hal ini,” katanya. Ia memastikan kalau hasil evaluasi menunjukkan pertambangan tak layak di Pulau Wawonii, pencabutan IUP bakal bersifat permanen.