Pencabutan RUU Permusikan Harus Persetujuan Tiga Lembaga
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah mendapat penolakan dari berbagai pihak, Komisi X DPR berencana mencabut Rancangan Undang-Undang Permusikan yang telah masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional. Meski demikian, proses pencabutan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja, tetapi harus melalui serangkaian prosedur.
Anggota Komisi X DPR, Anang Hermansyah, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/3/2019), mengatakan akan menarik usulan draft RUU Permusikan setelah menerima berbagai masukan dari para pemangku kepentingan industri musik. Harapannya, keputusan penarikan kembali draft RUU tersebut bisa mengembalikan lagi iklim musik nasional yang lebih kondusif.
Rencana pencabutan tersebut pernah disampaikan Anang pada 12 Februari 2019 dalam Konferensi Meja Potlot di markas besar Slank, Jalan Potlot, Jakarta. Hadir dalam konferensi tersebut, Glenn Fredly mewakili Kami Musik Indonesia, Wendi Putranto dari Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, personel Slank, manajer Slank Denny BDN, serta beberapa musisi lain.
”Saya menangkap aspirasi dari teman-teman musisi terkait dengan RUU Permusikan ini untuk tidak dilanjutkan proses pembahasannya. Sebagai wakil rakyat, aspirasi ini tentu akan saya bawa ke parlemen,” ujarnya.
Pertemuan itu merekomendasikan pembatalan RUU Permusikan beserta seluruh proses yang tengah dijalankan di parlemen sembari menunggu digelarnya Musyawarah Musik Indonesia yang dihadiri para pemangku kepentingan permusikan dari Sabang sampai Merauke.
Musyawarah ini dibutuhkan untuk menyerap aspirasi, sekaligus menyepakati atau tidak menyepakati dibentuknya aturan tertulis yang akan mengatur tata kelola industri musik Indonesia.
Bimbim, personel Slank, yang menggagas pertemuan ini menegaskan bahwa Slank mendukung penuh diadakannya Musyawarah Musik Indonesia untuk menyerap aspirasi pemangku kepentingan industri musik.
Slank mendukung penuh diadakannya Musyawarah Musik Indonesia untuk menyerap aspirasi pemangku kepentingan industri musik.
Dalam acara itu pula, Glenn juga setuju DPR mengedrop semua proses penyusunan RUU Permusikan yang diinisiasi DPR ini. Setelah RUU tersebut dicabut, pemangku kepentingan industri musik bisa memulai lagi dari awal pembahasan untuk mencari bentuk kebijakan apa yang terbaik bagi kepentingan industri musik atau pun non-industri musik Indonesia.
Tiga lembaga
Menanggapi rencana pencabutan RUU Permusikan, Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, tidak ada masalah apa pun jika pengusul RUU menarik usulannya. Meski demikian, mekanisme pencabutan sebuah RUU harus disepakati terlebih dahulu oleh tiga lembaga melalui sebuah rapat kerja (raker). Ketiga lembaga tersebut adalah DPR, Kementerian Hukum dan HAM, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
”Mesti ada raker terlebih dulu dari tiga lembaga tersebut dan setelah itu baru bisa ada keputusan. DPR tidak bisa mengeluarkannya sendiri sebuah RUU yang telah masuk Prolegnas karena ini merupakan persetujuan dari tiga lembaga tersebut. Karena saat ini jajaran DPR dan DPD sedang masuk tahapan kampanye, raker antara DPR, Kementerian Hukum dan HAM, serta DPD baru bisa dilakukan setelah pemilu,” tutur Supratman, Jumat (8/3/2019), di Jakarta.
RUU Permusikan masuk daftar urutan nomor 48 Prolegnas prioritas tahun 2019 yang totalnya mencapai 55 RUU. RUU Permusikan diusulkan oleh DPR.
Mekanisme pencabutan sebuah RUU harus disepakati terlebih dahulu oleh tiga lembaga melalui sebuah rapat kerja.
”Memang, pencabutan RUU Permusikan sudah direncanakan sesuai dengan kesepakatan dari Konferensi Meja Potlot pada 12 Februari 2019. Ini adalah salah satu tuntutan kami ke DPR yang kemudian disetujui. Kami masih melakukan kajian-kajian rutin terkait RUU Permusikan dan terus-menerus berkoordinasi dengan teman-teman di berbagai daerah lainnya agar isu ini tetap menjadi fokus perhatian,” tambah Wendi.
RUU Permusikan dinilai prematur karena tak disusun berdasarkan naskah akademik yang memenuhi standar ilmiah. Dari 54 pasal di dalam RUU tersebut, 50 pasal terindikasi bermasalah.
Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan menemukan, permasalahan tersebut meliputi hal-hal substansial, disharmoni dengan perundang-undangan lain, potensi-potensi munculnya penafsiran ganda, hingga ketidakcermatan dalam perancangan pasal.
Musisi sekaligus pengajar Institut Musik Daya Indonesia, Prof Tjut Nyak Deviana Daudsjah, menilai draf RUU Permusikan sama sekali tidak mewakili bahasa musik. Menurut dia, 95 persen dari RUU tersebut harus direvisi.