Milenial Tidak Suka Berjalan Kaki

Warga berjalan kaki menyusuri jalur pedestrian di Jalan Basuki Rahmat, Surabaya, Jawa Timur, Senin (23/7/2018). Pemerintah Kota Surabaya membangun jalur pedestrian dengan lebar 3-5 meter untuk memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.
Diana (40) sudah sebulan ini membiasakan diri untuk jalan kaki atau berlari setiap sore di sekitar rumahnya. Hasilnya, metabolismenya yang selama ini terganggu kembali normal. “Badan jadi berkeringat, bisa tidur malam dengan nyenyak, dan lancar BAB tiap pagi”, cerita Diana saat ditanya manfaat dari rutin berjalan kaki.
Sebelumnya, PNS di Kota Semarang tersebut memang tidak beraktifitas fisik dan lebih banyak menghabiskan waktunya di belakang meja. Mobilitas hariannya pun lebih banyak menggunakan sepeda motor atau mobil pribadi.
Kesadaran tersebut mulai muncul karena Diana sangat terganggu dengan insomnia yang dideritanya selama ini. Setelah mengikuti anjuran dokter dan teman-temannya dia memilih olahraga ringan jalan kaki atau jogging supaya tubuhnya lebih banyak bergerak.
Langkah kecil yang dilakukan Diana tersebut juga dilakukan oleh masyarakat perkotaan lainnya. Jajak pendapat Kompas akhir Januari lalu mencatat, hampir 70 persen responden di 16 kota besar di Indonesia mengaku mempunyai kebiasaan berjalan kaki setiap hari selama 30 menit.
Selama ini masyarakat kurang aktif bergerak karena kemudahan-kemudahan yang diciptakan teknologi. Selain itu, perkembangan dunia digital sekarang ini membuat segalanya mudah diakses dari sebuah smartphone. Dari membeli makanan/minuman, barang, informasi, bahkan moda transportasi mudah didapatkan hanya dengan duduk atau tidur. Kalau sudah begitu, aktifitas fisik akan sangat jarang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Warga melakukan aktivitas lari pagi di taman sekitar Balairung Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu (17/5/2014). Aktivitas lari kini bukan semata untuk berolahraga, melainkan juga menjadi ajang rekreasi dan sosialisasi. Lariza Oky Adisty (A01)
Bagi mereka yang rutin berjalan kaki setiap hari, sekitar 40 persennya melakukannya sebagai aktivitas olahraga seperti yang Diana lakukan. Selain itu, mayoritas (56 persen) sebagai aktifitas pulang pergi dari/ke tempat aktivitas. Hal tersebut dilakukan oleh Ciko (41) yang membiasakan diri untuk berjalan kaki ke kantor client jika jaraknya satu hingga lima kilometer. “Beberapa kali aku jalan dari Cawang ke Bidakara, cuma 4 km, dan 45 menitan sudah sampai”, cerita karyawan swasta yang tinggal di Bekasi tersebut.
Selain berkunjung ke client, saat weekend Ciko juga memanfaatkan pusat perbelanjaan sebagai wahana untuk berjalan kaki. “Lumayan pegel juga jalan bareng anak keliling mall sampai 2 jam”, tambahnya lagi.
Pengguna kendaraan pribadi seperti Diana dan Ciko, setiap hari akan minim bergerak aktif. Alternatif aktivitas fisik yang bisa dilakukan : memilih naik tangga untuk menuju lantai atas, memarkir kendaraan lebih jauh, menggunakan waktu makan siang untuk bergerak lebih jauh, hingga meluangkan waktu setiap hari untuk olahraga jalan kaki.
Diana dan Ciko menyadari aktifitas jalan kaki mempunyai banyak manfaat. Jalan kaki, salah satu cabang olahraga yang bisa meningkatkan kebugaran dan menurunkan berat badan. Rutin berjalan kaki lebih dari 30 menit juga bisa menjaga kesehatan otak, dan mengatasi berbagai penyakit seperti jantung, hipertensi, diabetes, hingga depresi. Jika dilakukan dengan teknik yang benar, akan memberikan dampak positif.

Para peserta Matahari Family Run berlari sejauh lima kilometer di kawasan Semanggi, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Penelitian yang dilansir New York Post, dikutip dari laman Kompas.com menyebutkan kebiasaan jalan kaki dengan kecepatan normal berkaitan dengan penurunan risiko kematian hingga 20 persen, dibandingkan berjalan dengan kecepatan lambat. Berjalan dengan kecepatan lebih tinggi juga dapat mengurangi risiko kematian hingga 24 persen.
