Tanah Ulayat Masuk Hutan Produksi, Warga Tak Dapat Ganti Rugi
Oleh
Nikson Sinaga
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta mengeluarkan 420 hektar tanah ulayat warga dari hutan produksi yang disiapkan untuk Bendungan Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Warga sudah turun temurun bermukim dan bertani di sana, tetapi tidak mendapat ganti rugi karena masuk hutan produksi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun telah mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan atas wilayah tersebut kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Izin itu dapat membuat warga tergusur tanpa mendapat ganti rugi apa pun.
“Sebanyak 260 keluarga bermukim dan bertani di rencana lokasi Bendungan Lau Simeme yang meliputi lima desa. Tiba-tiba desa kami disebut kawasan hutan produksi dan akan ditenggelamkan menjadi bendungan,” kata Ketua Persatuan Arih Ersada, Sembol Ginting saat rapat dengar pendapat di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, di Medan, Senin (11/3/2019).
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi A DPRD Sumut Muhri Fauzi Hafiz tersebut dihadiri warga terdampak bendungan yang bernaung dalam Persatuan Arih Ersada, Ketua Satuan Kerja Pembangunan Bendungan Lau Simeme Balai Wilayah Sungai Sumatera II Marwansyah, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I KLHK Rahman Panjaitan, Kepala Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Sumut Effendi Pane, dan Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah Pemkab Deli Serdang Binsar Sitanggang.
Ganti rugi layak
Sembol mengatakan, pada prinsipnya warga dari lima desa yakni Desa Rumah Gerat, Sarilaba Jahe, Penen, Mardinding Julu, dan Kuala Dekah mendukung pembangunan bendungan. Namun, mereka meminta agar hak ulayat masyarakat diakui dan diberikan ganti rugi yang layak.
Menurut Sembol, bukti di lapangan menunjukkan mereka sudah bermukim dan bertani di wilayah itu secara turun temurun. Warga juga mempunyai sejumlah dokumen surat menyurat Kerajaan Urung Senembah yang menandakan bahwa kawasan tersebut sudah menjadi kampung sejak tahun 1875. Nama-nama kampung itu juga disebut dalam beberapa dokumen tahun 1953.
Warga mempunyai sejumlah dokumen surat menyurat Kerajaan Urung Senembah yang menandakan bahwa kawasan tersebut sudah menjadi kampung sejak tahun 1875. (Sembol Ginting)
Runtung Sembiring (45), warga Desa Sarilaba Jahe, mengatakan, selama ini keluarganya hidup sejahtera dari hasil pertanian berupa buah durian, manggis, salak, kebun karet, sawit, dan hortikultura di kawasan yang berada sekitar 30 kilometer di selatan Kota Medan itu.
“Saya bisa mendapat Rp 6 juta sampai Rp 7 juta per bulan dari satu hektar kebun saya. Tiba-tiba pemerintah menyebut tanah ulayat kami kawasan hutan dan langsung melepasnya. Lalu kami mau digusur kemana,” katanya.
Rahman Panjaitan mengatakan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK-579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara, lokasi pembangunan Bendungan Lau Simeme merupakan kawasan hutan produksi. “KLHK pun sudah memberikan izin pinjam pakai kawasan kepada Kementerian PUPR pada 2016,” kata Rahman.
Meski demikian, kata Rahman, KLHK saat ini sedang berupaya melakukan inventarisasi khusus untuk mengeluarkan desa itu dari hutan produksi. “Karena di lapangan ternyata ada perkampungan dan ladang warga,” katanya.
KLHK saat ini sedang berupaya melakukan inventarisasi khusus untuk mengeluarkan desa itu dari hutan produksi. (Rahmat Panjaitan)
Rahman mengatakan, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mengubah status lahan tersebut yakni dengan revisi penataan batas atau perubahan rencana tata ruang tata wilayah. Namun, beberapa kali program penataan batas dari KLHK, Deli Serdang belum masuk dalam program itu.
Binsar Sitanggang mengatakan, Pemkab Deli Serdang telah mengajukan inventarisasi khusus penataan batas hutan produksi di lokasi bendungan. Namun, Deli Serdang tidak pernah masuk program KLHK. Padahal KLHK melakukan penataan batas di 14 kabupaten di Sumut pada 2018 dan 2019. “KLHK sudah mengeluarkan izin pinjam pakai di kawasan itu, tidak mungkin lagi dilakukan penataan batas di lokasi yang sudah diberi izin,” katanya.
Marwansyah mengatakan, sebagai pelaksanan proyek pembangunan bendungan, BWS Sumatera II belum bisa mengeluarkan ganti rugi karena mereka telah mendapat izin pinjam pakai dari KLHK. “Tegakan pohon di lokasi bendungan pun belum bisa kami bayarkan karena kawasan itu merupakan hutan produksi,” katanya.
Marwansyah mengatakan, mereka sedang mencari jalan keluar yakni dengan membiayai program penataan batas hutan produksi. Jika kawasan itu dikeluarkan dari hutan produksi, mereka bisa membayar ganti rugi kepada masyarakat.
Marwansyah mengatakan, pembangunan bendungan itu bertujuan untuk mengendalikan banjir di Medan, menyediakan air baku, pembangkit listrik, dan area wisata. Studi kelayakan sudah dimulai sejak 1992, namun pembangunan baru dimulai pada 2017. Saat ini pembangunan masih dalam tahap pembukaan jalan dan pembangunan terowongan pengelak, terowongan untuk mengalirkan air selama bendungan dibangun.