Defisit Transaksi Berjalan Berimbas ke Pelemahan Rupiah
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Defisit transaksi berjalan menjadi sentimen negatif terhadap pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Dalam jangka pendek, defisit akan diperbaiki secara bertahap melalui peningkatan ekspor dan pariwisata.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada Senin (11/3/2019) menyentuh Rp 14.324 per dollar AS. Nilai tukar ini terlemah sejak 4 Januari 2019 yang sebesar Rp 14.350 per dollar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, tekanan global yang bersumber dari kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat menyebabkan pelemahan nilai tukar di hampir semua negara. Risiko pelemahan nilai tukar akan lebih besar menimpa negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan, termasuk Indonesia.
”Kenapa dampak tekanan global terhadap nilai tukar berbeda di satu negara dengan negara lain? Persoalannya ada pada defisit transaksi berjalan. Semakin besar defisit, kebutuhan dollar AS semakin tinggi,” tutur Mirza dalam acara Maybank Economic Outlook 2019 di Jakarta, Senin.
Mirza menyebutkan, defisit transaksi berjalan masih mungkin untuk diperbaiki. Pada 2016-2017, defisit transaksi berjalan bisa di bawah 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) karena inflasi rendah dan ekspor tumbuh. Bank Indonesia menargetkan defisit transaksi berjalan tahun 2019 di bawah 2,5 persen PDB.
Mengutip data Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 sebesar 9,1 miliar dollar AS atau 3,57 persen PDB. Defisit itu lebih besar dari triwulan III-2018 karena laju impor barang nonmigas lebih tinggi dari ekspor.
Selain neraca dagang, defisit transaksi berjalan triwulan IV-2018 juga disebabkan defisit neraca jasa 1,6 miliar dollar AS dan neraca pendapatan primer 7 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan pada Januari-Desember 2018 sebesar 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB.
Untuk memperbaiki defisit, lanjut Mirza, pemerintah dan BI fokus meningkatkan ekspor dan pariwisata. Pemerintah sudah menerbitkan berbagai insentif untuk memacu produktivitas ekspor industri. Sementara itu, perbankan didorong menyalurkan kredit untuk kegiatan produktif berorientasi ekspor.
”Dua puluh tahun lalu, neraca Indonesia, Thailand, dan Malaysia sama-sama defisit. Kini, neraca kedua negara itu sudah surplus karena lebih cepat melakukan peralihan ekonomi ke orientasi ekspor,” kata Mirza.
Chief Economist Maybank Investment Bank Suhaimi Ilias berpendapat, pemerintah dan BI juga harus merealisasikan strategi jangka panjang dalam rangka perbaikan defisit transaksi berjalan. Fokus ke depan bukan sekadar mengendalikan impor, tetapi membangun industri manufaktur yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
”Sesuatu yang tampak berbeda dari Indonesia adalah struktur industri manufaktur yang tidak sekokoh negara lain,” kata Suhaimi.
Menurut dia, penguatan industri manufaktur adalah dasar untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Ekspor Indonesia masih didominasi produk mentah dari sektor mineral dan pertambangan sehingga rentan terdampak gejolak ekonomi global. Kebijakan industrialisasi yang sudah disusun pemerintah mesti direalisasikan secara matang.
Penguatan industri manufaktur adalah dasar untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Ekspor Indonesia masih didominasi produk mentah dari sektor mineral dan pertambangan sehingga rentan terdampak gejolak ekonomi global
Defisit berganda
Suhaimi menambahkan, negara yang mengalami defisit berganda (twin deficits) seperti Indonesia membutuhkan lebih banyak arus modal masuk. Selain neraca transaksi berjalan, Indonesia juga mengalami defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, suku bunga acuan mesti dipertahankan agar tetap menarik.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, defisit APBN diupayakan terus menurun seiring dengan pengelolaan yang lebih efisien dan peningkatan pendapatan negara. Pada 2019, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 1,84 persen PDB atau senilai Rp 296 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pendapatan negara dalam APBN 2019 ditargetkan mencapai Rp 2.165,1 triliun, sementara belanja Rp 2.461,1 triliun. Penerimaan dari perpajakan diproyeksikan tumbuh dari Rp 1.618,1 triliun tahun 2018 menjadi Rp 1.786,4 triliun tahun 2019.
”Kontribusi penerimaan perpajakan terhadap total penerimaan negara diproyeksikan meningkat dari 74 persen tahun 2014 menjadi 82,5 persen tahun 2019,” ujar Suahasil.