Penangkapan Robertus Robet Bangkitkan Memori Kelam Orde Baru
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap aktivis hak asasi manusia sekaligus pengajar Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, oleh polisi dinilai sebagai kemunduran besar di masa Reformasi. Kasus itu seolah-olah membangkitkan memori kelam militerisme pada zaman Orde Baru.
Pernyataan ini disampaikan Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Indonesia (Sepaham) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam siaran pers yang diterima Kompas pada Jumat (8/3/2019) malam di Jakarta.
”Hal ini menunjukkan semakin susutnya ruang kebebasan bagi masyarakat sipil, bagi kami, untuk berbicara dan berpendapat. Apalagi, posisinya (Robertus) sebagai akademisi menegaskan satu elemen kebebasan akademik yang harus dihormati otoritas publik,” kata Ketua Sepaham Al Hanif.
Dia menambahkan, warga negara mempunyai kebebasan berbicara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jaminan itu juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Orasi Robertus pada Kamis (28/2/2019) di depan Istana Presiden dengan mengutip lagu demonstrasi mahasiswa tahun 1998 merupakan bagian dari refleksi dan kritik yang tidak dapat diartikan sebagai ujaran kebencian. Orasi itu hanya mengingatkan ancaman masuknya militer ke dalam ruang sipil yang berpotensi menimbulkan kekacauan bagi warga sipil.
”Jujur saja, kami merasa terhina, resah, dan kacau karena dipaksa mengingat kembali mimpi buruk militerisme ala Orba,” ujarnya.
Robertus Robet ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (6/3/2019) oleh penyidik Polri. Robertus disangka melanggar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan setiap orang dengan sengaja di muka umum, dengan lisan dan tulisan, menghina suatu penguasa atau badan hukum diancam dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, penyidikan yang diterapkan kepada Robertus merupakan Laporan Polisi Model A. Laporan itu sesuai Pasal 5 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Kompas, 7/3/2019).
Pakar hukum Universitas Bhayangkara, Awaludin Marwan, menambahkan, meskipun ruang kebebasan berpendapat dibatasi, Pasal 207 KUHP juga harus diterapkan secara terbatas. Hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-1V/2006 yang menyebutkan Pasal 207 KUHP termasuk delik aduan.
Artinya, penyidikan hanya dapat dilakukan jika ada aduan dari otoritas tertinggi institusi Tentara Nasional Indonesia, yaitu Panglima TNI. Oleh karena itu, hukum seharusnya dibuat, dipahami, dan diterapkan dalam kerangka rumah bersama yang disebut sebagai demokrasi, yang tidak menghilangkan hak asasi manusia.
”Demikian kami menuntut kepada negara untuk hentikan politisasi penegakan hukum dan jangan bungkam kami lagi,” ujarnya. (STEFANUS ATO)