Pendidikan Mengajarkan Moderasi dalam Beragama
Pendidikan agama hendaknya mengajarkan moderasi beragama. Bagi bangsa Indonesia, cara beragama yang moderat sesuai dengan kemajemukan masyarakat Nusantara.
JAKARTA, KOMPAS — Moderasi dalam beragama hendaknya menjadi pembahasan yang serius dalam pendidikan agama Islam di masyarakat. Melalui moderasi beragama, pemaknaan ajaran agama bisa kembali kepada intisarinya, yaitu memanusiakan sesama manusia.
Di dunia pendidikan, guru agama menjadi ujung tombak untuk memastikan berjalannya pendidikan agama yang mengajarkan moderasi. Semua pemangku kepentingan di dunia pendidikan juga harus memperhatikan bahwa inti pendidikan adalah pengamalan dan inti dari agama adalah menghormati harkat dan martabat sesama manusia.
Jadi, agama tidak hanya soal pengetahuan dan ilmu, tetapi cara mengamalkannya menjadi perilaku. ”Jangan gunakan agama untuk meniadakan ataupun merendahkan satu sama lain. Ini justru bertentangan dengan prinsip agama,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam Halaqah Pengembangan Pendidikan Islam (HPPI) 2019 di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Kegiatan ini diikuti Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan Kepala Biro pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia. Tema HPPI tahun ini adalah ”Moderasi Beragama untuk Pendidikan Islam yang Maju dan Berbudaya”.
Lukman mengatakan, tidak ada tafsir agama yang tunggal. Keragaman tafsir lahir tidak lepas dari sudut pandang, latar belakang budaya, dan konteks sosial yang dialami oleh penafsir. Justru adanya keragaman memberi umat kesempatan untuk mempelajari agama secara lebih luas.
Bagi bangsa Indonesia, cara beragama yang moderat sesuai dengan kemajemukan masyarakat Nusantara. Oleh sebab itu, kata Lukman, ekstremitas kanan maupun kiri tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Ekstrem kanan hanya menerjemahkan agama dari teks tanpa menggubris konteks budaya setempat. Adapun ekstrem kiri terlalu bebas dalam menerjemahkan teks sehingga tercerabut dari substansinya.
”Jika kita sudah menilai orang lain lebih rendah dari kita karena agama, tandanya kita sudah bersikap ekstrem. Segera kita ubah pendekatan dalam beragama agar lebih moderat,” ujarnya.
Jika kita sudah menilai orang lain lebih rendah dari kita karena agama, tandanya kita sudah bersikap ekstrem.
Lukman mengatakan, di dalam setiap agama memercayai bahwa di dalam manusia ada bagian dari roh Sang Pencipta. Hal ini mewajibkan manusia untuk saling menjaga dan menghormati. Berbeda keimanan bukan berarti menghilangkan kemanusiaan satu sama lain. Justru, sebagai sesama umat beragama harus saling mendukung.
Pada era perkembangan teknologi informasi ini, kata Lukman, manusia hidup dalam dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Fenomena ini belum pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Informasi berseliweran dan banyak yang memiliki konten buruk. Pendidikan, termasuk pendidikan agama, harus mampu memberi kemampuan umat menemukan informasi yang akurat.
Di dalam informasi buruk itu, kata Lukman, terdapat pesan-pesan yang menjelek-jelekkan antara agama yang satu dan yang lain. Narasi yang digemakan adalah ajaran agama berbeda saling menggerogoti umatnya sehingga harus dibendung dan dihalang-halangi.
”Coba dibalikkan persepsinya bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan dan melalui kepercayaan dan agama bisa membangun masyarakat,” ujarnya.
Guru agama
Dalam memastikan pendidikan agama yang mengajarkan moderasi, guru agama menjadi ujung tombak. Salah satu contoh kasus yang memerlukan perhatian khusus terkait dengan moderasi beragama adalah foto yang viral di media sosial soal kelompok Karim yang datang ke sekolah-sekolah untuk menyebarluaskan pandangan beragama yang ekstrem dan anti-Pancasila.
Dalam memastikan pendidikan agama yang mengajarkan moderasi, guru agama menjadi ujung tombak.
”Guru agama harus mengetahui segala kegiatan yang menggunakan topik keagamaan di sekolah walaupun pintu masuk kegiatan itu tidak dari ekstrakurikuler rohis (rohani Islam),” kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin.
Kerja sama guru agama dengan segenap warga sekolah sangat penting untuk memastikan tidak ada ajaran yang mengandung ideologi ekstrem masuk ke sekolah.
Saat membuka HPPI, Minggu, Kamaruddin mengatakan, Ditjen Pendidikan Islam Kemenag tengah menyusun buku putih moderasi beragama. Penyusunan buku ini menjadi salah satu bentuk ikhtiar dan keseriusan Kementerian Agama dalam pengarusutamaan moderasi beragama.
”Nantinya buku tersebut diharapkan menjadi pedoman pengarusutamaan moderasi beragama,” ujar Kamaruddin.
Dia mengatakan, salah satu program prioritas Kemenag saat ini adalah pengarusutamaan moderasi beragama. Dia berharap peserta HPPI bisa menjadi agen moderasi beragama di daerah masing-masing.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi mengingatkan agar guru waspada terhadap paham yang menggunakan agama, tetapi anti-Pancasila. Organisasi yang bertentangan dengan nilai kebangsaan bisa bubar, tetapi pahamnya terus berjalan dengan menggunakan kedok lain.
Guru diingatkan agar waspada terhadap paham yang menggunakan agama, tetapi anti-Pancasila.
Karena itu, kata Mahnan, pemahaman guru agama mengenai Pancasila harus diperkuat. Hal ini merupakan tanggung jawab komunitas pendidikan, pemerintah, dan masyarakat.
Terkait dengan sekolah di Bogor yang didatangi kelompok Karim, AGPAII wilayah Jawa Barat sudah berdialog dengan guru agama dan kepala sekolah untuk menguatkan pemahaman kebangsaan.