Pengakuan Pemerintah Jadi Prasyarat Mengatasi Polusi Udara
JAKARTA, KOMPAS — Kebesaran hati pemerintah mengakui buruknya kualitas udara menjadi prasyarat mengatasi tingginya tingkat polusi udara di Jakarta. Selain itu, faktor keterbukaan data dan kebijakan yang berpijak pada kajian ilmiah juga penting.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, di Jakarta, Minggu (10/3/2019), mengatakan, sejauh ini pemerintah belum terbuka mengakui buruknya kondisi udara Jakarta. Hal itu tampak dari sikap pemerintah yang belum memberikan perhatian khusus menangani persoalan itu.
”Kalau bicara solusi, pemerintah harus mengakui dulu memang ada masalah pada kualitas udara. Kalau tidak, bagaimana mau bicara solusi? Tidak mengherankan sebetulnya apabila sampai saat ini kebijakan yang diambil tidak dalam konteks udara di Jakarta mengkhawatirkan. Seolah-olah udara (di Jakarta) baik-baik saja,” kata Bondan.
Menurut Bondang, pengakuan juga penting untuk mengungkap sumber-sumber penghasil polusi itu. Meskipun wajib, pemerintah belum mengumumkan kepada publik dari mana saja polusi itu berasal.
Semestinya emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi, industri, rumah tangga, dan sebagainya bisa diketahui persentasenya sehingga kebijakan yang diambil akan efektif.
”Kebijakan yang diambil sekarang berdasarkan apa? Selama ini, sudah adakah industri yang mendapatkan sanksi karena emisinya melebihi batas? Sudah adakah transportasi yang dilarang beroperasi karena emisinya berlebihan? Ini masih menjadi pertanyaan,” tuturnya.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara
Bondan menyatakan, kondisi udara di Jakarta sangat mengkhawatirkan. Laporan kualitas udara dunia 2018 yang dirilis AirVisual dan Greenpeace menyebutkan, Jakarta sebagai kota terpolusi di Asia Tenggara di atas Hanoi, Vietnam.
Berdasarkan laporan itu, konsentrasi rata-rata tahunan partikel debu halus berukuran 2,5 mikron atau PM 2,5 di Jakarta Selatan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dan di Jakarta Pusat 37,5 mikron per meter kubik. Angka tersebut mencapai empat kali lipat dibandingkan batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 mikron per meter kubik.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait kualitas udara di Jakarta, angka PM 10 dan PM 2,5 pada 2018 mencapai 34,2 mikron per meter kubik. Adapun standar baku mutu PM 2,5 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 adalah 15 mikron per meter kubik.
Adapun jika mengacu ke indeks standar pencemar udara (ISPU), yang belum menghitung PM 2,5, hanya 34 hari dalam setahun udara pada kondisi baik di Jakarta. Sementara itu, 122 hari kondisi udara sedang dan 196 hari kondisinya tidak sehat.
”Oleh karena itu, perlu tindak lanjut yang nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah polusi ini, mulai dari pengakuan, memperbanyak jumlah alat pemantau, keterbukaan data, dan pengambilan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah,” ujarnya.
Jika mengacu ke indeks standar pencemar udara (ISPU), yang belum menghitung PM 2,5, hanya 34 hari dalam setahun udara pada kondisi baik di Jakarta. Sementara itu, 122 hari kondisi udara sedang dan 196 hari kondisinya tidak sehat.
Kompas berupaya meminta tanggapan kepada Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih yang membawahi persoalan itu. Namun, hingga berita ini diturunkan, Andono belum dapat dikonfirmasi.
Jumat (8/3), Andono mengatakan, salah satu penyebab polusi udara di Jakarta adalah masifnya pembangunan infrastruktur dalam tiga tahun terakhir, seperti pembangunan infrastrutkur MRT dan LRT. Pembangunan itu memicu debu beterbangan.
Baca juga: Pembangunan yang Masif di Jakarta Picu Polusi
Dia berharap polusi itu bisa berkurang setelah pembangunan selesai. Sementara itu, untuk sumber polusi lain, seperti bahan bakar minyak, nantinya pemerintah mengupayakan mengganti bahan bakarnya dengan yang lebih ramah lingkungan.
”Untuk pemantauan kualitas udara pun, kami terus memantau. Ada lima titik tempat pemantauan kami di seluruh Jakarta,” ujar Andono.
Picu penyakit
Sebelumnya, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Ade Imasanti Sapardan dalam diskusi di Jakarta, Minggu, mengatakan, paparan polusi udara dalam jangka panjang berisiko memicu penyakit gagal jantung.
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation baru-baru ini, orang yang tinggal di lokasi dengan polusi udara tinggi memiliki jantung lebih besar (bengkak) dibandingkan orang yang tinggal di lokasi bebas polusi.
Baca juga: Polusi Udara Berisiko Memicu Gagal Jantung
Orang yang tinggal di lokasi dengan polusi udara tinggi memiliki jantung lebih besar (bengkak) dibandingkan orang yang tinggal di lokasi bebas polusi.
”Pembengkakan itu merupakan gejala awal gagal jantung. Jika terus-menerus menghirup udara yang tidak bagus ini, seseorang berisiko mengalami gagal jantung,” kata dokter yang sehari-hari berpraktik di Rumah Sakit Mayapada ini.
Menurut Ade, selama praktik, dirinya sering menemukan pasien yang mengalami pembengkakan jantung yang diduga berkaitan dengan polusi udara. Dugaan itu muncul karena pasien tidak memiliki riwayat merokok ataupun penyakit lainnya yang bisa memicu pembengkakan jantung. Temuan pada penelitian tersebut memperkuat dugaan itu.
Ade melanjutkan, selain gagal jantung, penyakit lain yang bisa dipicu oleh polusi udara antara lain infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru obstruktif kronis, asma, bahkan kanker.
Ade menambahkan, penggunaan masker memang bisa mengurangi dampak polusi udara terhadap kesehatan. Meski demikian, tidak semua jenis masker bisa menyaring polusi, terutama PM 2,5. PM 2,5 hanya bisa disaring oleh masker khusus, tetapi peredarannya masih terbatas dan harganya mahal. (YOLA SASTRA)