Harga Pembelian Gula agar Mengacu pada Hasil Survei
Oleh
IQBAL BASYARI/AGNES SWETTA PANDIA
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kelompok petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia meminta perbaikan harga pembelian gula petani pada 2019. Harga yang ditetapkan sebaiknya mengacu pada hasil survei yang dilakukan tim independen agar menguntungkan petani sekaligus tidak membebani pembeli.
Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, Kamis (7/3/2019), di Surabaya, mengatakan, nilai pembelian gula petani sebaiknya mengacu pada hasil survei yang dilakukan tim independen yang berisi kalangan akademisi.
”Kepastian nilai pembelian gula petani agar ditetapkan tiga bulan sebelum masa giling,” ujar Arum. Harapan itu juga disampaikan Arum kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, awal pekan ini.
Tahun lalu, pemerintah menetapkan harga acuan oleh Perum Bulog sebesar Rp 9.700 per kilogram. Rendemen tebu juga masih berkisar 5 hingga 8, di bawah target 8,5. Harga itu dinilai masih rendah dan mengakibatkan sejumlah petani tebu merugi. Oleh karena itu, petani meminta ada perubahan harga yang lebih baik.
Ketua DPD APTRI PTPN X Sunardi Edi Sukamto menilai, harga ideal gula petani seharusnya Rp 10.500 per kilogram. Harga yang baik diyakini bisa meningkatkan kesejahteraan petani tebu dan meningkatkan minat orang menanam tebu.
Selain itu, harga yang baik juga akan membuat tidak adanya penumpukan gula di gudang-gudang. Selama ini, beberapa kali gula tidak terserap karena harga lelang yang rendah. Petani enggan melepas gula karena khawatir merugi.
Arum menambahkan, sistem penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani tebu agar dikembalikan pada sistem skema khusus, yaitu penyaluran dari pabrik pupuk langsung ke koperasi petani tebu dengan pabrik gula. Hal itu untuk meningkatkan sinergi administrasi dalam kontrol dan pengawasan penyaluran pupuk yang tepat sasaran, tepat jumlah, serta tepat waktu penyaluran.
Terkait dengan impor garam, Arum mengatakan, izin sebaiknya hanya diberikan kepada pabrik gula yang juga mengolah bahan baku tebunya dari tanam sendiri atau bermitra dengan petani dengan kapasitas 80 persen dari kapasitas terpasang. Besaran impor gula mentah pun harus disesuaikan dengan kebutuhan, bukan kapasitas pabrik.
Jangan pula memberikan izin impor kepada sembarangan pabrik karena ditengarai ada pendirian pabrik gula baru hanya sebagai kedok untuk melakukan impor gula. ”Pabrik-pabrik yang terindikasi dibuka hanya untuk melakukan impor gula mentah agar ditutup,” ucap Arum.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Gula Indonesia Aristo Harisman menuturkan, selama 2018 produksi gula nasional mencapai 869.802 ton, terdiri atas 437.670 ton gula petani dan 432.133 gula milik pabrik gula. Produksi itu dihasilkan dari lahan seluas 174.950 hektar.