Penelitian tersebut juga menyebutkan, jalan kaki juga berdampak bagi mereka yang lanjut usia. Rata-rata pejalan kaki yang berusia 60 tahun atau lebih, mengalami penurunan risiko kematian akibat permasalahan kardiovaskular hingga 46 persen. Para lansia yang berjalan dengan kecepatan tinggi tersebut juga mengalami penurunan risiko kematian hingga 53 persen.
Lebih Aktif
Warga Jabodetabek lebih aktif bergerak dibandingkan warga di kota lainnya. Proporsi warga Jabodetabek yang mengaku rutin berjalan kaki (67 persen) lebih tinggi dibandingkan warga kota lainnya. Warga kawasan megapolitan tersebut biasanya jalan kaki untuk menuju dan meninggalkan tempat aktivitas seperti yang sering dilakukan oleh 35,8 persen.
Mengapa warga Jabodetabek lebih aktif ? Kemacetan lalu lintas yang diantisipasi pemerintah dengan Kebijakan Ganjil Genap dan perbaikan kualitas angkutan umum, membuat 21 persen warga beralih dari moda pribadi menggunakan angkutan umum. Peralihan inilah yang membuat proporsi warga Jabodetabek untuk rutin berjalan kaki lebih tinggi dari wilayah lainnya.
Bagi pengguna angkutan umum, pasti ada proses berjalan kaki. Setidaknya saat menuju halte bus di pinggir jalan, ataupun halte bus yang harus ditempuh dengan Jembatan Penyeberangan Orang. Jika menggunakan kereta komuter, jalan kaki akan dilakukan dari depan stasiun hingga peron untuk menunggu kereta. Langkah kaki akan semakin panjang saat perpindahan peron dilakukan melalui terowongan ataupun jembatan.

Warga mulai menggunakan jembatan penyeberangan orang (JPO) Gelora Bung Karno di Jalan Sudirman setelah diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (28/2/2019). JPO tersebut menarik perhatian warga karena desainnya yang unik dan artistik.
Susan (40) memastikan dirinya beraktifitas jalan kaki 30 menit setiap hari. Pengguna bus tersebut menceritakan bagaimana dia harus berpindah moda dari bus shuttle perumahan menuju bus Transjakarta dan dari halte menuju rumah yang harus dilakukan dengan berjalan kaki.
“Turun dari shuttle bus di Komdak jalan kaki naik JPO untuk mencapai halte bus Transjakarta di seberang. Setelah sampai halte tujuan, jalan kaki dilakukan dilanjutkan menuju kantor. Kalau pulang, cara yang sama dilakukan, malah ditambah jalan kaki sekitar 1,5 km dari halte menuju rumah”, cerita Susan .
Sebenarnya Susan bisa menggunakan ojek dari halte bus menuju rumahnya. Namun karyawan swasta tersebut memilih untuk berjalan kaki supaya ada aktifitas fisik setelah seharian duduk di belakang meja.
Apa yang dilakukan Susan benar. Sistem transportasi umum berdampak pada turunnya tingkat obesitas masyarakat. Penelitian di Amerika Serikat yang dipublikasikan akhir Januari lalu menemukan bahwa peningkatan satu persen dalam perjalanan angkutan umum berhubungan dengan obesitas yang lebih rendah 0,473 persen di seluruh Amerika (Kompas.ID, 30/01/2019).
Penelitian tersebut dilakukan karena sejak Perang Dunia II, peningkatan penggunaan mobil semakin tinggi. Hal tersebut diikuti oleh peningkatan angka obesitas masyarakat. Sebaliknya saat masyarakat AS mulai menggunakan kereta dan bus, tingkat obesitas akan menurun.
Selain sebagai alat mobilitas menuju tempat aktivitas dan angkutan umum 27,3 persen warga Jabodetabek menjadikan jalan kaki aktivitas olahraga setiap hari.
Laman Everybodywalks menyebutkan, berjalan kaki membakar lebih banyak lemak dibandingkan lari (jogging). Jalan kaki bisa membakar kalori dari 220 hingga 405, tergantung dari teknik berjalan kakinya.
Olahraga jalan kaki memerlukan teknik yang berbeda dengan jalan kaki biasa. Laman HelloSehat menyebutkan ada 2 teknik, yakni jalan kaki santai (Strolling) dan jalan cepat (power walking). Jalan santai dilakukan dengan kecepatan normal dan biasanya masih bisa bicara tenang tanpa kehabisan napas. Jika dilakukan selama satu jam, bisa membakar sekitar 238 kalori.

