Mencumbu Keelokan Ciletuh
Sejauh mata memandang, hamparan alam ambles ke bawah permukaan bumi. Hutan, persawahan, dan sejumput perkampungan terhampar. Di kejauhan tampak Samudra Hindia di balik kabut tipis pagi hari.
Sekeliling permukaan bumi yang ambles tersebut adalah bukit-bukit yang menghijau, menjadikan kawasan di bawah itu mirip cawan atau mangkuk membentuk mega-amfiteater. Sinar matahari mulai mencubit kulit, menyengat tiga desa di bawah sana: Ciwaru, Mandra Jaya, dan Mekar Sari.
Pemandangan menakjubkan itu terlihat dari Bukit Panenjoan. ”Tenjo” dalam bahasa Sunda berarti ”lihat” sehingga Bukit Panenjoan bisa diartikan sebagai ”bukit tempat melihat” yang keberadaannya memang berada di dataran tinggi Ciletuh Geopark Global UNESCO, Sukabumi, Jawa Barat.
Cuaca yang cerah Minggu pagi itu memungkinkan kami melihat air terjun jatuh di tepi bukit seberang Panenjoan, yaitu Curug (air terjun) Cimarinjung dan Curug Cikanteh.
”Sampai sekarang memang masih banyak teori terjadinya amfiteater itu,” kata sahabat saya, Ronald Agusta, awal Februari lalu. Dia menunjuk kawasan ketinggian sebelah kanan dari Panenjoan. ”Di atas sana adalah Puncak Darma, salah satu obyek ketinggian lainnya di Ciletuh.”
Ronald adalah salah seorang yang sejak awal ikut bersama tim Pusat Penelitian Geopark dan Kebencanaan Geologi Universitas Padjadjaran yang diketuai Prof Ir Mega Fatimah Rosana, MSc, PhD, menyemai kawasan Ciletuh hingga tumbuh menjadi salah satu geopark dunia. Mereka melakukan riset di kawasan itu sejak belasan tahun lalu dengan berbagai kajian.
Teori pertama bentang tanah Ciletuh itu merupakan sisa dari tumbukan Lempeng Eurasia (Lempeng Benua) dan Lempeng Indo-Australia. Pergerakan alam 60 juta tahun silam tersebut menyebabkan terangkatnya salah satu palung laut terdalam yang kini mewujud menjadi lembah raksasa itu.
Kecantikan kawasan Ciletuh yang berada di Kecamatan Ciema, Kabupaten Sukabumi—sekitar 30 kilometer sebelah selatan barat daya Palabuhanratu—mengundang penasaran banyak wisatawan. Kawasan yang baru saja menjadi Global Geopark UNESCO dengan luas situs 126.100 hektar itu meliputi 74 desa di 8 kecamatan. Bentang alam di kawasan itu didominasi oleh tebing-tebing tinggi menjulang. Selintas mirip Lembah Harau di Sumatera Barat, tetapi ini dalam bentuk yang lebih dahsyat.
”Ada juga peneliti yang sedang meneliti kemungkinan amfiteater Ciletuh itu terbentuk akibat tumbuhan meteor maharaksasa yang menghantam bumi,” kisah Ronald.
Fotografer dan mantan wartawan sebuah majalah berita itu menjadi pemandu kami. Pengalamannya mendampingi tim peneliti ikut memberdayakan masyarakat setempat menjadikan hal mudah untuk bercerita berbagai hal kehidupan di Ciletuh. ”Dulu, awal-awalnya hanya Land Rover dengan four wheel drive yang bisa melewati jalan itu,” kisahnya.
Bagi warga Jawa Barat, sebelum seperti sekarang, kawasan Cianjur Selatan, Jampang Kulon, Surade, Ujung Genteng, apalagi Ciletuh, ibarat ”negeri yang belum merdeka” dan relatif belum tersentuh pembangunan. Buruknya infrastruktur, belum ada jembatan, membuat kawasan itu ”susah dijangkau” masyarakat luar. Kini, jalanan mulus licin, jarak tidak lagi menjadi kendala untuk mencapainya. Para pencinta sepeda atau sepeda motor setiap akhir pekan ramai melakukan touring atau riding ke mutiara wisata baru Parahyangan itu.
Bersepeda gembira
Kami bersebelas orang, di sebuah akhir pekan awal Febuari lalu, memilih bersepeda untuk mencapainya. Panggilan untuk bersepeda dari rekan-rekan pendaki gunung selagi mahasiswa dulu—Palawa Unpad—langsung diiyakan. ”Kita gowes piknik saja,” kata Kang Onath. Berhubung banyak di antara peserta berasal dari Bandung, kami memilih rute dari arah Rancabali Ciwidey.
Dari kawasan dingin kebun teh ini, kami harus menempuh jarak sekitar 250 kilometer untuk mencapai Ciletuh. Tentu saja ada tim evakuasi karena kami ingin lebih menikmati perjalanan ini dengan lebih gembira.
