Mesin Waktu Jazz dan Festivalnya
Rentang panjang perjalanan genre jazz tersaji di panggung Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2019 yang berlangsung 1-3 Maret di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Hal ini sejalan dengan masa hidup Java Jazz Festival yang tahun ini memasuki tahun penyelenggaraan ke-15.
Perjalanan ”mesin waktu” jazz dimulai saat Addie MS bersama Twilite Orchestra tampil dalam set yang memainkan lagu-lagu besutan Gershwin Bersaudara. George dan Ira Gershwin tenar sejak dekade 1920-an dengan karya-karya megah di panggung musikal Broadway.
”Gershwin Bersaudara mengangkat musik populer ke tingkat yang lebih anggun. Iya, anggun seperti saya,” kata Lea Simanjuntak dengan gaya agak ”centil”, Jumat (1/3/2019). Lea, yang menjadi vokalis tamu itu, berlenggak-lenggok layaknya penyanyi Broadway.
Musik populer kala itu adalah fondasi bagi jazz di kemudian hari. Lagu-lagu Gershwin umumnya bernuansa swing, yang dimainkan dalam set instrumen lengkap. Orkestrasi Addie MS mewujudkan cita rasa itu.
”Karakteristik lagu-lagu musikal Broadway tak melulu soal cinta yang biasa. Aku lebih suka yang bernuansa komikal dan lucu,” ucap Lea. Dia lantas menyanyikan ”Guess Who I Saw Today” dari tahun 1952 yang pernah dipopulerkan Nancy Wilson.
Sang konduktor, Addie MS, ketika ditanya Lea, berucap, lebih suka lagu Gershwin yang sentimentil. Dia memilih dua lagu dari drama musikal Porgy & Bess.
Malam itu, Lea menunjukkan kualitas prima vokalnya, hingga menuai pujian dari pianis Bob James yang pada hari itu bergabung bersama mereka. Bob memainkan piano di lagu ”They Can’t Take That Away From Me” yang dipopulerkan biduan Ella Fitzgerald.
”Sungguh sebuah kehormatan bisa tampil memainkan lagu Gershwin bersama orkestra yang baik sore ini,” kata Bob yang setidaknya telah tampil di Java Jazz Festival (JJF) sebanyak lima kali.
Rekan satu band Bob di Fourplay, basis Nathan East, tampil di panggung lainnya setelah Addie MS menuntaskan nomor ”Just Another Rhumba”. Seperti Bob, Nathan juga telah berulang kali tampil di JJF. Kali ini, dia manggung bersama bandnya, Nathan East Band of Brothers.
Musiknya lebih condong pada fusion ataupun acid jazz yang populer pada dekade 1980-an. Di sini, jazz sudah berasa modern. Instrumen elektrik banyak ia pakai, termasuk flute elektrik bermerek Akai, yang kebagian part solo pada nomor ”101 Eastbound”.
Hampir berbarengan dengan aksi Nathan, di tempat lain, pemain drum Harvey Mason juga tampil atas nama Harvey Mason Chameleon. Harvey juga bergabung di band Fourplay bersama Bob, Nathan, dan gitaris Lee Ritenour.
Corak funk yang kental dipertontonkan dengan intensitas tinggi oleh grup bentukan basis Michael Manson. Pada sesi kali itu, Michael merangkai sejumlah tembang funk klasik besutan George Duke, juga Kool and the Gang. ”Ain’t get enough of that funky stuff!” diteriakan berulang-ulang.
Michael mengajak penyanyi muda asal Jakarta, Nima Ilayla. Salah satu lagu yang dinyanyikan Nima adalah tembang lawas ”Killing Me Softly” dari tahun 1972 yang pernah dinyanyikan Roberta Flack. Tarikan vokal Nima mengingatkan pada Lauryn Hill yang juga pernah memopulerkan lagu itu bersama The Fugees pada 1996.
Kerja sama antara pemusik Indonesia dan mancanegara, seperti pertemuan Nima dengan Michael, memang selalu terbuka di JJF. ”Pak Peter (pendiri JJF) tak hanya membawa musisi luar negeri ke Indonesia. Namun, juga mengenalkan musisi Indonesia ke luar negeri,” kata Addie MS yang pernah memimpin Polish National Radio Symphony Orchestra di Polandia ini. Peter F Gontha adalah mantan Duta Besar RI untuk Polandia.
Di panggung Avrist Hall, ada Barry Likumahuwa yang mengusung Tribute to Roy Hargrove. Hargrove adalah pemain trompet asal Texas, Amerika Serikat. Permainan trompetnya berakar kuat dari tradisi legenda jazz Louis Arsmtrong dan Miles Davis. Namun, dia meramunya dengan elemen funk, hip-hop, soul, dan gospel. Bagi Barry, Hargrove adalah salah satu sosok yang memberinya inspirasi.
Tribute To Roy Hargrove dihadirkan oleh Barry karena dunia jazz baru saja kehilangan sosoknya. Roy meninggal pada November tahun lalu. ”Aku terpengaruh sekali dengan musiknya, terutama yang RH Factor,” kata Barry. Hargrove tampil pertama kali di JJF pada 2010 bersama Roy Hargrove Quintet.
Kemarin, Barry mengusung sejumlah lagu, di antaranya ”Poetry”, ”Strasbourg St Denis”, dan ”Crazy Race”. Di panggung, Barry memberikan narasi tentang musik Hargrove. Bagaimana hip-hop memberikan pengaruh pada jazz.
”Aku, kalau perform, penginnya ada unsur edukasi. Jangan sampai orang datang ke festival jazz, tetapi enggak tahu tokoh-tokohnya. Yang mereka tahu cuma band-band yang lagi hip,” katanya. Dia senang, konsep yang semula ingin dia tampilkan di kafe, bisa diusung ke JJF.