Situasi di depan Stadion Utama Gelora Bung Karno yang digunakan masyarakat untuk berolahraga pada Kamis (7/2/2019) malam.
Power walking dilakukan dengan kecepatan 5 hingga 7 kilometer per jam. Biasanya, akan kesulitan berbicara tanpa kehabisan napas. Jalan cepat ini syaratnya berjalan dengan langkah yang lebih panjang dari biasanya.
Tumpuan saat menjejakkan kaki adalah pada tumit, baru kemudian pindah ke seluruh telapak kaki sambil bergerak maju. Punggung tetap tegak, kepala menghadap ke depan, diikuti kedua lengan sebaiknya diangkat di kedua sisi tubuh hingga membentuk sudut siku. Aktifitas power walk ini bisa membakar sekitar 355 hingga 405 kalori.
Tak Suka Jalan
Fakta lainnya, proporsi generasi milenial yang terbiasa berjalan kaki lebih sedikit dibandingkan generasi baby boomer. Generasi yang berumur 40 tahun ke atas tersebut 68 persen mengaku lebih sering berjalan kaki, ketimbang 61 persen generasi Y.
Agaknya hal tersebut terjadi karena generasi yang dilahirkan pada 1980 hingga sekarang sudah memperoleh banyak kemudahan karena perkembangan teknologi dan peningkatan pendapatan. Jika dulu generasi orang tuanya harus berjalan, naik sepeda puluhan kilometer, atau naik turun angkutan umum untuk menuju sekolah. Sekarang, mobilitas sudah dimudahkan dengan keberadaan sepeda motor, ojek online ataupun mobil.
Hal itulah yang membuat para generasi milenial tidak terbiasa untuk berjalan kaki. Bahkan cenderung malas bermobilitas dengan berjalan kaki. Seperti yang terjadi pada Rita (26) yang enggan untuk berjalan kaki dari rumahnya di kawasan Kalibata menuju Stasiun Kalibata yang kurang lebih hanya berjarak 100 meter (Kompas.ID,12/08/2018). Rita lebih memilih untuk naik ojek online yang siap menjemput dari depan rumah menuju kantornya di kawasan Senayan. Padahal jika dia menggunakan moda kereta, akan selalu ada aktifitas jalan kaki.
Generasi milenial pun cenderung memilih menggunakan moda pribadi seperti sepeda motor dan mobil, serta ojek dibandingkan generasi Y. Dari jajak pendapat, responden yang berusia 18-38 tahun, 82 persen menggunakan sepeda motor dan mobil, serta 12 persen naik angkutan umum. Adapun generasi orang tuanya, 76 persen pengguna moda pribadi dan 14 persen naik angkutan umum.

Suasana lalu lintas di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Rabu (2/1/2019). Jalan ini merupakan ruas jalan yang menerapkan pembatasan mobil pribadi dengan sistem ganjil-genap.
Tidak Rutin
Meski sudah separuh lebih warga perkotaan yang gemar berjalan kaki, masih tersisa sekitar sepertiga responden yang belum rutin melakukannya. Keengganan sekitar sepertiga responden, senada dengan hasil penelitian Universitas Stanford Amerika menyebutkan, Indonesia berada pada posisi buncit 46 negara yang dijadikan obyek penelitian. Rata-rata orang Indonesia hanya melangkah 3,153 per hari. Bandingkan dengan Hongkong dengan rata-rata 6.880 langkah per hari atau China 6.180 langkah per hari.
Faktor internal dari masing-masing warga seperti rasa malas (30 Persen), tidak punya waktu (20,3 persen) dan alasan kesehatan (14 persen) yang lebih mendominasi ketimbang faktor eksternal seperti cuaca, polusi, keamanan serta faktor ketersediaan sarana pejalan kaki.
Faktor internal terbentuk karena berjalan kaki bukanlah sesuatu aktivitas yang populer di Indonesia. Untuk menghilangkan hambatan faktor rasa malas tersebut, harus ada dorongan dari diri sendiri dan menjadikan jalan kaki sebagai salah satu upaya untuk hidup sehat. Budaya berjalan kaki di perkotaan bisa digalakkan kembali dengan berbagai event kampanye atau perlombaan. Toh berjalan kaki merupakan moda dasar mobilitas manusia sebelum alat-alat transportasi seperti sepeda, sepeda motor, bus, dan lain-lain tercipta.
Meski demikian, faktor eksternal seperti cuaca, polusi udara, dan keamanan tidak bisa dinafikan. Cuaca Indonesia yang panas dengan suhu sekitar 29 hingga 32 derajat Celcius diikuti dengan kelembaban tinggi akan membuat 7,3 persen responden enggan berjalan kaki. Beberapa orang yang tidak terbiasa menghadapi suhu tinggi akan merasa pusing, sakit kepala, ataupun kulit yang terbakar.
