TNI Apresiasi Langkah Kepolisian terhadap Robertus Robet
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tentara Nasional Indonesia menyatakan, orasi yang disampaikan Robertus Robet pada 28 Februari 2019 memuat konten ujaran kebencian. TNI juga menilai penangkapan Robet oleh polisi sesuai dengan prosedur penegakan hukum.
”Dari konten orasi memang ada ujaran-ujaran kebencian dan itu menjadi ranah penegak hukum (Polri) untuk menindaklanjutinya,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi kepada Kompas saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/3/2019).
Menurut Sisriadi, pihak kepolisian telah mengambil langkah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia pun mengapresiasi langkah kepolisian itu. Di sisi lain, ujar Sisriadi, konten orasi yang disampaikan Robet memiliki muatan kritis yang patut diapresiasi, yakni mendorong TNI supaya tidak kembali ke ranah politik praktis seperti di zaman Orde Baru.
”Konten itu (dwifungsi) tentu bisa dijadikan masukan untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada TNI,” ucapnya.
Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Robet ditangkap pada Kamis (7/3/2019), pukul 00.30, dengan dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Robet diduga menghina institusi TNI saat berorasi di depan Istana Negara. Aksi itu dinilai melanggar Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 Ayat (2) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Robet yang mengaku bersalah dijerat sebagai tersangka pelanggaran Pasal 207 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil dan Aliansi Dosen Universitas Jakarta (UNJ), yang mendukung kebebasan berekspresi, menyatakan, tujuan Robet menyanyikan lagu itu untuk mengingatkan bahwa penghapusan dwifungsi ABRI adalah salah satu agenda utama Reformasi 1998.
”Lagu tersebut merupakan kritik dan mengingatkan peran ABRI pada masa Orde Baru yang terlibat dalam kehidupan politik praktis,” ujar pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.
Kritik itu tidak terlepas dari wacana revisi UU No 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47, yang memperbolehkan perwira aktif TNI menempati jabatan sipil di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintahan.
Revisi UU itu bertalian dengan banyaknya perwira menengah dan tinggi TNI yang tidak memiliki jabatan struktural. Hal ini kemudian memantik polemik seputar potensi kembalinya dwifungsi ABRI. Trauma penerapan dwifungsi di masa lalu guna melanggengkan kekuasaan memicu rencana kebijakan tersebut ditentang sejumlah kalangan.
Sementara Sisriadi saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas, Selasa (12/2/2019), mengatakan, penempatan perwira TNI di lembaga negara sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi. Selain itu, saat ini sudah tidak ada lagi doktrin peranan sosial dan politik di dalam TNI. ”Ini soal teknis saja, manajemen sumber daya manusia. Tidak sama dengan dwifungsi ABRI yang menduduki jabatan politik seperti bupati,” katanya. (DIONISIO DAMARA)