PALEMBANG, KOMPAS - Pembatasan ekspor karet yang telah disepakati antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand diharapkan dapat memperbaiki harga karet di tingkat petani. Kebijakan itu diperkirakan bisa meningkatkan harga jual karet di atas kapal atau FOB menjadi 1,6 dolar AS per kilogram.
Sumatera Selatan sebagai daerah penghasil karet terbesar nasional diperkirakan terkena dampak pembatasan sebesar 30-35 persen dari total ekspor karet yang akan Indonesia batasi. Hal ini disampaikan Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy, Jumat (8/3/2019).
Alex mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah pusat terkait pembatasan ini. Namun, jika dilihat dari hasil kesepakatan International Tripartite Rubber Council (ITRC) untuk membatasi ekspor karet sebesar 240.000 ton, Indonesia berkewajiban membatasi ekspor hingga 98.000 ton. Pembatasan itu akan mulai berlaku pada 1 April 2019 selama empat bulan.
Biasanya, setelah kebijakan ini diterapkan, harga karet akan berangsur membaik.
Berdasarkan data yang dimiliki Gapkindo Sumsel, total volume ekspor karet ketiga negara pada 2018 sebanyak 8,2 juta ton. Thailand mengekspor 4 juta ton, Indonesia sebanyak 3,1 juta ton, dan Malaysia sebanyak 1,1 juta ton.
Alex berharap, kesepakatan ini dapat berjalan dengan baik tanpa ada pelanggaran. Dia mengatakan, kebijakan pembatasan ekspor karet ini selalu berdampak positif terhadap fluktuasi harga karet di Sumsel. “Biasanya, setelah kebijakan ini diterapkan, harga karet akan berangsur membaik,” katanya.
Mengenai dampak terhadap kenaikan harga karet, lanjut Alex, hal itu sangat bergantung pada komitmen dari ketiga negara untuk menjaga dan mengevaluasi kebijakan ini. “Kalau semua negara sepakat dan terus mengevaluasi setiap periode kemajuan kebijakan ini, saya optimistis harga bisa kita jaga untuk terus menguat,” katanya.
Di sisi lain, dampak kenaikan harga juga sangat bergantung pada kondisi pasar internasional. “Kalau permintaan terus meningkat, maka kenaikan harga karet akan berlangsung lama. Namun, apabila kondisi negara pengimpor tidak baik, maka harga karet akan sulit naik,” ucap Alex.
Alex mengatakan, pembatasan ekspor karet akan sangat berdampak terhadap Sumsel sebagai penghasil karet terbesar di Indonesia. Rata-rata produksi Sumsel mencapai 1 juta ton per tahun. Dilihat dari kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya, Sumsel akan berkontribusi 30-35 persen dari jumlah ekspor karet yang akan dibatasi Indonesia.
Alex berharap kenaikan harga karet dapat langsung dirasakan dengan meningkatnya harga karet di atas kapal (FOB) yang saat ini sekitar 1,45 dolar AS per kilogram. Peningkatan harga diharapkan menjadi 1,6 dolar AS per kg setelah pembatasan ekspor.
Sebenarnya, ujar Alex, harga psikologis karet yang ideal sekitar 2 dolar AS per kg. Namun, dalam kondisi saat ini, kenaikan hingga 1,6 dolar AS per kg adalah yang paling memungkinkan.
Ketua Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) Sumsel Jumirin menyambut baik pembatasan ekspor tersebut. Menurut dia, dampak dari pembatasan ekspor ini akan berpengaruh pada kenaikan harga karet di tingkat petani.
Saat ini, harga karet di tingkat petani beragam. Untuk petani yang menjual karetnya dengan tengkulak sekitar Rp 4.000-Rp 5.000 per kg. Adapun untuk petani yang menjual karetnya di tingkat UPPB bisa mendapatkan harga Rp 8.000-Rp 9.000 per kg.
Jumirin juga mengapresiasi sejumlah langkah pemerintah untuk meningkatkan harga karet, mulai dari membeli langsung dari petani untuk dijadikan produk hilirisasi dan sejumlah bantuan untuk mempermudah proses produksi karet seperti bantuan asap cair.
Pada Sabtu (9/3) besok, Presiden Joko Widodo berencana bertemu dengan 2.500 petani karet di Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Pertemuan ini, ujar Jumirin, diharapkan dapat menghasilkan sejumlah solusi untuk perbaikan harga karet di Sumsel.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian menerangkan, Pemerintah Provinsi Sumsel terus berupaya meningkatkan harga karet. Salah satunya dengan memperbaiki tata niaga karet dan meningkatkan keberadaan UPPB.
“Saat ini, jumlah UPPB di Sumsel sudah mencapai 179 unit dan ada beberapa daerah yang akan mengembangkannnya,” kata Rudi.
Keberadaan UPPB diharapkan dapat memutus panjangnya rantai niaga sehingga petani mendapatkan harga yang lebih baik dibanding jika menjual produknya kepada tengkulak. “Dengan terpotongnya mata rantai tata niaga karet, petani karet akan lebih diuntungkan,” ujar Rudi.