Tidak salah memilih rute ini. Jalanan mulus, menurun dan rolling halus tak membutuhkan tenaga untuk menggerakkan sepeda. ”Kita lalayaran saja, tetap konsentrasi. Turunan tajam, banyak belokan tusuk konde (hair pin),” kata Ronald yang didapuk menjadi road captain saat briefing di kawasan Rancabali. Lalayaran adalah istilah untuk menikmati sepeda tanpa gowes di turunan dan jalanan halus.
Perjalanan sempat terhenti di atas ketinggian Naringgul. Kelak-kelok jalanan di bawah begitu menantang. ”Ini lebih cantik daripada Kelok 44 di Bukittinggi, ya,” ujar seorang rekan.
Para pesepeda menyebut tanjakan-tanjakan tajam itu dengan sebutan Tanjakan Seribu. Bahkan, seorang sahabat membandingkan keindahan kawasan Naringgul dengan sejumlah air terjun di sejumlah tebing itu dengan air terjun kawasan Lauterbrunnen di Swiss. Sebuah air terjun yang jatuh di sebelah sisi jalan menuju Cidaun, buat saya, justru membuat Naringgul lebih cantik.
Selepas Naringgul, kami menikmati makan siang di Cidaun dan meneruskan perjalanan via perkebunan Agrabinta. Sinar matahari sore yang menyelinap di antara pohon mengundang kami untuk menikmati kopi di sebuah warung.
Rumah penduduk
Tidak ada hotel atau vila di kawasan Ciletuh. Salah satu syarat sebuah kawasan menjadi geopark adalah warga setempat harus mendapat dampak ekonomi. Untuk itu, warga didorong untuk menyediakan homestay atau rumah singgah. Kami menginap di sebuah homestay Desa Tamanjaya, sebuah rumah panggung yang resik dengan dua kamar dan satu ruang besar di tengah rumah.
Si tuan rumah, Deni dan istri serta seorang putrinya, menginap di kamar belakang dekat dapur. Mereka pulalah yang menyiapkan rebus-rebusan dan bubur kacang hijau-duren teman mengopi di malam hari serta sarapan pagi dengan sop ayam yang segar.
Selepas sarapan, kami sudah menyiapkan sepeda masing-masing. Bersepeda di Ciletuh adalah menikmati turunan-turunan mulus dan datar dengan embusan angin pantai di Pantai Palangpang. Kalaupun ada ”siksaan”, tak lain adalah tanjakan sekitar 3 kilometer menuju Puncak Darma, sebuah tempat kami bisa melihat keindahan Teluk Ciletuh dari ketinggian.
Sekitar 2-3 kilometer dari Bukit Panenjoan dan sekitar 1 kilometer dari jalan aspal menuju Curug Awang, jalanan hanya berupa makadam belum semulus jalanan menuju obyek lokasi lain, tetapi menambah seru perjalanan. Curug Awang merupakan curug terbesar di kawasan Geopark Ciletuh. Banyak orang menyebutkan, belum ke Ciletuh jika belum mengunjungi kawasan air terjun ini.
Akan tetapi, setelah hari itu mengunjungi curug-curug lain, seperti Curug Sodong dan Curug Cimarinjung, asumsi itu sepertinya tidak berlaku. Berbeda dengan Curug Awang, tempat pengunjung bisa menjejak bebatuan di puncak air terjun yang membentang luas, Curug Sodong terlihat megah dan luar biasa dengan air terjun yang bertingkat-tingkat.
Demikian juga Curug Cimarinjung yang terletak tidak jauh dari Pantai Palangpang, kemegahan air terjun itu sangat luar biasa dan menggetarkan.
Catatan penting, sepertinya pemerintah setempat harus mulai menata kawasan pantai yang mulai tumbuh. Sejumlah bangunan dengan berbagai gaya arsitektur mulai tumbuh untuk menampung wisatawan.
Minggu sore, dari Puncak Darma, Ciemas, Teluk Ciletuh terlihat begitu tenang. Puncak ini dari Curug Cimarinjung berjarak sekitar 3 kilometer saja. Namun, dengan ketinggian 230 meter di atas permukaan laut, butuh dengkul baja untuk menggowes untuk mencapai salah satu puncak tertinggi di kawasan Ciletuh ini.
Mereka yang memilih jalur Cikidang, Palabuhanratu—bukan via Naringgul seperti kami—biasanya akan berhenti di puncak ini, menikmati keindahan alam dari ketinggian.
Sehari-dua hari tidaklah cukup untuk mengeksplorasi Geopark Ciletuh yang terbagi dalam tiga area itu: Ciletuh, Simpenan, dan Cisolok. Di kawasan tersebut tersebar 50 obyek wisata yang semuanya memikat.
Petang beranjak matang ketika kami bergerak pulang ke Bandung via Loji, Sukabumi. Godaan semburat lembayung kuning menghentikan langkah di Puncak Gebang.
Seperti juga Puncak Darma, dari sini wisatawan bisa melihat lanskap Teluk Ciletuh. Sepasang manusia di kejauhan menjadi siluet dengan latar belakang matahari yang pamit bersembunyi di balik samudra. Sungguh pemandangan menggoda. Suatu saat kami harus kembali ke sana.