SEMARANG, KOMPAS — Dalam perundingan batas laut antara Indonesia dan negara-negara tetangga, dibutuhkan soliditas serta posisi nasional yang kuat. Meskipun pemerintahan dan juru runding akan berganti-ganti, sikap Indonesia akan masalah-masalah perbatasan harus solid serta tahan lama.
Hal itu dikatakan pakar diplomasi maritim Eddy Pratomo dalam konferensi pers pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro (Undip) Bidang Hukum Internasional, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (8/3/2019). Eddy akan dikukuhkan pada Sabtu (9/3/2019).
Eddy menuturkan, menghadapi perundingan dengan juru runding negara lain bukan hal mudah. ”Situasi kerap sangat pelik, sementara Pemerintah Indonesia berganti setiap lima tahun. Maka, kita perlu memiliki posisi nasional yang ketat, komprehensif, solid, dan tahan lama,” kata Eddy.
Eddy adalah pakar diplomasi maritim, juga mantan Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri. Pada 2009-2013, ia ditunjuk sebagai Dubes RI untuk Republik Federasi Jerman. Periode 2015-2018 menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Penetapan Batas Maritim RI-Malaysia.
Ia menambahkan, secara geografis, Indonesia bertetangga dengan 10 negara yang memiliki batas wilayah darat dan laut. Hal krusial dalam penetapan batas wilayah laut ialah untuk menghindari sengketa. Menurut dia, baru dengan Australia, perundingan batas laut telah selesai.
Dengan Malaysia, Indonesia masih harus menyelesaikan batas maritim di lima segmen, yakni Laut Sulawesi, Laut China Selatan, Selat Singapura bagian tmur, Selat Malaka bagian selatan, dan Selat Malaka. ”Yang terpenting Laut Sulawesi karena kekayaan sumber daya alamnya melimpah,” kata Eddy.
Dalam pidatonya saat pengukuhan nanti, Eddy akan menyiapkan lima prinsip dasar yang harus dipegang oleh para perunding yang akan datang, antara lain konsisten, menguasai materi hukum laut, keberanian mencari terobosan, dan kerja sama yang solid.
”Ini nantinya mengarah pada pembentukan pusat studi bidang hukum laut dan hukum perbatasan maritim di Undip. Saya mengusulkan Undip menjadi motor penggerak dalam hukum laut. Ini penting karena ke depan tantangan makin kompleks, termasuk dengan perkembangan teknologi informasi,” ujar Eddy.
Rektor Undip Yos Johan Utama menambahkan, saat ini, jumlah ahli hukum laut sangat sedikit, terlebih lagi juru runding batas laut. Tak cuma kepandaian, dibutuhkan kemampuan mengatasi tekanan mengingat ini berkaitan langsung dengan upaya mempertahankan kedaulatan NKRI.
Yos menambahkan, kemampuan itu tentu tak bisa dipelajari 1-2 hari. ”Ini berkaitan dengan jam terbang. Dalam perundingan, jika meleset sedikit, triliunan rupiah bisa hilang. Saat ini, ada 11 dosen hukum internasional. Kami harapkan ke depan muncul para juru runding baru dari Undip,” tuturnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Undip Retno Saraswati berharap, dengan pengukuhan Prof Eddy Pratomo sebagai Guru Besar Tidak Tetap Undip, hukum internasional di FH Undip makin berkembang, khususnya di bidang diplomasi kemaritiman yang saat ini SDM-nya masih terbatas.
”Kami berencana membuat pusat studi serta pelatihan-pelatihan terkait bagaimana menjadi seorang negosiator, khususnya di bidang diplomasi maritim. Apabila keahlian yang dimiliki Prof Eddy Pratomo bisa ditularkan kepada mahasiswa, baik Undip maupun di luar Undip, diharapkan lahir ahli-ahli diplomasi maritim pada generasi berikutnya,” tutur Retno.
Eddy, lahir di Semarang, 5 Oktober 1953, akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Undip Bidang Hukum Internasional pada Sabtu, di Gedung Prof Soedarto, Undip. Ia akan menyampaikan pidato berjudul ”Negosiasi Penetapan Batas Laut dalam Kerangka Diplomasi Berkelanjutan”.