Jalan panjang
Tahun 2019 ini, JJF memasuki usia 15 tahun. Sebagai sebuah festival internasional yang memanggungkan tak hanya bintang lokal, tetapi juga internasional, usia JJF yang bertahan hingga belasan tahun sangat pantas diperhitungkan.
JJF dirintis tahun 2005 oleh Peter F Gontha dibawah bendera PT Java Festival Production. Tujuannya kala itu untuk menunjukan bahwa Indonesia adalah bangsa yang damai meskipun pernah terjadi ledakan bom yang membuat sejumlah konser musisi asing batal.
Kala itu, JJF menghadirkan bintang-bintang internasional, seperti Carlos Santana, James Brown, Diana Krall, Jamiroquai, George Duke, Earth Wind and Fire, dan Incognito. Dari dalam negeri ada Bubi Chen Quartet, Ireng Maulana All Stars yang menggandeng Ermy Kullit, Elfa’s Singers bersama Harvey Malaiholo, dan Krakatau. Ada juga Andien, Syaharani, The Groove, Indra Lesmana Reborn, Iga Mawarni, Ruth Sahanaya, serta Simak Dialog. Hadir pula nama-nama dari dunia pop seperti Padi, Marcell Siahaan, dan Glenn Fredly.
Di penyelenggaraan pertama JJF di Jakarta Convention Center, kolaborasi musisi lintas bangsa juga sudah dilakukan, seperti duet Glenn Fredly-George Duke, bersama Ruth Sahanaya didukung pemain saksofon asal Jepang, Jeff Kashiwa.
JJF lantas rutin berlangsung setiap tahun. Di tahun keempat, JJF semakin ”moncer”. Posisinya bahkan telah disejajarkan dengan festival jazz kelas dunia, seperti North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda; Montreux Jazz Festival di Swiss, dan Newport Jazz Festival di Rhode Island, AS. Java Jazz makin menarik minat musisi jazz dunia untuk ikut berpartisipasi.
Pendiri dan pentolan grup vokal jazz The Manhattan Transfer yang tampil di tahun keempat JJF, Tim Hauser, turut memuji JJF. ”Tidak banyak festival jazz besar di dunia, dan saya pikir Java Jazz adalah salah satu festival jazz terbesar di dunia saat ini,” katanya kala itu. Pujian serupa terus mengalir dari banyak musisi hingga penyelenggaraan JJF pada tahun ini, seperti dari pentolan Toto, Steve Lukather, Gretchen Parlato, dan H.E.R.
Tahun kelima, JJF pindah ke JIExpo Kemayoran. Alasannya, JJF makin besar, butuh tempat yang lebih memadai. Beberapa bintang yang tampil adalah penyanyi R & B Bryan McKnight dan Peabo Bryson, Laura Fygi, Swing Out Sister, dan penyanyi pop Jason Mraz. Dari dalam negeri ada Maliq & D’Essentials, Soulvibe, RAN, serta Afgan, di samping eksponen jazz seperti Oele Pattiselano, Dewa Budjana, dan Tohpati.
Kaya ragam
Bertahun kemudian, banyak suara menyebut JJF yang makin nge-pop. Namanya saja yang ”festival jazz”, tetapi persentase penyanyi dan musisi pop jauh lebih banyak. Musisi dan penyanyi jazz juga dinilai mendapat perlakuan kurang pas karena diletakkan di panggung-panggung kecil.
Walau begitu, JJF terus bergulir. Tahun ini, JJF 2019, yang berusia 15 tahun, menunjukkan wajahnya yang lebih segar, tetapi berusaha mempertahankan rasa jazz-nya. Jazz yang ditampilkan memang bukan jazz kental, melainkan hasil sintesisnya yang kaya ragam.
Beberapa di antaranya ditampilkan trio asal Manchester, Inggris, Gogo Pinguin; trio Moonchild asal Los Angeles, Amerika Serikat, Grechen Parlato; danKnower. Di jajaran penampil special show ada penyanyi muda H.E.R dan Raveena meskipun di pengujung JJF tampil band gaek, Toto.
Konon, tahun ini, sebagaimana diungkapkan Direktur Utama PT Java Festival Production Dewi Gontha, JJF memang ingin menyasar segmentasi usia yang lebih muda, yaitu 18-34. Tahun-tahun sebelumnya, pasar yang disasar JJF adalah rentang usia 24-45 tahun. Ditilik dari penonton selama tiga hari lalu, upaya itu menunjukan hasil.
Tema yang diusung adalah Broadway dan Motown. Broadway menggambarkan pertunjukan live yang megah, sementara Motown diwujudkan dari musikalitas yang sangat lebar.
Bagi musisi muda seperti GAC (Gamaliel, Audrey, dan Cantika), JJF yang telah berlangsung selama 15 tahun ibarat ruangan besar yang memberikan kesempatan untuk menikmati berbagai genre musik, tak hanya jazz. ”JJF itu lebih pada dobrakannya, dan membuat kultur baru. Bagaimana jazz yang awalnya di Indonesia adalah musik yang susah—susah diterima—tetapi dengan adanya JJF akhirnya bisa diterima dan sampai sekarang peminatnya enggak habis-habis,” kata Gamaliel.
Hal serupa diungkapkan Steve Lukather. ”Festival seperti Java Jazz ini bagus. Sebab, tidak hanya menampilkan musisi layaknya Miles Davis, misalnya, dan semua yang tradisional, tetapi JJF merangkul semua jenis musik. Yang perlu disoroti adalah bagaimana jazz telah membangun komunitas antarmusisi,” ujarnya. Jazz, menyatukan semua.