Menyingkap Dasar Samudra
Geopark atau Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kebumen, Jawa Tengah, menyimpan kekayaan geologi yang tak ternilai harganya. Geopark ini pun coba terus dikembangkan.
Tebing batu menjulang hingga 30 meter dari dasar aliran Sungai Muncar di Desa Seboro, Kecamatan Sadang, Kebumen, Jawa Tengah. Pada bagian atas tersusun batuan berwarna hitam. Bentuknya bulat, bak kenong dan gong. Pada bagian bawah, batu berwarna merah muda seolah menyangga seperangkat gamelan itu. Warga setempat menyebutnya Watu Kelir.
”Ini ibaratnya suatu pakeliran, suatu pertunjukan. Bagi geologi, ini pertunjukan bagaimana bumi itu bergerak. Ada suatu proses dinamika bumi yang terjadi,” kata Peneliti Utama Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Chusni Ansori saat memandu sejumlah wartawan dan pegawai Pemerintah Kabupaten Kebumen untuk mengenali Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong, akhir Januari.
Karangsambung berada sekitar 19 kilometer arah utara Alun-alun Kebumen. Jalan menuju lokasi ini berkelok sejajar dengan aliran Sungai Luk Ulo di sebelah barat dan tebing batu di sebelah timur.
Pada 30 November Geopark Karangsambung-Karangbolong seluas 543.599 kilometer persegi telah ditetapkan sebagai geopark nasional. Kawasan yang punya beragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, hingga pantai ini mencakup 117 desa di 12 kecamatan di Kebumen.
Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama yang terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya. ”Di Karangsambung sampai Karangbolong memiliki enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu hingga sekarang,” kata Chusni.
Menurut Chusni, apa yang dilihat dari geopark itu saat ini merupakan kunci untuk memahami masa lalu. Bagian atas Watu Kelir, misalnya, terjadi karena aktivitas vulkanik yang ada di permukaan. Jika lava membeku di dalam perut bumi, dapat menghasilkan batuan beku dalam.
Lantai Samudra
Contoh lainnya, Chusni menjelaskan, gradasi warna pada bagian bawah batuan berwarna merah muda adalah warna merah muda dan merah hati ayam. Dua variasi batuan itu merupakan batuan sedimen dengan adanya perselang-selingan antara batu rijang dan batu lempung merah gampingan. Batuan itu setelah diselidiki dari fosilnya ternyata identik dengan fosil di kedalaman 4.000 meter.
”Artinya, saat batu ini terbentuk, tempat ini adalah tempat yang berada di kedalaman 4.000 meter,” katanya. Perwujudan batuan itu menunjukkan bahwa di situ ada pengendapan batuan-batuan sedimen kemudian ada juga aktivitas magma gunung api di bawah laut. Usia batuan itu diperkirakan sekitar 80 juta tahun. Itu berarti, sekitar 80 juta tahun yang lalu, tempat itu merupakan dasar samudra.
Karangsambung merupakan tempat bertemunya Lempeng Samudra Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Ini membuat batuan di tempat ini beraneka ragam dan bercampur aduk yang disebut melange. Akibat gaya tektonik yang sangat kuat, daerah ini mulai terangkat ke atas muka laut. Dari penelitian geokimia, batuan-batuan di Watu Kelir tersebut bagian dari lempeng Samudra Hindia-Australia.
”Bagi orang geologi, kalau ke Karangsambung belum ke tempat ini, itu belum sah. Karangsambung adalah lantai samudra purba dan jika belum menginjak bagian dari lempeng samudra, tentu tidak sah. Ini jadi tempat wajib bagi orang kebumian,” katanya.
Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Edi Hidayat menyampaikan, Karangsambung merupakan warisan bumi yang begitu luar biasa. Maka tidak heran kabupaten itu disebut Kebumen atau bumi kebumian.
Penemuan pertama batuan tua di Karangsambung yang disebut batuan pra-tersier di Pulau Jawa ini dilaporkan oleh peneliti geologi Belanda, RDM Verbeek dan R Fennema, pada 1881. R Fennema yang membantu Verbeek merasa beruntung karena untuk pertama kali menemukan ”tanah dasar Pulau Jawa”. Selanjutnya daerah itu dipetakan Harloff pada 1933.
Setelah perang dunia kedua, daerah ini kembali menjadi obyek penelitian, antara lain oleh Tjia (1966) dan Sukendar Asikin (1974). Asikin adalah orang pertama yang mengulas geologi daerah Karangsambung berdasarkan teori tektonik lempeng. Selanjutnya, pada 1964 di Karangsambung dibangun Kampus Lapangan Geologi di bawah LIPI.
Sejak tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan ke tempat itu terus meningkat. Pengunjungnya mahasiswa, peneliti, pelajar, dan masyarakat umum. Per tahun jumlah pengunjung 13.000-14.000 orang. Pada 2016, tercatat ada 13.013 pengunjung, pada 2017 ada 13.692 orang, dan pada 2018 ada 14.644 orang. Tempat ini pun menjadi ”kawah candradimuka” bagi para calon ahli geologi di Indonesia.
Di Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI yang luasnya sekitar 5 hektar itu juga dilengkapi dengan Museum Melange. Pengunjung mengamati aneka jenis batuan, mulai dari batuan beku, sedimen, hingga metamorf berusia puluhan juta tahun. Di dalam museum disajikan pula berbagai informasi mengenai kebumian, mulai dari lapisan-lapisan bumi, proses vulkanik gunung api, hingga terjadinya gempa bumi.
Taman bumi
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Kebumen bekerja sama dengan LIPI dan tokoh masyarakat. Sejumlah program pengembangan potensi taman bumi disiapkan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memberikan edukasi dan pemahaman pentingnya menjaga warisan kebumian itu serta mewaspadai potensi bencana alam.
Potensi bencana alam di kawasan itu cukup banyak, mulai dari tsunami di pantai selatan, longsor akibat batuan-batuan purba itu karena berada di atas tanah lempung yang mudah gugur, banjir, dan gempa bumi. Ancaman kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir dan batu juga membayangi.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Kebumen Azam Fatoni mengatakan, pihaknya bersama badan pengelola geopark tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga penguatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan kelompok sadar wisata.
Status geopark nasional menjadi peluang dan momentum untuk mengembangkan potensi alam warisan kebumian secara bijak dan berkelanjutan. Jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan, lantai dasar samudra yang berusia puluhan juta tahun itu akan punah selamanya.