Ironi Asa Menembus Level Elite Olahraga
Setelah kesuksesan Asian Games 2018, Indonesia dihinggapi euforia untuk menembus level elite olahraga Asia, bahkan dunia. Namun, asa itu tersendat seiring anggaran pelatnas yang seret.
JAKARTA, KOMPAS —Seusai mendulang 31 medali emas di Asian Games 2018, dan menempati posisi keempat Asia, Indonesia mendadak bermimpi besar. Pemerintah pun menegaskan komitmennya untuk menyejajarkan olahraga Indonesia dengan level elite Asia, bahkan dunia. Cetak biru pembinaan prestasi dijanjikan akan diterapkan mulai 2019, dengan target awal meloloskan atlet-atlet dari cabang olahraga prioritas ke Olimpiade Tokyo 2020.
Namun, mimpi besar percepatan perbaikan prestasi olahraga itu mendadak melambat pada 2019. Anggaran pelatnas yang diusahakan cair pada awal tahun, supaya cabang-cabang prioritas Olimpiade bisa menggelar pemusatan latihan lebih awal, gagal terealisasi. Padahal, pengumpulan poin kualifikasi Olimpiade 2020 sudah bergulir sejak awal 2019.
Lima kali rencana pencairan anggaran itu mundur karena berbagai kendala, baik dalam proses verifikasi proposal di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) maupun kedisiplinan cabang-cabang olahraga dalam melaporkan penggunaan anggaran 2018, dan pengajuan proposal 2019.
Dalam proses pencairan anggaran bantuan pelatnas itu, Kemenpora dan cabang akan menandatangani nota kesepahaman atau MOU, yang berisi nilai anggaran yang disetujui pemerintah. Biasanya, nilainya lebih kecil dari proposal yang diajukan oleh cabang.
Setelah mundur lima kali, Kemenpora akhirnya menandatangani MOU dengan tiga cabang olahraga, yaitu PB PABBSI (angkat besi), PB WI (wushu), dan PP PBSI (bulu tangkis), pada Senin (25/2/2019).
Setelah itu prosesnya lambat, dan hingga Jumat (8/3), Kemenpora total baru melakukan MOU dengan sembilan cabang dari 56 induk cabang yang akan berpartisipasi pada SEA Games 2019 di Filipina, dan juga Olimpiade Tokyo 2020. Enam cabang tambahan yang sudah menandatangani MOU adalah PB FPTI (panjat tebing), PB PSTI (sepak takraw), PB TI (taekwondo), PB Perpani (panahan), PB Pesti (soft tennis), dan PB Perserosi (skateboard).
Jika dibandingkan tahun lalu, per 16 Januari 2018, Kemenpora sudah melakukan MOU dengan 29 cabang dari 40 induk cabang yang akan tampil di Asian Games 2018.
”Yang terpengaruh itu akomodasi. Nutrisi makanan yang bagus butuh anggaran yang lumayan besar. Nah, kalau (anggaran) belum turun, kan, jadi makannya seadanya,” ujar juara dunia angkat besi kelas 61 kilogram Eko Yuli Irawan, Jumat (8/3).
Terkait honor atlet, Eko pun menilai itu penting bagi atlet. ”Ya, kalau saya, kan, alhamdulillah masih ada tabungan bonus Asian Games kemarin. Tapi bagi teman-teman yang belum ada tabungan pasti lebih susah lagi,” ujar Eko yang menargetkan meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020.
Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) Dian Arifin mengatakan, keterlambatan dana pelatnas cukup mengganggu persiapan menuju Olimpiade 2020. Mengingat, hingga kemarin mereka belum bisa menyediakan suplemen dua atlet untuk Olimpiade, Rifda Irfanaluthfi dan Agus Adi Prayoko.
”Sejauh ini hanya suplemen saja. Karena memang atlet kami belum memasuki program khusus. Mereka baru berlatih mandiri seperti biasa di daerah masing-masing,” ujar Dian.
Rifda dan Agus akan melakukan uji coba kejuaraan di luar negeri, sebelum akhirnya mengikuti babak kualifikasi Olimpiade di Kejuaraan Dunia Stuttgart, 4-13 Oktober 2019.
Perlambatan
Perlambatan pencairan anggaran ini bermula dari operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 18 Desember 2018, terhadap Mulyana yang saat itu menjabat Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Kemenpora. Awalnya, Mulyana berkomitmen proses verifikasi proposal anggaran pelatnas bisa tuntas akhir 2018 agar anggaran pelatnas bisa cair sejak awal Januari 2019. Komitmen itu tidak terpenuhi karena Mulyana ditangkap KPK terkait korupsi dana hibah dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Pelaksana Tugas Harian (Plh) Deputi IV Chandra Bhakti, yang bertugas sejak 21 Desember 2018, juga berkomitmen mencairkan anggaran pelatnas pada awal Januari. Namun, kemudian direvisi menjadi pertengahan Januari, akhir Januari, dan awal Februari. Chandra pun berkomitmen menyelesaikan semua urusan anggaran itu pada awal Maret.
Kendala
Plh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Asisten Deputi (Asdep) Olahraga Prestasi, Deputi IV Kemenpora Muhammad Gajah Nata Surya, kemarin, mengatakan, banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan MOU dengan cabang.
Tanda tangan MOU itu hanya bisa dilakukan oleh ketua umum federasi cabang olahraga. Namun, hampir semua ketua umum cabang tidak bisa hadir langsung guna meneken MOU itu di Kemenpora.
Salah satu contohnya, Kemenpora mengundang empat cabang untuk melakukan MOU pada 4 Maret, yakni PB IPSI (silat), PB Pertina (tinju), PB PJSI (judo), dan PB PGI (golf). Namun, yang datang semuanya adalah perwakilan cabang.
Bahkan, perwakilan PB Pertina harus membawa draf MOU itu ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab, ketua umum mereka menetap di sana, yakni Brigadir Jenderal Johanis (Johny) Asadoma yang kini menjabat Wakil Kepala Kepolisian Daerah NTT. ”Kondisi ini yang sering membuat proses MOU tertunda,” ujar Gajah.
Kendala lainnya adalah banyak cabang yang belum menyerahkan proposal anggaran, yakni mencapai 22 cabang.
Di luar itu, menurut Gajah, proses MOU juga terhambat oleh proses koordinasi di antara pejabat sementara yang ada. Pasca-OTT KPK, sejumlah jabatan di Deputi IV saat ini diisi oleh pelaksana tugas harian.
”Ini tergantung pribadi masing-masing. Jika dia punya niat untuk mempercepat semua urusan, saya rasa status sebagai pejabat sementara itu tidak akan memengaruhi proses koordinasi,” ujar Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto.
(DRI/KEL/DNA)