Niat Mulia Hentikan Perdagangan Daging Anjing
Praktek perdagangan daging anjing di Indonesia kian jadi sorotan dunia. Sejumlah mitos menyelimutinya. Namun, banyak warisan tradisi justru menganggapnya hewan penting. Dari Bali, perubahan itu coba digelorakan.
Praktik perdagangan daging anjing di Indonesia kian jadi sorotan dunia. Sejumlah mitos menyelimutinya. Namun, banyak warisan tradisi justru menganggapnya hewan penting. Dari Bali, perubahan itu coba digelorakan.
Warung ujung gang di tepi Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar, Bali, itu sepi. Tak banyak pengunjung datang ke warung yang lama dikenal menyediakan menu olahan daging anjing itu.
Seorang perempuan keluar dari rumah di warung tersebut. ”Mau beli apa?” tanya Putu (28), salah seorang penjaganya, saat Kompas masuk ke warung itu.
Ketika dijelaskan maksud kedatangan bukan untuk membeli masakan yang disediakan, Putu awalnya menolak bicara. Namun, lewat sejumlah pendekatan, dia luluh. Putu bicara panjang lebar meski banyak hal yang ia simpan erat-erat.
Putu mengatakan, warung itu didirikan mertuanya puluhan tahun lalu. Selama ikut menjalankan usaha itu, dia meyakinkan hanya menggunakan daging anjing lokal dari salah satu peternakan anjing di Bali.
Putu mengatakan, ada beragam alasan yang membuat konsumen selalu datang. Selain bumbu yang mungkin cocok di lidah, tak sedikit yang percaya daging anjing berkhasiat.
Ia mencontohkan, keinginan konsumen membeli masakan daging anjing atau dikenal dengan nama lokal ulam asu. Makanan olahan anjing dipercaya dapat menghilangkan sesak napas, menambah darah, serta membantu penyembuhan malaria atau demam berdarah.
”Akan tetapi, sejak setahun terakhir, sudah beberapa kali saya didatangi aparat pemerintah. Pengawasan untuk warung seperti ini sekarang semakin ketat,” katanya.
Pengawasan untuk warung seperti ini sekarang semakin ketat.
Belakangan, permasalahan seputar hal ini kian hangat. Kampanye penolakan mengonsumsi daging anjing menggema. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Terakhir, aktor dan aktivis asal Inggris, Peter Egan, membuat permohonan kepada Pemerintah Indonesia untuk menutup perdagangan daging anjing dan kucing. Hal itu dia lakukan setelah bersama aktivis Dog Meat Free Indonesia mengunjungi Pasar Tomohon dan Pasar Langowan di Sulawesi Utara.
Hentikan perdagangan
Dalam seminar bertema ”Sosialisasi Kerangka Hukum Kesejahteraan Hewan dalam Upaya Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Bali” pada awal Maret 2019, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner di Kementerian Pertanian Syamsul Ma’arif mengatakan, pemerintah sudah menerbitkan regulasi tentang pengawasan peredaran atau perdagangan daging anjing. Dia mengatakan, daging anjing tidak termasuk kategori pangan karena bukan produk peternakan atau kehutanan apabila mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
”Dari sisi keamanan pangan, daging anjing dari daerah endemis rabies meningkatkan risiko terpapar penyakit,” ujarnya. Dalam acara itu, juga ditandatangani kesepakatan pemerintah pusat, daerah, dan lembaga perlindungan satwa internasional bertajuk ”Bali Bebas Perdagangan Daging Anjing”.
Bali berperan menjadi contoh baik menghentikan kebiasaan itu. Pemerintah Provinsi Bali telah membuat imbauan pengawasan dan penertiban peredaran daging anjing melalui surat edaran Gubernur Bali tentang perdagangan daging anjing pada 2017. Sejak 2018, sejumlah desa di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung sudah melarang perdagangan daging anjing di wilayah desa tersebut.
