Moeldoko: TNI Sudah Berubah
JAKARTA, KOMPAS – Setiap pihak harus melihat Tentara Nasional Indonesia secara obyektif. Sejalan dengan reformasi politik pada 1998, TNI pun juga telah melakukan sejumlah reformasi agar semakin profesional.
Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (08/03/2019), menjelaskan, sejalan dengan reformasi politik 1998, TNI pun juga melakukan reformasi dalam hal struktur, doktrin, dan budaya. Dalam hal struktur, bentuk reformasinya adalah menghapus fungsi sosial-politik.
Dalam hal doktrin, reformasinya berupa Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
”Apakah iya, telah terjadi restrukturisasi di TNI, menempatkan fungsi sosial politik di struktur TNI? Apakah iya ada perubahan UU Nomor 34 dan UU Nomor 3 yang di dalamnya menempatkan fungsi sosial politik TNI. Kalau dua hal ini tidak terjadi, ngapain kita meributkan sesuatu yang tidak jelas. Jadi, diperlukan sikap kritis. Jangan ikut-ikutan dan larut dalam diskursus yang sebenarnya tidak benar,” kata Moeldoko.
Di bidang budaya, Moeldoko melanjutkan, TNI telah dan terus melakukan reformasi. Internalisasi bahwa TNI tidak bisa lagi merasa paling bertanggung-jawab terhadap negara telah dilakukan. TNI juga harus memiliki sikap egaliter dalam menjalankan tugas dan fungsi guna kepentingan negara dan seterusnya.
”Secara kultur ini sudah kita benahi dari waktu ke waktu. TNI juga punya program TNI mendengar agar TNI terbiasa mendapatkan masukan kritik agar tidak mudah merah telinganya. Kita lakukan waktu itu. Ini langkah-langkah memperbaiki kultur TNI,” kata Moeldoko.
Posisi TNI saat ini, Moeldoko menegaskan, sudah baik. Selama 20 tahun reformasi misalnya, TNI menghormati Hak Asasi Manusia, TNI mendorong proses demokrasi agar terkonsolidasi dengan baik, dan TNI tidak lagi merasa menang sendiri.
Jika dulu tentara profesional adalah tuntutan masyarakat, maka menurut hemat Moeldoko, kini itu justru menjadi tuntutan dari TNI sendiri. Implementasinya antara lain adalah bahwa TNI berharap perlengkapan pertahanan dimodernisasi dan kesejahteraan tentara dicukupi.
”Namun karena keterbatasan keuangan negara, belum semua standar tersebut tercukupi. Tapi TNI tidak pernah mengeluh. Diperintahkan netral, netral. Diperintahkan jangan bisnis, tidak berbisnis. Diperintahkan tidak bermain politik praktis, tidak bermain politik praktis,” kata Moeldoko.
Oleh sebab itu, Moeldoko mengimbau kepada semua pihak untuk bersikap obyektif melihat TNI yang sudah melakukan berbagai reformasi sampai saat ini.
”Jadi menurut saya, janganlah para penggiat apapun namanya itu, jangan lagi cari gara-gara dengan TNI. Nggak usah. Jangan mencari popularitas dengan berani melawan TNI. Jangan dong. TNI milik kita semua kok,” kata Moeldoko.
Tidak alergi dengan kritik
Berkaitan dengan kritik, Moeldoko menambahkan, TNI tidak alergi dengan kritik. TNI terbuka dengan kritik.
”Silakan, kritik saja. Tapi dengan cara-cara yang baik. Jangan menyakiti. Jangan merusak psikologi prajurit. Jangan. Psikologi prajurit kita sudah OK-lah, sudah baik. Jangan dilukai dengan hal-hal yang tidak perlu seperti itu dengan segala alasan itu nyanyian masa lalu. Ya sudah, masa lalu, masa lalu. Sekarang, sekarang. Jangan lagi masa lalu dibawa-bawa lagi ke area sekarang. Nggak cocok lagi,” kata Moeldoko.
Moeldoko meminta semua pihak untuk tidak melihat tentara dengan cara pandang lama. Itu tidak cocok. Sebab, TNI sudah berubah.
Berkaitan dengan kebebasan bereksepresi, negara menjamin dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Namun harus dibedakan antara kebebasan berekspresi yang melanggar undang-undang dan kebebasan berekspresi yang sifatnya kritik membangun.
”Jadi tidak ada kita alergi, tidak ada kita membatasi cara-cara berekpresi. Tetapi yang terhadap hal-hal yang pada akhirnya mengarah pada tindakan-tindakan yang melawan hukum, itu diluar domain kami. Itu sepenuhnya domain kepolisian. Kami tidak bisa ikut campur,” kata Moeldoko.
Kecenderungan yang banyak terjadi saat ini, menurut Moeldoko, orang bicara apa saja. ”Begitu kena semprit, minta maaf. Kecenderungan tidak mengaku. Ini cara-cara yang tidak bagus. Nggak gentleman. Apalagi selaku intelektual, apa yang diomongin setiap kata harus diukur dengan baik-baik. Karena semua kata memiliki implikasi. Implikasi psikilogi, setidaknya menyinggung prajurit atau orang lain, implikasi poilitik, hukum, dan sebagainya,” kata Moeldoko.
Dinilai sebagai ujaran kebencian
Pada 28 Februari lalu, akademisi Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet berorasi di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta dalam acara aksi Kamisan. Ia menyanyikan lagu yang isinya mengkritik ABRI. Ia kemudian ditangkap oleh petugas Kepolisian Negara RI pada Kamis (7/3/2019) pukul 00.30 dengan dugaan menghina penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, Robet ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Pasal 207 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara itu, TNI menilai orasi yang disampaikan Robet pada 28 Februari 2019 itu memuat konten ujaran kebencian. TNI juga menilai penangkapan Robet oleh polisi sesuai dengan prosedur penegakan hukum.
”Dari konten orasi memang ada ujaran-ujaran kebencian dan itu menjadi ranah penegak hukum (Polri) untuk menindaklanjutinya,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi.