Bisnis pertambangan, seperti batu bara, bauksit, emas, tembaga, di Indonesia selama ini memang mudah dan menggiurkan. Cara bisnisnya cukup dengan menggali permukaan atau perut bumi dan menjual bahan mentah yang diperoleh ke pasar dunia.
Keuntungan yang diperoleh bisa lebih cepat karena investasinya relatif tidak terlalu besar. Sementara harga jual komoditas cukup tinggi di pasar luar negeri. Apalagi saat harga komoditas sedang naik. Pertambangan batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang sudah berusia 100 tahun, misalnya, selama ini lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah.
Baru tahun ini, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merubah wajah Tanjung Enim. Anak usaha atau anggota perusahaan induk BUMN di sektor pertambangan PT Inalum (Persero) itu membangun pabrik gasifikasi batubara senilai 1,2 miliar dollar AS. Dengan teknologi itu, batubara dimungkinkan dikonversi menjadi synthetic gas (syngas), bahan baku untuk menghasilkan produk lain.
Melalui kerja sama dengan PT Pertamina (Persero), PTBA berencana membangun pabrik dimetil ether (DME), bahan bakar alternatif pengganti elpiji dengan target produksi 400.000 ton per tahun. Dengan PT Pupuk Indonesia (Persero), PTBA akan membangun pabrik urea dengan target produksi 500.000 ton per tahun dan dengan PT Chandra Asri Petrochemical akan membangun pabrik untuk menghasilkan bahan baku plastik, polypropylene sebanyak 450.000 ton per tahun.
Hilirisasi batubara yang mulai dibangun PTBA diyakini dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi industri tambang batubara. Kebutuhan batubara untuk gasifikasi dan pabrik urea, DME, dan polypropylene diperkirakan mencapai 7 sampai 9 juta ton per tahun.
Sebagai gambaran, jika dijual mentah dengan harga 70 dollar AS per ton, nilai jual batubara baru 630 juta dollar AS. Namun, jika diolah jadi polypropylene, berdasarkan perhitungan Kementerian Perindustrian, nilai tambah atau nilai yang dihasilkan mencapai 4,5 miliar dollar AS. Selain itu, negara bisa menghemat 7 miliar dollar AS dengan mengolah batubara jadi urea dan DME.
Hilirisasi semestinya tak sekadar membangun pabrik.
Pekan lalu, keempat pabrik industri hilir batubara itu dicanangkan untuk dibangun di area seluas sekitar 300 hektar. Pabrik gasifikasi, urea, DME, dan polypropylene ditargetkan selesai dibangun tahun 2022. Jika sudah beroperasi, impor elpiji dan polypropylene dapat dikurangi atau dihemat sehingga dapat mengurangi defisit transaksi berjalan.
Hilirisasi semestinya tak sekadar membangun pabrik. Aspek penunjang lain untuk pengembangan industri patut dipertimbangkan, seperti insentif bagi pelaku industri dan kemudahan lain.
Tak kalah penting, sesuai program pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan vokasi, adalah menyiapkan tenaga kerja, terutama masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan industri hilirisasi tersebut.
Riset dan pengembangan produk-produk hilir pertambangan juga patut dikembangkan mengingat persaingan dunia yang semakin keras untuk menghasilkan dan menguasai produk hilir atau produk akhir yang berbasis sumber daya pertambangan.