JAKARTA, KOMPAS — Dua petinggi Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI didakwa menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana. Mereka disebut berulangkali menyuap Mulyana untuk memperlancar proposal yang diajukan oleh KONI dan mempercepat pencairan dana dari Kementerian.
Kedua terdakwa itu, Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johny E Awuy.
Dakwaan terhadap Ending dan Fuad disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK Ronald F Worotikan, dalam sidang terpisah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/3/2019). Meski demikian, materi dakwaan terhadap keduanya sama persis.
Dalam dakwaan disebutkan, Ending bersama Johny telah memberikan hadiah kepada Mulyana berupa satu unit mobil Fortuner VRZ TRD, uang sejumlah Rp 300 juta, satu buah kartu ATM Debit BNI dengan saldo senilai Rp 100 juta, dan satu buah handphone Samsung Galaxy Note 9.
Tak hanya itu, Ending disebut memberikan hadiah uang Rp 215 juta kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Asisten Olahraga Prestasi Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Adhi Purnomo dan Eko Triyanta.
Proposal hibah
Pemberian hadiah itu bermula dari pengajuan surat usulan dari KONI kepada Kemenpora pada Januari 2018. Surat itu diajukan dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional (PPON) pada Asian Games Tahun 2018 dan Asian Para Games Tahun 2018. Usulan dana tersebut sebanyak Rp 51,529 miliar.
Menindaklanjuti surat itu, Menpora Imam Nahrawi membuat disposisi kepada Mulyana untuk ditelaah, dan dilanjutkan kepada Asisten Deputi Olahraga dan Prestasi, PPK, dan tim verifikasi agar meneliti uji kelaikan proposal.
Agar proposal disetujui, Ending bersama Bendahara Pengeluaran Pembantu PPON Kemenpora Supriyono membeli satu unit mobil Fortuner seharga Rp 489,8 juta untuk diberikan kepada Mulyana.
Setelah pemberian itu, disepakati besarnya dana hibah yang dapat diberikan ke KONI Pusat sebanyak Rp 30 miliar dari total Rp 51,529 miliar yang diajukan.
Asisten Menpora
Selanjutnya agar dana segera cair, Mulyana dan Adhi Purnomo menyarankan kepada Ending untuk berkoordinasi dengan Miftahul Ulum, asisten pribadi dari Menpora, terkait jumlah biaya komitmen yang harus diberikan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora.
"Setelah terdakwa (Ending) berkoordinasi dengan Miftahul disepakati besaran komitmen fee untuk Kemenpora kurang lebih sebesar 15 hingga 19 persen dari total nilai bantuan dana hibah yang diterima KONI Pusat," ujar Jaksa Ronald.
Pencairan dana kemudian dilakukan dalam dua tahap. Dana tahap pertama cair pada Juni 2018. Adapun proses pencairan tahap kedua terjadi pada November 2018. Setelah pencairan dana tahap pertama, Ending sudah meminta Johny untuk memberikan biaya komitmen sebesar Rp 300 juta kepada Mulyana.
"Johny menemui Mulyana di ruang kerja Deputi IV dan menyerahkan uang Rp 300 juta dengan mengatakan ‘Ini bagian Bapak dari Pak Hamidy (Ending)’," kata jaksa Ronald.
Proposal pendampingan atlet
Tak berhenti di sana, Ending bersama Johny kembali menyuap Mulyana terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018. Suap kembali dilakukan untuk memperlancar pencairan dana.
Berdasarkan surat yang diajukan KONI pada Agustus 2018 itu, Menpora Iman Nahrawi membuat disposisi kepada Mulyana, PPK, dan tim verifikasi agar meneliti uji kelaikan proposal usulan. Untuk memastikan proses berjalan lancar, Ending meminta staf Mulyana, Eko Triyanta, untuk mengawal proposal supaya diterima Kemenpora.
Dalam rapat pembahasan disimpulkan bahwa proposal pengajuan KONI tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017. Pasalnya waktu pengajuan mendekati akhir tahun 2018 dan dana hibah akan dipergunakan pada tahun 2019.
Untuk memperlancar proses persetujuan proposal, Ending meminta Johny untuk menyerahkan uang sejumlah Rp 100 juta dalam bentuk kartu ATM BNI dan satu buah handphone Samsung Galaxy Note 9 sesuai permintaan Mulyana.
Perbuatan kedua terdakwa dinilai melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas dakwaan tersebut, keduanya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Hakim pun menyetujuinya dan sidang akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi mulai 21 Maret 2019. (MELATI MEWANGI)