Serbuan tentara Jepang ke Pulau Jawa, awal Maret 1942, tidak sepenuhnya berjalan mulus tanpa perlawanan berarti. Pada tanggal 2 – 5 Maret 1942, belasan ribu serdadu Jepang dihadang sekitar 2.000-an serdadu gabungan Australia, Inggris, dan Amerika Serikat dari sebuah Brigade Black Force di tepian Leuwiliang, sebelah barat Kota Bogor.
Lokasi pertempuran tersebut tepat berada di sepanjang alur Sungai Cianten yang menjadi batas Kota Bogor dan Kecamatan Leuwiliang. Brigade Black Force yang dipimpin Brigadir Jenderal Arthur Blackburn dari Australia menempati bukit menjulang di sisi wilayah Kabupaten Bogor, sebagai pusat pertahanan Sekutu.
Saat berkunjung awal Maret 2019, penulis mendapati beberapa bekas pill box masih tersisa di atas bukit yang menjulang tinggi di tebing sungai sehingga mampu melihat jelas posisi jalan lama Leuwiliang–Bogor yang merupakan jalur kedatangan serdadu Jepang dari Tentara ke–16 yang mendarat di Merak, Banten tanggal 1 Maret 1942.
Pasukan Jepang dari arah Merak bergerak ke Serang-Pandeglang lalu ke Leuwiliang untuk menuju ke Bogor-Puncak dan pusat pertahanan Sekutu di Kota Bandung!
Ketinggian bukit pusat pertahanan Black Force tersebut menjulang hingga 30 meter lebih, mengawasi posisi kedatangan Pasukan Jepang di seberang barat Sungai Cianten. Lokasi tersebut berjarak sekitar 50 kilometer barat laut Kota Jakarta dan berada tidak jauh dari Kompleks Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Dramaga.
Bukit tersebut mengawasi bentangan Sungai Cianten selebar 50 meter dengan kedalaman pada musim hujan mencapai dua meter dengan arus sangat deras. Semasa pendaratan Jepang, militer Hindia Belanda, KNIL, sudah meledakkan jembatan tersebut dan Sekutu membangun posisi pertahanan dengan menunggu kedatangan musuh di sisi timur.
Isak Tumitir, penjaga situs dan Museum Pasir Angin mengatakan, di tahun 1970-an ada bungker besar yang tertanam di bukit tersebut. Lokasi pertahanan Sekutu rupanya berada di situs Purbakala Pasir Angin, tempat temuan peninggalan megalitikum dan berbagai perkakas dari zaman enam abad sebelum Masehi.
“Ada rombongan orang dari Jakarta mengatakan bungker tersebut, tiga perempatnya tertanam di sisi depan bukit, harus dibongkar. Bungker lalu dihancurkan begitu saja. Lalu ada dua lapis parit pertahanan yang menghubungkan bungker dengan deretan pill box melingkari bagian atas bukit di sekeliling bangunan museum. Parit terdepan sudah longsor tergerus erosi. Parit kedua sekarang sudah tertutup tanah,” kata Isak yang bersama orangtuanya bermukim di sana sejak puluhan tahun.
Kubu pertahanan tersebut, menurut Michael Kramer, ditempati oleh Batalyon Perintis 2/2 dan Batalyon Senapan Mesin 2/3 dari Divisi 7 Australia. Pasukan tersebut sebelumnya bertempur di Timur Tengah dan Afrika Utara semasa awal Perang Dunia II melawan Italia dan Jerman. Kramer sendiri adalah salah seorang pengurus Persahabatan Indonesia New South Wales (NSW) yang menempatkan plakat mengenang Pertempuran Leuwiliang 1942.
Pasukan Australia saat itu diperkuat Skuadron Hussar atau satuan Kavaleri Ringan dari Angkatan Darat Inggris dengan berbagai tank ringan dan kendaraan tempur lapis baja dan dukungan Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army), yakni Batalion Artileri ke-2 dari Resimen 131 Divisi 36 Garda Nasional dari Texas.
Semula untuk memperkuat pertahanan Pulau Jawa, direncanakan dikirim dua Divisi pasukan Australia dari Australia Imperial Forces (AIF). Brigade Black Force-lah yang semula mendarat di Sumatera, akhirnya dipindahkan ke Jawa untuk memperkuat garis pertahanan di Leuwiliang–Bogor.
Hujan Tembakan
Saat Pertempuran Leuwiliang terjadi awal Bulan Maret 1942, musim hujan (monsoon) sedang memasuki puncaknya di Pulau Jawa. Permukaan sungai naik, dan biasanya langit gelap serta hujan deras terjadi selepas pukul 14.00 sehingga pesawat tempur Jepang tidak menyerang pihak Sekutu.
