Distribusi Dokter Spesialis Belum Merata hingga Daerah
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Distribusi tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis yang belum merata masih menjadi masalah pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Meskipun Mahkamah Agung pada Desember 2018 telah membatalkan program wajib kerja dokter spesialis, Kementerian Kesehatan tetap berupaya mengirim lulusan baru dokter spesialis ke daerah lewat program pendayagunaan.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Selasa (12/3/2019) di Jakarta, menyampaikan, pengiriman lulusan baru dokter spesialis ke daerah, terutama di daerah pinggiran seperti daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) tetap harus dilakukan karena kebutuhan di daerah yang masih tinggi.
“Untuk itu, kita harapkan dokter spesialis yang baru lulus ini mau bekerja selama satu tahun di daerah. Tentu, honor tetap kita perhitungkan,” ujarnya.
Data Konsil Kedokteran Indonesia menunjukkan, rasio dokter spesialis di Indonesia mencapai 12,7 per 100.000 penduduk. Dari seluruh wilayah, hanya ada 11 provinsi dengan rasio dokter spesialis yang ideal.
Nila mengatakan, upaya pemerataan tenaga dokter spesialis dilakukan melalui program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS). Mulanya, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 telah mengatur pemerataan dokter spesialis melalui program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Namun, MA membatalkan aturan tersebut pada 18 Desember 2018 karena program wajib dapat membatasi hak asasi manusia.
Untuk itu, Nila menambahkan, paska dibatalkannya aturan terkait program WKDS, pemerintah akan melanjutkan sistem pengiriman dokter spesialis melalui program PDS. “Pengiriman dokter spesialis sudah operasional lagi. Tahun ini kami akan kirimkan lagi sesuai dengan kebutuhan dan permintaan daerah,” katanya.
Dalam Perpres Nomor 4/2017 menyebutkan, dokter spesialis yang wajib mengikuti program wajib kerja adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, anak, anestesi, penyakit dalam, dan bedah. Jenis spesialisasi tersebut, rencananya akan bertambah menjadi tujuh jenis spesialis sesuai kebutuhan daerah, yakni spesialis radiologi dan patologi klinik.
Secara terpisah, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, pelaksanaan program PDS sama dengan program WKDS. Untuk sementara, dokter spesialis yang sudah dikirim melalui program WKDS tetap berlanjut sesuai waktu yang ditentukan.
“Keputusan MA tidak berlaku surut. Jadi, tetap berlanjut. Putusan MA baru berlaku 90 hari setelah Kemenkes terima keputusan tersebut. Dalam waktu 90 hari ini, Kemenkes diberi waktu untuk melakukan perubahan pengaturan, Perpres-nya yang diubah. Target, April (2019) sudah rampung,” katanya.
Melalui program WKDS pada 2017-2018, sebanyak 2.039 dokter spesialis telah dikirimkan ke 631 rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara, tahun 2019 ini ditargetkan, sekitar 1.000 dokter spesialis kembali dikirimkan melalui program PDS.
Pengabdian profesi
Usman mengatakan, program PDS lebih menekankan pada pengabdian profesi. Hal ini berbeda dengan program WKDS yang bersifat wajib. Untuk terlibat dalam program PDS, dokter spesialis diminta untuk mendaftar ke kolegium dan organisasi profesinya masing-masing.
Peserta program ini adalah dokter spesialis yang baru lulus Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Peserta yang mengikuti program akan mendapatkan insentif dari pemerintah pusat sebesar Rp 22juta-Rp 30 juta per bulan, beserta tempat tinggal dan insentif dari pemerintah daerah atau lembaga pemberi beasiswa.
“Sementara, pengiriman dokter spesialis pada program PDS masih fokus pada daerah-daerah yang memang sangat membutuhkan dokter spesialis dasar. Penempatan tergantung permintaan daerah dan kesiapan rumah sakit terkait infrastruktur penunjang kinerja dan beban kerjanya,” ujar Usman.