Salah satunya Desa Sanur Kaja, Kota Denpasar. Desa ini mengeluarkan peraturan desa yang melarang masyarakat mengonsumsi daging anjing. Dalam perdes tercantum larangan menganiaya, mencuri, dan membuang anjing dalam keadaan hidup atau mati. Tujuannya, agar masyarakat memperhatikan kesehatan hewan, terutama anjing. Warga diminta rajin melakukan vaksinasi rabies dan sterilisasi untuk anjingnya ke Dinas Peternakan Provinsi Bali. Biayanya gratis. (Kompas, 5 Januari 2019)
Baca Juga: Target Bali Bebas Rabies Belum Tercapai
Berdasarkan penelitian Maria M Vernandes Sasadara bersama Ni Putu Vidia Tiara Timur, yang didukung Animals International, tentang karakterisasi perdagangan daging anjing di Bali menunjukkan, jual beli daging anjing masih berlangsung. Data dari pemerintah dan laporan masyarakat hingga Februari 2019, perdagangan daging anjing ada di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Jembrana, Buleleng, dan Kabupaten Karangasem.
Sasadara mengatakan, kini 44 pedagang daging anjing di Bali sudah tutup. Namun, sebanyak 31 pedagang lainnya masih beroperasi. Alasannya, permintaan daging anjing masih tinggi. ”Omzet pedagang besar mencapai Rp 1,5 juta per hari. Mereka menjual daging dari dua sampai lima ekor anjing,” kata Sasadara.
”Salah satu faktor pendorongnya adalah mitos di balik itu daging anjing. Padahal, belum ada kajian ilmiah tentang anggapan itu. Memakan daging anjing justru membuka peluang penyakit. Tak jarang anjing yang hendak dikonsumsi dibunuh menggunakan racun. Racun itu rentan tersimpan dalam daging yang kemudian dikonsumsi manusia,” kata Sasadara.
Cegah rabies
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali I Wayan Mardiana berharap aturan itu akan berjalan mulus. Apalagi, berdasarkan kepercayaan masyarakat Hindu Bali, anjing adalah hewan penting. Keberadaannya bukan sekadar hewan peliharaan. Anjing adalah penjaga dan dianggap bagian dari keluarga.
Hasil penelusuran Kompas menyebutkan hal demikian. Dalam Lontar Dharma Caruban tentang cara mengolah makanan secara tradisional Bali, disebutkan tata cara menyembelih dan mengolah hewan berkaki empat. Namun, tidak menyebutkan tentang olahan daging anjing.
Baca juga: Memberantas Rabies
Dalam sastra Hindu lainnya, yakni pada parwa (bagian) terakhir dari 18 parwa dalam Mahabharata diceritakan perjalanan Yudistira menuju surga yang ditemani seekor anjing. Bahkan, jenis anjing tertentu bahkan digunakan sebagai hewan persembahan yadnya dalam ritual caru atau pembersihan tempat upacara. Hal itu semua membuktikan, dalam budaya masyarakat Bali, anjing bukan jenis hewan yang dipotong, lantas dikonsumsi manusia.
”Apabila memahami kepercayaan dan filosofi tradisional tersebut, masyarakat Bali seharusnya tidak mengonsumsi daging anjing,” kata Mardiana.
Selain itu, Mardiana mengatakan, menghentikan konsumsi daging anjing dapat memberi banyak pengaruh baik lainnya. Salah satunya, ikut mengentaskan penanganan kasus rabies yang masih terjadi.
Mardiana menyebutkan, terdapat 105 desa di Bali yang masih dikategorikan rawan karena masih ditemukan kasus rabies. Selain itu, sekitar 1.700 kasus rabies dilaporkan terjadi di Bali sejak kasus rabies mencuat mulai 2008. Dia yakin, selain terus melakukan sejumlah langkah medis, upaya menghentikan menjual dan memakan daging anjing dapat mengurangi penularan penyakit itu langsung dari hulunya.
”Harapannya, sektor pariwisata di Bali juga tetap harum di mata wisatawan lokal dan dunia, tidak tercederai dengan kebiasaan mengonsumsi daging anjing,” katanya.