SURABAYA, KOMPAS – Sampai dengan pukul 19.00 WIB, Jumat (8/3/2019), banjir masih merendam sepuluh kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten/kota yang masih tergenang terutama berada di sepanjang aliran Bengawan Solo dan Sungai Brantas, dua batang air terpanjang di Pulau Jawa yang melintasi lalu bermuara di pesisir utara Jawa Timur.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, banjir yang dipicu hujan intensitas tinggi sehingga sungai-sungai meluap dan merendam 17 kabupaten/kota. Banjir telah surut di Nganjuk, Pacitan, Trenggalek, Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Jember, dan Banyuwangi. Namun, yang masih banjir ialah Madiun (kabupaten dan kota), Ngawi, Magetan, Ponorogo, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik dalam DAS Bengawan Solo dan Tulungagung dan Sidoarjo dalam DAS Brantas.
Di Bojonegoro misalnya, banjir berketinggian sampai 1 meter merendam 27 desa di tujuh kecamatan. Banjir telah berkurang dari sebelumnya merendam 45 desa di sembilan kecamatan. BPBD Kabupaten Bojonegoro mencatat banjir masih menggenangi 300 bangunan berupa rumah, sekolah, dan tempat ibadah, hampir 2.000 hektar lahan, dan 15 kilometer jaringan jalan. Banjir telah menimbulkan kerugian material minimal Rp 2 miliar.
“Belum ada laporan korban jiwa akibat banjir,” ujar Penjabat Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bojonegoro Nadif Ulfa saat dihubungi dari Surabaya, Jumat malam.
Di Trenggalek, Pelaksana Tugas Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin mengatakan, meski banjir sudah surut tetapi belum seluruh warga yang mengungsi kembali ke rumah. Warga tetap dimintas waspada karena musim hujan masih berlangsung yang dikhawatirkan kembali memicu sungai-sungai meluap dan menimbulkan banjir.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa seusai meninjau banjir di sejumlah daerah meminta relawan dan Taruna Siaga Bencana (Tagana) bertahan setidaknya sampai tiga hari ke depan di daerah yang sudah tidak kebanjiran. Relawan diminta membantu warga yang pasti akan kerepotan membersihkan lumpur dari rumah, perabotan, sumur, pekarangan, dan jaringan jalan.
“Ketersediaan air bersih, pompa, dan selang menjadi penting untuk pembersihan sisa banjir,” kata Khofifah di Surabaya, Jumat petang.
Pemprov Jatim dan Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) diminta melaksanakan langkah darurat misalnya untuk menangani kerusakan jalan akibat banjir dan tanah longsor misalnya di Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek. Penanganan jalan penting agar mobilitas warga dan atau bantuan bencana dari dan ke lokasi tidak terhambat.
Sela
in itu, menurut Khofifah, tanggul yang jebol misalnya di Kali Jeroan, Madiun, telah ditangani secara darurat dengan menambal memakai tumpukan karung berisi pasir. Namun, penanganan darurat seperti itu harus ditindaklanjuti dengan rekayasa teknik secara permanen yang melibatkan pendanaan dari provinsi dan pusat. Untuk ruas Jalan Tol Ngawi-Kertosono yang sempat putus akibat banjir perlu dicarikan solusi jangka panjang misalnya dengan pembangunan jaringan drainase atau malah peninggian prasarana tersebut.
Sampai dengan April nanti potensi ketersediaan beras di Jatim mencapai 3,2 juta ton dimana konsumsi Jatim hanya 1,2 juta ton sehingga diyakini tetap surplus
Adapun banjir dinilai tidak terlalu mengganggu ketahanan pangan di Jatim. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, Hadi Sulistyo mengklaim, banjir yang sempat merendam 17 kabupaten/kota cuma mengganggu 2.640 hektar sawah dari 1,1 juta hektar sawah di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini.
“Sampai dengan April nanti potensi ketersediaan beras di Jatim mencapai 3,2 juta ton dimana konsumsi Jatim hanya 1,2 juta ton sehingga diyakini tetap surplus,” katanya.
Harus terpadu
Umboro Lasminto, pakar teknik hidrologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, yang dihubungi secara terpisah mengatakan, penanganan banjir terkait meluapnya Bengawan Solo dan Sungai Brantas harus terpadu. Perlu diketahui terlebih dahulu karakteristik sungai dan daerah yang dilalui.
Di Ngawi, Bengawan Solo juga mendapat pasokan air dari Bengawan Madiun yang berhulu di Ponorogo. Bengawan Solo kemudian mengalir melalui Madiun, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Saat curah hujan tinggi, Bengawan Solo cenderung meluap sedangkan percabangan sungai dan anak sungai tersebut menjadi tidak dapat mengalirkan air atau ikut meluap dan banjir. Di Jatim, Bengawan Solo belum punya waduk atau bendungan besar. Rekayasan teknik dengan membangun bendungan atau waduk belum selesai sehingga belum dapat membantu menekan dampak banjir.
“Penanganan hulu dan hilir harus terintegrasi dan utuh,” kata Umboro. Di hulu, konsepsinya bagaimana air hujan bisa ditampung dan atau diresapkan sebanyak mungkin ke tanah sehingga yang mengalir ke sungai tidak sampai meluber. Di hulu, rehabilitasi lahan sepatutnya dengan tanaman keras bukan tanaman musiman apalagi budidaya. Daerah-daerah dengan kondisi cekungan atau lebih rendah sebaiknya tidak untuk pemukiman tetapi waduk atau penampungan air.
Pembangunan dan perbaikan tanggul serta penertiban sempadan dari bangunan ilegal harus terus dilakukan. Selain itu, jangan cepat lupa apalagi terbiasa dengan kebanjiran. Pemerintah dan warga harus berikhtiar mewujudkan mitigasi untuk mencegah atau menekan dampak banjir di masa depan. Jangan hanya bereaksi saat bencana datang kembali tetapi kemudian lupa tidak melakukan apa-apa.