Mufakat Budaya Indonesia Imbau Masyarakat Stop Praktik Destruktif
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belasan tokoh, budayawan, dan aktivis yang bergabung dalam Mufakat Budaya Indonesia mengimbau masyarakat untuk menghentikan praktik-praktik yang bisa memicu perpecahan selama Pemilu 2019. Perpecahan akan melemahkan bahkan menghancurkan bangsa Indonesia yang telah dibangun oleh para leluhur sejak ribuan tahun lalu.
Budayawan Radhar Panca Dahana, di Jakarta, Selasa (12/3/2019), mengatakan, kontestasi politik telah meningkatkan perpecahan antarkelompok masyarakat yang didasari oleh perbedaan suku, bangsa, agama, dan keyakinan, bahkan pilihan politik. Perpecahan itu berujung pada konflik horizontal dan vertikal di tengah masyarakat.
”Kita dengar langsung di kalangan bawah. Pascapilpres, siapapun yang menang, katanya akan ribut. Jika sampai terjadi, akan banyak pihak yang mengambil keuntungan. Memancing di air keruh,” kata Radhar, yang membacakan pernyataan dan imbauan Mufakat Budaya Indonesia. Sejumlah tokoh yang hadir pada kesempatan ini, antara lain, Niniek L Karim, Adi Kurdi, Renny Djajoesman, Donny Gahral Ardian, dan Suhadi Sendjaja.
Menurut Radhar, kondisi ini tidak bisa diabaikan karena akan terus memburuk jika tidak segera dihentikan. Dia tidak ingin apa yang telah dibangun para leluhur sejak ribuan tahun lalu musnah hanya dalam satu dekade. Maka, untuk bisa menangkalnya, kebudayaan harus bergerak dan bersuara. Nilai-nilai kemanusiaan universal harus dijunjung kembali.
Akademisi Donny Gahral Ardian mengatakan, segregasi sosial dan kultural yang dipicu oleh kontestasi politik ini sedang menggiring bangsa Indonesia ke ambang kehancuran. Jika dibiarkan, Donny khawatir konflik seperti di Libya, Suriah, dan Sudan juga akan menimpa Indonesia.
Menurut Donny, untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan suatu katalis yang bisa menciptakan kembali kondisi bangsa Indonesia yang penuh dengan persaudaraan. Menjunjung kembali nilai-nilai kebudayaan bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan yang ditinggalkan oleh aktivitas politik praktis ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia Suhadi Sendjaja mengatakan, akhir-akhir ini, ada indikasi gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik. Akibatnya, timbul konflik di tengah masyarakat yang sangat beragam. Padahal, ajaran agama semestinya hadir untuk mengatasi konflik.
”Jadi, kalau ada konflik karena agama, pasti ada penyalahgunaan. Agama mesti menjadi landasan bagi kita untuk berbuat baik. Solusinya yaitu moderasi. Semua pemeluk agama harus bergerak ke sana,” ujarnya.
Sembilan imbauan
Dalam kesempatan itu, ada sembilan imbauan kepada masyarakat yang dibacakan oleh Radhar. Inti dari imbauan itu, pertama, menghentikan praktik diskursif, ujaran bahasa, sikap hingga tindakan yang terbukti atau berpotensi merusak tata hubungan sosial-kultural masyarakat.
Kedua, tidak menjadikan kontestasi politik, seperti pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, sebagai ajang pertempuran di antara kekuatan yang semata dihela oleh nafsu meraih kekuasaan. Ketiga, para elite politik, ekonomi, akademik, agama, hingga budaya tidak lagi menginisiasi, menginspirasi, bahkan mengorganisasi masyarakat luas untuk melakukan perbuatan destruktif demi tujuan kelompok masing-masing. Para elite mestinya mengambil dan menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab.
Keempat, mengingat dan menyadari kembali sejarah bangsa Indonesia yang memiliki kebudayaan Bahari yang menerima perbedaan di alam semesta, termasuk di kalangan manusia, sebagai keniscayaan bahkan berkah bagi kehidupan. Kelima, semua yang berbeda bagi bangsa dalam budaya Bahari diterima secara penuh karena merupakan unsur yang melengkapi dan mengembangkan eksistensi manusia.
Keenam, masyarakat menyadari bahwa sikap toleransi saja tidak cukup karena masih mengandung batas. Masyarakat Indonesia sejak lama sudah mengembangkan sikap akseptansi (penerimaan tak terbatas) bahwa perbedaan diterima dengan penuh rasa syukur yang menciptakan persaudaraan.
Ketujuh, akseptansi muncul karena karakter bangsa Indonesia yang komunalistik bahwa kepentingan orang banyak jauh lebih utama dibandingkan kepentingan personal. Kedelapan, pikiran dan tindakan mesti dilandasi oleh etika sesuai keadaban bangsa, begitu pula halnya kebenaran yang diyakini dan disampaikan harus obyektif, tidak hanya berdasarkan etika, tetapi juga kepentingan nasional.
Kesembilan, penghakiman sepihak sekadar demi kepentingan syahwat kuasa terhadap orang lain mesti dihindari dengan cara mengembangkan rasa saling pengertian, kerja sama, persaudaraan, dan kegotongroyongan dalam perbedaan. (YOLA SASTRA)