Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Lutfi Amer At-Tamimi menyatakan kunjungan 15 tokoh ormas Islam bersama Majelis Ulama Indonesia ke Provinsi Otonom Xinjiang China merupakan konfirmasi sahih atas berbagaai informasi yang beredar tentang nasib umat Islam Uyghur di China.
Oleh
Nugroho F Yudho
·3 menit baca
KOMPAS/NUGROHO F YUDHO
Di Perkampungan Moyu di Hotan, kabupaten paling miskin di bagian selatan Provinsi Xinjiang China, inilah masjid tertua yang biasa dipakai warga Muslim untuk melakukan ibadah setiap hari. Masjid ini sejak 2016 diperbaiki dan dipecantik dengan subsidi dari pemerintah China.
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Lutfi Amer At-Tamimi menyatakan kunjungan 15 tokoh ormas Islam bersama Majelis Ulama Indonesia ke Provinsi Otonom Xinjiang China merupakan konfirmasi sahih atas berbagai informasi yang beredar tentang nasib umat Islam Uyghur di China.
"Kita melihat sendiri dan berdialog dengan berbagai kalangan di Xinjiang. Pemerintah China menghargai dan menjamin kebebasan beragama maupun untuk tidak beragama bagi seluruh warganya," ujar Lutfi di Jakarta, Rabu (6/3/2019). "Saya sholat Jumat berjamaah dengan sekitar 800-an umat Muslim di Xinjiang. Jadi jangan lagi menyebar fitnah. Jangan membuat berita yang mengadu domba," tambahnya.
Menurut Lutfi, pemberitaan media barat tentang penyiksaan, penangkapan serta penahanan umat muslim Uyghur di kamp-kamp konsentrasi tersembunyi yang tersebar di Xinjiang adalah pemberitaan yang tendensius dan bias dengan berbagai kepentingan," ujar Lutfi.
Selama seminggu MUI dan tokoh ormas Islam bertemu dengan berbagai kalangan muslim, berkunjung ke masjid-masjid, termasuk pusat-pusat pendidikan vokasi dan deekstrimisasi atau deradikalisasi.
"China menghadapi terorisme yang sama dengan Indonesia, Filipina, Thailand dan banyak negara lain. Bahkan dari sisi frekuensi dan skalanya, yang dialami China lebih berat. Ada hampir dari 2000 kasus teror dialami negara itu. Yang diperangi oleh Cina adalah para teroris, bukan umat Islam," ujar Lutfi.
Bahwa pemerintah China merasa bahwa aksi terorisme juga harus dicegah sedini mungkin, menurut Lutfi, bukankah hal itu juga yang ingin dilakukan di Indonesia dengan melakukan perubahan UU Anti Terorisme. "Mereka yang terpapar pemikiran radikal dan terorisme harus ditangani agar bibit-bibit terorisme tidak terus berkembang. Ini lah yang dilakukan melalui pusat-pusat deradikalisasi atau deekstrimisasi yang ditambah dengan pendidikan vokasi. Kami bisa mengerti dan menghargai cara pemerintah Chjina mencegah terorisme. Dan terbukti dalam dua tahun terakhir tidak ada satu pun aksi teror terjadi di Xinjiang," kata Lutfi.
Sebelumnya, Ketua Bidang Luar Negeri MUI Muhyidin Junaidi juga menyampaikan pernyataan tentang adanya perspektif baru yang mengubah pandangan tentang perlakuan yang diterima oleh umat muslim di Xinjiang. "Memang ada beberapa kendala bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah. Tapi itu bukan karena adanya persekusi terhadap umat Islam, tapi karena konstitusi China yang memisahkan agama dengan pemerintahan. Agama adalah urusan pribadi. Ibadah tidak boleh dilakukan di tempat-tempat publik, termasuk sholat atau mengenakan jilbab" sambung Muhyidin.
Lutfi menegaskan butuh pemahaman tentang konsitusi negara itu untuk bisa memahami kondisi di sana. Bahwa kondisi itu terasa bertentangan dengan kondisi di Indonesia, itu lah gunanya ada komunikasi, silaturahmi dan saling berkunjung antara ulama dan organisasi Islam kedua negara. "Pendekatan people to people harus lebih banyak dilakukan dengan harapan pemerintah China juga kelak lebih menghargai umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Kita juga sedih melihat saudara kita tak bisa menjalankan ibadahnya seperti kita. Tapi itu bukan wilayah kedaulatan kita. Butuh proses bagi kita untuk terus mengajak China menghargai kebebasan beribadah yang lebih leluasa sebagai bagian dari kebebasan beragama ,"ujar Lutfi.
Tidak akan ditutup
Wakil Menteri Departemen Publisitas China Jiang Juanguo di Beijing, pekan lalu, juga menyatakan bahwa terorisme adalah musuh bersama semua bangsa yang harus diperangi. "Tidak boleh ada dualisme atau standar ganda dalam memerangi terorisme. Tidak ada itu yang namanya terorisme yang baik atau terorisme yang jahat. Tidak ada terorisme yang bersumber dari agama. Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan," ujar Juanguo.
Semua negara punya tantangan sendiri dalam memerangi terorisme. "China merasa cara terbaik yang kami bisa lakukan adalah dengan menangkap para teroris dan mengadilinya. Untuk yang terpapar radikalisme dan ekstrimisme, tapi belum melakukan aksi teror kami tangani lewat pusat deradikalisasi dan deekstrimisme dan pendidikan vokasi," ujar Juanguo.
Jadi, kata Juanguo, "Kami tidak akan menutup seperti yang dituntut Turki atau negara-negara lain. Kami akan menutup sendiri, ketika sudah tidak ada kebutuhan lagi."