Selain itu, ada bahaya lain yang mengancam yakni pencemaran udara tinggi di perkotaan. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Palembang, Pekanbaru, Surabaya, dan Mataram, berdasarkan pengukuran dari Kementerian Lingkungan Hidup Februari 2019, kualitas udaranya melebihi nilai kategori baik (0-51) dan masuk kategori sedang (51-101). Meski tidak dirasakan saat itu juga tapi bisa menimbulkan penyakit serius seperti Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), pneunomia, hingga kanker paru yang mematikan.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah keamanan, seperti yang dikeluhkan oleh 4 persen responden. Soal kriminalitas seperti penjambretan dan pencopetan kerap terjadi di trotoar saat masyarakat berjalan kaki. Belum lagi perkara keselamatan pejalan kaki yang sering tertabrak sepeda motor ataupun mobil. Kisah delapan pejalan kaki yang berjalan di trotoar dekat Gambir Januari 2012 lalu masih lekat dalam ingatan dan diperingati menjadi hari Pejalan Kaki Nasional.

Kondisi Trotoar
Kondisi trotoar juga memberi andil pada kenyamanan berjalan kaki. Hampir 60 persen warga yang mempunyai kebiasaan berjalan kaki menilai kondisi trotoar di kotanya masing-masing cukup baik dan layak untuk dilewati. Trotoar menurut ketentuan Kementerian Pekerjaan Umum merupakan salah satu fasilitas pejalan kaki di perkotaan, selain jembatan penyeberangan orang, sarana penyeberangan zebra cross dan pelican crossing, serta bahu jalan.
Desain trotoar harus kuat, nyaman, aman, indah, awet, dan tanpa hambatan. Syarat trotoar, diantaranya : lebar minimal 1,2 meter, memiliki perbedaan ketinggian dengan jalur kendaraan bermotor (20 cm) dilengkapi dengan jalur dan perangkat pemandu bagi kaum disabilitas, memiliki pandangan bebas pada kegiatan sekitarnya maupun koridor jalan keseluruhan,
Syarat tersebut harus terpenuhi semua karena seorang pejalan kaki bisa saja tidak sekadar berjalan kaki dengan kedua kakinya tapi menggunakan alat bantu seperti kursi roda, skuter bermotor, alat bantu jalan, tongkat, skateboard, dan sepatu roda. Pejalan kaki juga tidak semua normal, ada sejumlah kaum disabilitas yang ikut memanfaatkannya. Selain itu, pejalan kaki mungkin juga membawa barang dengan berat berbeda-beda, dijinjing dengan tangan atau diletakkan di punggung, di atas kepala, dipikul, atau didorong/ditarik.
Namun pada prakteknya, ketentuan di atas kertas tersebut sulit terwujud. Kondisi trotoar yang buruk, memberi andil pada keengangan 4,5 persen responden yang belum rutin berjalan kaki. Kondisi trotoar yang baik dan ideal pun, belum tentu bisa diakses oleh pejalan kaki. Sebanyak 18 persen mengatakan trotoar di kotanya dipakai untuk berjualan PKL. Sampai sekarang, PKL merupakan salah satu musuh pejalan kaki di perkotaan.
Seperti di Jakarta, trotoar lebar berukuran 1,5 meter dan beberapa diantaranya dilengkapi dengan bangku-bangku, digunakan separuh areanya untuk PKL berjualan. Dampaknya, area bagi pejalan kaki berkurang, bahkan terkadang pejalan kaki harus mengalah untuk berjalan di badan jalan.
Musuh lain bagi pejalan kaki di perkotaan adalah pengendara sepeda motor seperti yang disebutkan oleh 7,4 persen responden. Tak sekadar diparkir di trotoar, kendaraan bermotor juga sering melintasi trotoar. Alasannya untuk menghindari kemacetan. Kalau sudah begini, pejalan kaki yang harus mengalah untuk turun ke badan jalan. Resikonya tentu saja adalah tertabrak kendaraan bermotor.
Membiasakan diri berjalan kaki setiap hari tidaklah mudah. Selain faktor internal dari dalam diri seperti niat dan keinginan untuk hidup sehat, faktor eksternal dan ketersediaan fasilitas kota juga menjadi pendorong. Namun, yang paling penting adalah keinginan untuk hidup sehat seperti yang dilakukan oleh Diana, Ciko, dan Susan dengan rutin berjalan kaki setiap hari selama 30 menit. (M. PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS)