JAKARTA, KOMPAS — Besarnya utang luar negeri di tengah pelambatan ekspor berpotensi meningkatkan risiko terhadap kemampuan membayar utang pemerintah. Sebab, rasio pembayaran utang (debt service ratio/DSR) masih tergolong tinggi kendati masih dalam batas aman.
Rasio pembayaran utang (DSR) merupakan kemampuan membayar utang dari penerimaan pada neraca transaksi berjalan yang meliputi ekspor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder. Semakin rendah DSR berarti kemampuan membayar utang lebih baik. DSR juga meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang serta pembayaran bunga atas utang jangka pendek.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, DSR Tier-1 pada 2018 sebesar 24,08 persen atau menurun dibandingkan 2017 yang sebesar 25,54 persen. Debt Services Framework (DSF) Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menyebutkan, batas aman DSR adalah 25 persen.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Wisnu Wardana kepada Kompas, Kamis (7/3/2019), mengatakan, DSR pada 2018 itu turun karena ada peningkatan penerimaan dalam neraca transaksi berjalan. Hal itu tecermin dari ekspor yang tetap tumbuh meskipun tidak setinggi impor dan defisit keseimbangan primer yang mengecil.
”Namun, pada prinsipnya DSR harus diupayakan terus menurun karena saat ini masih tergolong tinggi,” kata Wisnu.
Di tengah ketidakpastian global, lanjut Wisnu, kemampuan membayar utang harus dijaga. Penerimaan dalam valuta asing (valas) mesti ditingkatkan dengan menggenjot ekspor manufaktur, devisa pariwisata, dan investasi perusahaan Indonesia di luar negeri. Untuk itu, perbaikan daya saing ekspor menjadi agenda utama pemerintah.
Di tengah ketidakpastian global, kemampuan membayar utang harus dijaga. Penerimaan dalam valuta asing mesti ditingkatkan.
Menurut Wisnu, dampak berganda yang dihasilkan investasi Indonesia di luar negeri lebih besar ketimbang menarik investasi asing langsung ke dalam negeri. Penerimaan valas dapat meningkat signifikan, yang bersumber dari ekspor bahan baku dan pembayaran dividen. Upaya meningkatkan investasi di luar negeri itu kini sedang dilakukan Singapura.
”Semakin besar penerimaan valas, kemampuan membayar utang semakin baik. Tujuannya agar pembayaran utang tak lagi gali lubang tutup lubang,” katanya.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, DSR Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand (4,7 persen), Vietnam (5,94 persen), dan rata-rata negara Asia Pasifik (8,95 persen). Ini merupakan indikasi melemahnya daya saing produk ekspor Indonesia.
”Masalahnya, utang luar negeri harus dibiayai dari valas. Ketika kinerja ekspor melambat, ada risiko ketidaksesuaian antara penerimaan valas dan utang valas,” kata Bhima.
Utang luar negeri harus dibiayai dari valas. Ketika kinerja ekspor melambat, ada risiko ketidaksesuaian antara penerimaan valas dan utang valas.
Bhima mengatakan, DSR tidak hanya dipengaruhi kinerja ekspor, tetapi juga fluktuasi rupiah. Untuk mengantisipasi fluktuasi rupiah perlu ada diversifikasi utang denominasi valas selain dalam dollar AS, euro, dan yen. Mata uang alternatif bisa dalam yuan China atau mata uang lain dari negara-negara Timur Tengah.
BI mencatat, rasio utang terhadap ekspor menurun dari 168,04 persen pada 2017 menjadi 163,8 persen pada 2018. Lima tahun terakhir, rasio utang Indonesia terhadap ekspor tertinggi terjadi pada 2016, yaitu sebesar 176,14 persen.
Utang naik
Mengutip data statistik utang luar negeri Indonesia yang dirilis BI, utang luar negeri Indonesia per Desember 2018 sebesar 376,8 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Rabu lalu, yakni Rp 14.129 per dollar AS, jumlah utang itu setara Rp 5.323,8 triliun.
Rinciannya, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 186,2 miliar dollar AS serta utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 190,6 miliar dollar AS. Secara tahunan, utang luar negeri Indonesia pada triwulan IV-2018 tumbuh 6,9 persen dibandingkan triwulan IV-2017. Peningkatan utang bersumber dari pertumbuhan utang pemerintah dan swasta.
BI menyebutkan, struktur utang luar negeri Indonesia dinilai tetap sehat, yang tecermin antara lain dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 36,18 persen pada 2018. Pada 2017, rasio utang terhadap PDB sebesar 34,31 persen.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas utang luar negeri tidak boleh lebih dari 60 persen PDB. Rasio utang Indonesia sebesar 36 persen itu masih berada di kisaran negara-negara berkembang. Struktur utang juga didominasi tenor jangka panjang yang memiliki pangsa 86,3 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan menyatakan, penerbitan surat utang negara selalu berdasarkan peraturan UU dan kebutuhan APBN. Defisit APBN 2019 dipatok sebesar 1,84 persen PDB yang akan dibiayai melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 119,54 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 2,93 triliun.
”Jangan anggap penerbitan SBN sebagai momok. Sebab, penarikan utang tetap diseimbangkan sesuai kebutuhan pembiayaan, bukan hobi,” ujar Sri Mulyani.
Jangan anggap penerbitan SBN sebagai momok. Sebab, penarikan utang tetap diseimbangkan sesuai kebutuhan pembiayaan, bukan hobi.
Pemerintah kini berupaya menurunkan utang dari penerbitan surat berharga negara tahun ini. Penurunan utang dilakukan seiring dengan defisit APBN yang mengecil. Langkah ini juga dibutuhkan untuk mengantisipasi beban bunga utang akibat volatilitas kurs rupiah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pembiayaan utang dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun atau lebih rendah dari realisasi APBN 2018 sebesar Rp 366,7 triliun. Pada 2017, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 429,1 triliun.