Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (IA-CEPA) pada 4 Maret 2019 di Jakarta. Kendati ketinggalan dari Malaysia dan Thailand, perundingan yang memakan waktu enam tahun itu berpotensi meningkatkan daya saing Indonesia.
Manfaat IA-CEPA bagi Indonesia cukup besar. Manfaat itu mulai dari sektor perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, pariwisata, dan pengembangan sumber daya manusia. Di sektor perdagangan barang, Australia sepakat menghapus 100 persen tarif, sedangkan Indonesia 94 persen tarif. Mayoritas sektor industri di kedua negara yang akan diuntungkan melalui penghapusan tarif itu adalah otomotif, tekstil, alas kaki, agribisnis, makanan dan olahan, serta furnitur.
Di sektor perdagangan jasa, Indonesia akan mendapatkan akses pasar perdagangan jasa di Australia. Salah satunya adalah kenaikan kuota visa kerja dan liburan, yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa pada tahun pertama implementasi IA-CEPA. Keistimewaan itu akan meningkat 5 persen per tahun hingga mencapai 5.000 orang setiap tahun.
Kemitraan itu juga diarahkan untuk membentuk economic powerhouse di kawasan, yaitu dengan mengolaborasikan kekuatan ekonomi kedua negara. Kolaborasi itu guna mendorong produktivitas produk industri dan pertanian, serta meningkatkan ekspor ke negara lain.
Sebelumnya, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (IE-CEPA) yang dimulai sejak 2011, juga telah ditandatangani 16 Desember 2018 di Jakarta. Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) itu beranggotakan empat negara, yaitu Swiss, Liechenstein, Eslandia, dan Norwegia.
Melalui IE-CEPA, Indonesia juga merasakan pembebasan tarif nol persen dari masing-masing negara anggota EFTA. Penghapusan tarif itu pada kisaran 81 persen-99,94 persen dari total pos tarif. Indonesia juga dapat meningkatkan investasi di sektor pertambangan dan energi terbarukan.
Selain itu, Indonesia dan EFTA juga menyepakati Deklarasi Bersama tentang kerja sama dan pengembangan kapasitas. Sektor-sektor yang mendapatkan perhatian dalam deklarasi itu adalah promosi ekspor, pariwisata, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hak kekayaan intelektual, kakao dan kelapa sawit, pendidikan vokasional, industri maritim, serta perikanan.
Kedua perjanjian itu ditargetkan dapat segera diimplementasikan pada akhir tahun ini atau awal 2020. Namun apakah hal itu bisa terjadi di tahun politik ini?
Proses selanjutnya pascapenandatangan itu adalah ratifikasi di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun proses tersebut bakal terhambat karena saat ini Indonesia tengah memasuki tahun politik atau pemilihan umum.
Para wakil rakyat akan sibuk berkampanye untuk terpilih kembali sebagai anggota legislatif. Bersamaan dengan itu, para wakil rakyat juga akan berupaya memenangkan calon presiden dan calon wakil presiden yang didukung partainya.
Ketika pesta demokrasi usai, para anggota DPR lama dan baru memasuki masa konsolidasi. Demikian halnya di sisi pemerintahan. Presiden dan wakil presiden terpilih akan segera membentuk kabinet baru. Setelah itu, masa konsolidasi juga akan berlangsung di masing-masing kementerian atau lembaga.
Hal itu akan semakin memperpanjang proses ratifikasi. Tak di tahun politik pun, proses ratifikasi itu membutuhkan waktu lama. Padahal dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 84 Ayat 3, masa pembahasan ratifikasi perjanjian perdagangan internasional di DPR adalah 60 hari kerja.
Dalam Pasal 84 Ayat 4 UU itu juga disebutkan, pemerintah dapat meratifikasi perjanjian apabila dalam kurun waktu 60 hari DPR tidak dapat menyelesaikan pembahasan ratifikasi. Langkah serupa pernah diambil pemerintah ketika DPR lambat meratifikasi tujuh perjanjian perdagangan pada akhir 2018.
Terlepas itu tahun politik atau bukan, kesempatan emas itu jangan disia-siakan.
Sembari menunggu proses ratifikasi kelar, para pelaku usaha dapat memanfaatkan hasil awal atau early outcomes yang merupakan masukan dari para pemangku kepentingan dan bagian integral para pembuat perjanjian. Berbagai pendekatan dan penjajakan bisnis, investasi, dan peningkatan kapasitas juga dapat dilakukan.
Di sisi lain, para wakil rakyat diharapkan mencermati perjanjian-perjanjian tersebut. Jangan sampai perjanjian itu justru semakin meningkatkan impor yang menyebabkan neraca perdagangan semakin defisit. Selain itu, jangan sampai perjanjian itu merugikan negara gara-gara dalam perjanjian itu tertuang klausul gugatan investor terhadap negara atau Investor State Dispute Settlement.
Terlepas itu tahun politik atau bukan, jangan sia-siakan kesempatan emas itu.