JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendigitalkan segala proses di pelabuhan dinilai masih sebatas mengubah cara kerja. Digitalisasi dianggap belum mengubah pola pikir sehingga pelaksanaannya belum efektif.
”Apa yang dilakukan pemangku kepentingan adalah mengubah yang semula dilakukan dengan kertas sekarang digital. Jadi, hanya mengubah bentuknya saja, tetapi cara kerjanya masih sama,” kata pakar teknologi Profesor Richardus Eko Indrajit dalam dialog ”Revolusi 4.0 Industri Pelabuhan & Pelayaran” yang diselenggarakan Ocean Week di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Dengan hanya mengubah bentuk, investasi yang harus ditanamkan menjadi mahal, tidak efisien, dan sulit mengintegrasikan ego sektoral. ”Cara seperti ini belum bisa dikatakan sebagai Revolusi 4.0 karena mindset atau pola pikirnya belum berubah,” kata Richardus.
Dia mencontohkan perusahaan taksi, jika hanya cara pemesanan yang diubah, perubahan itu belum bisa disebut revolusi. Perusahaan seperti Go-Jek, AirBnB, dan Traveloka bisa disebut revolusi karena mereka mendapat keuntungan tanpa memiliki modal besar, biaya operasional kecil, tetapi mendapat keuntungan besar. Mereka telah melakukan revolusi yang menimbulkan disrupsi.
”Sebagian besar dari kita mengenal pelayaran dulu, baru mengenal internet. Mengenal pelabuhan dulu, baru tahu internet. Kalau mau melakukan revolusi, serahkan hal ini kepada anak muda yang mengenal internet lebih dulu dibandingkan mengenal pelabuhan. Mereka akan melakukan perubahan yang luar biasa, yang hasilnya lebih efisien,” ujarnya.
Dia juga mengambil contoh kota cerdas. Sebuah kota belum bisa dibilang cerdas apabila pemerintah daerahnya masih menggunakan dinas teknisnya untuk melakukan pelayanan kepada warga.
”Misalnya, sebuah tong sampah yang telah dilengkapi sensor belum bisa dibilang cerdas apabila sensornya masih terhubung ke dinas kebersihan. Kota itu bisa dibilang cerdas apabila sensor tersebut terhubung ke angkutsampah.com, lalu sampah-sampah itu diangkut oleh warga sekitar ke tempat pembuangan akhir dengan kendaraan milik warga. Warga kemudian mendapat bayaran dari pemda dari pajak yang dibayarkan warga. Dengan begitu, pemda tidak perlu investasi truk sampah,” papar Richardus.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi Profesor Wihana Kirana Jaya mengatakan, saat ini Indonesia sedang bersiap menghadapi era Revolusi Industri ke-4 atau Revolusi Industri 4.0 yang bertujuan meningkatkan daya saing dan produktivitas industri nasional. Kehadiran Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan otomatisasi dan digitalisasi. Hal ini akan membuat dampak yang berarti bagi masa depan industri di Indonesia.
”Hampir semua industri mengharapkan adanya otomatisasi guna mendorong bisnisnya, termasuk industri di pelabuhan. Maka dari itu, Revolusi Industri 4.0 di sektor pelabuhan merupakan hal baik untuk menuju smart port dan smart supply chain,” ujar Wihana.
Wihana mengungkapkan, pada tahun 2023, pasar logistik akan menjadi salah satu industri terbesar di dunia, tetapi pelabuhan di Indonesia masih memiliki daya saing yang rendah dibandingkan negara lain. Penyebabnya adalah biaya logistik yang masih mahal dan dwelling time yang masih tinggi.
”Menurut data World Bank, 2018 biaya logistik Indonesia lebih kurang 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan masih berada di bawah Vietnam dan Malaysia yang biaya logistiknya hanya 13-15 persen dari PDB,” ujarnya.
Indonesia mesti menjadi pemain utama dalam industri pelabuhan dan pelayaran. Sebab, Indonesia adalah negara maritim di mana 40 persen perdagangan logistik dunia melewati perairan Indonesia. ”Indonesia harus dapat memanfaatkan potensi maritim tersebut dengan cara menguasai teknologi dan digitalisasi,” lanjutnya.
Kementerian Perhubungan telah memulai upaya digitalisasi, seperti melakukan Transhub Challenge untuk mendorong start up digital bidang transportasi hingga mengembangkan sistem Inaportnet versi 2.0. ”Pemerintah berharap perkembangan Revolusi 4.0 di industri pelayaran semakin cepat sehingga mampu mewujudkan sistem logistik Indonesia yang lebih efisien dan berdaya saing,” kata Wihana.
Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian Perhubungan Baitul Ihwan menekankan pentingnya penerapan teknologi informasi di sektor transportasi laut. Dalam konsep pelabuhan modern, pelabuhan tidak hanya menjadi pusat transportasi, tetapi juga menjadi pusat logistik dan pelayanan di mana banyak transaksi ekonomi dan administrasi dilakukan.
Di sinilah teknologi informasi berperan untuk membuat proses transaksi ekonomi dan administrasi bisa dilakukan lebih cepat, murah, dan transparan.
”Penerapan digitalisasi di pelabuhan nasional saat ini untuk mewujudkan pelabuhan generasi ke-4, yang seluruh proses di pelabuhan bisa saling terintegrasi, diakses, dan diawasi dalam satu sistem terpadu melalui sistem Inaportnet,” kata Baitul.
Saat ini, Inaportnet telah diterapkan pada 16 pelabuhan strategis dan digunakan setiap hari. Tahun ini akan ada 16 pelabuhan lain yang akan menerapkan Inaportnet.
”Dalam kurun waktu 2020 hingga 2024 nanti, kami menargetkan Inaportnet ini bisa diterapkan di 109 lokasi pelabuhan baru yang meliputi 1 pelabuhan KSOP Khusus Batam, 4 pelabuhan UPP kelas I, 16 pelabuhan KSOP kelas III, 48 pelabuhan KSOP kelas IV, dan 40 pelabuhan UPP kelas II,” ujarnya.