Unggul dengan menguasai ketinggian, Pasukan Sekutu menghujani tembakan terhadap gelombang demi gelombang Pasukan Jepang yang berusaha menyeberangi Sungai Cianten. Menurut Isak Tumitir, hujan tembakan dari posisi Sekutu membuat korban berjatuhan di pihak Jepang. Diperkirakan ada 700-an korban yang jatuh.
Belum lagi serangan artileri medan dari meriam-meriam Batalyon ke-2 Artileri 131 Angkatan Darat Amerika Serikat yang kemudian dijuluki The Lost Battalion setelah mereka menjadi tawanan Jepang selepas Belanda menyerah tanggal 9 Maret 1942.
Menilik nama–nama korban di monumen buatan Jepang yang kini dipindahkan ke Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, banyak sekali korban jiwa yang jatuh. Nama-nama perwira menengah berpangkat Kapten hingga Mayor yang gugur karena ikut maju ke depan kancah pertempuran, menandakan mereka turut menyongsong maut ke gelanggang pertempuran karena para prajurit sudah terlebih dahulu bertumbangan.
Kini masih ada sebuah prasasti Jepang yang tersisa di pinggir Sungai Cianten. Prasasti dalam huruf Kanji tersebut didirikan untuk mengenang para Prajurit Jepang dari Prefektur Niigata yang gugur dalam pertempuran di sana.
Kerumunan ilalang dan tumpukan plastik untuk didaur ulang, berada di sekitar Prasasti Jepang tersebut. Ketua RT setempat, Ade Sumantri mengatakan, sudah lama tidak ada peziarah dari Jepang yang mengunjungi lokasi pertempuran tersebut.
Setelah dihadang oleh Sekutu yang memiliki keunggulan penguasan medan, pasukan Jepang menyoba menyeberangi Sungai Cianten dengan bergerak ke arah hulu dan hilir. Ketika itu, barulah Jepang berhasil menyeberang dan mencari jalan ke jurusan Bogor.
“Tentara Australia juga bergerak menghadang di posisi utara dan selatan kubu pertahanan mereka. Ada serdadu–serdadu Australia yang gugur di persawahan, beberapa kilometer dari sini di Handeuleum. Mereka dimakamkan di sana dan kini lokasinya sedang dicari. Diyakini daerah tersebut sudah dipenuhi perumahan warga,” kata Isak.
Pahlawan Perang Australia Sir Edward E Dunlop dalam buku memoar Weary Dunlop menceritakan dirinya sempat merawat para prajurit Sekutu korban luka pertempuran di Leuwiliang yang dilarikan ke Rumah Sakit Sekutu di Bandung (kemudian menjadi lokasi SMA Kristen Dago) yang kini sudah diruntuhkan karena sengketa perdata.
Akhirnya, tanggal 5 Maret 1942, Pasukan Sekutu mendapat perintah mundur untuk memperkuat garis pertahanan di sekitar Bandung. Pasukan Black Force bergerak ke berbagai arah dekat Sukabumi dan Cianjur serta berada di sekitar Garut dan Pameungpeuk menjelang menyerahnya Panglima Militer Hindia Belanda Jenderal Teer Porten di Kalijati.
Pertempuran berdarah tersebut dikenang oleh veteran, keluarga, dan anak cucu dalam berbagai cara di negara asal mereka. Atase Pertahanan Australia di Indonesia, Brigjen Justin Roorke mengatakan, setiap tahun pihaknya mengadakan makan malam untuk mengenang pengorbanan Black Force.
Adapun Isak, Ade Sumantri, dan beberapa warga setempat berharap lokasi tersebut dapat dirawat dan dikelola sebagai tempat wisata sejarah perang untuk mengenang pertempuran besar yang terjadi sekaligus mengajarkan warga setempat nilai penting Kepulauan Indonesia yang diperebutkan negara-negara besar. “Kalau ada wisatawan atau peziarah ke sini, tentunya akan berdampak pada ekonomi warga setempat juga,” kata Ade Sumantri.
Semoga saja situs pertempuran Leuwiliang tersebut dapat dirawat dan dilengkapi dengan berbagai keterangan bagi pengunjung serta peziarah. Berbagai situs serupa di Asia Tenggara menjadi daya tarik wisata Sejarah Perang seperti di Thailand, Filipina, Malaysia, dan bahkan di pusat Kota Singapura di The Battle Box di Fort Canning.