Cederai Kebebasan Berekspresi, Polisi Didesak Bebaskan Robertus Robet Tanpa Syarat
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penangkapan Dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia Robertus Robet dinilai mencederai asas negara hukum, demokrasi, serta kebebasan berekspresi, yang dijunjung Indonesia pasca-reformasi. Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi mendesak kepolisian untuk membebaskan Robet tanpa syarat.
Robet ditangkap di kediamannya di kawasan Depok, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019) sekitar pukul 11.45. Ia lalu dibawa ke Mabes Polri untuk dimintai keterangan oleh tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Robet dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait video orasinya dalam aksi damai Kamisan yang mengkritisi Revisi UU No 34/2004 tentang TNI pada 28 Februari 2019
Dalam video tersebut Robet menyanyikan potongan plesetan Mars ABRI yang dibuat pada era reformasi 1998 untuk menolak dwi fungsi ABRI.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/3/2019) mengatakan, penangkapan Robet telah mencederai asas negara hukum dan demokrasi yang dipegang teguh oleh Indonesia. Pasalnya, Robet dinilai tidak sama sekali menghina institusi TNI.
"Tidak ada unsur kriminal dalam substansi pernyataan (Robet) yang dipersoalkan. Sebab, nyanyian yang menjadi sorotan utama tidak bisa dipisahkan dari penjelasan Robet dalam narasi berikutnya yang terpotong (dalam video)," kata Usman.
Oleh karena itu, Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari lembaga Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty International Indonesia, Protection International, Hakasasi.id, Perludem, Elsam, Sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan, mendorong agar kepolisian segera membebaskan Robet tanpa syarat.
"Penangkapan kepada Robertus Robet adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi," kata Usman.
Usman menambahkan, refleksi yang disampaikan Robet tidak terlepas dari kajian akademis terkait kebijakan revisi UU No 34/2004 tentang TNI yang memperbolehkan perwira aktif TNI menduduki jabatan di kementerian dan lembaga. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong agar TNI senantiasa profesional.
"Baginya (Robet) menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan pada orde baru," katanya.
Revisi UU No 34/2004 tentang TNI, khususnya pasal 47, menambahkan beberapa kementerian/lembaga yang diperbolehkan diisi oleh perwira aktif TNI, yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kantor Staf Kepresidenan, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Langkah tersebut diambil karena TNI dihadapkan pada persoalan terkait ratusan perwira tinggi dan perwira menengah TNI tanpa jabatan struktural.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal Muhammad Herindra di Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (5/3/2019), mengatakan, ada kegagalan pemahaman bertalian dengan revisi UU No 34/2004 tentang TNI, yang seolah-olah memantik polemik kembalinya TNI ke zaman Orde Baru.
Selain itu, penambahan melalui revisi UU TNI harus dilakukan karena dalam praktiknya sudah ada beberapa lembaga yang jabatan strukturalnya diisi oleh perwira TNI aktif. Salah satunya adalah Bakamla.
"Untuk itu, kami revisi UU No 34/2004. Jadi, kalau ada informasi dwi fungsi mau bangkit lagi, saya katakan itu omong kosong," katanya.
Sementara menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, persoalan penempatan perwira aktif TNI di ranah sipil tidak menyelesaikan akar persoalan. Sebab, selama ini TNI dilatih untuk berperang. Sementara penempatan jabatan di ranah sipil tidak sesuai dengan kompetensi perwira TNI.
“Ketika mencari solusi untuk sebuah persoalan di dalam subsistem yang terbatas, jangan sampai merusak dan tidak melihat pertimbangan yang lebih besar. Sebab, ada kepentingan-kepentingan lain yang perlu dijaga demi kepentingan nasional,” kata Agus. (DIONISIO DAMARA)