Perkara Penyuap Panitera PN Jakarta Pusat Diputus Hari Ini
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eddy Sindoro, mantan petinggi konglomerasi besar di Indonesia, akan menghadapi sidang pembacaan putusan terkait perkara korupsi suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Susunan majelis hakim perkara ini terdiri dari Ketua Majelis Hakim Hariono dengan hakim anggota Hastopo, Rosmina, Sigit Herman Binaji, dan Titi Sansiwi.
Sebelumnya, Eddy dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pidana lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Eddy diyakini bersalah atas kasus dugaan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Jaksa menilai, Eddy tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi, turut merusak citra pengadilan, dan terdakwa tidak bersikap kooperatif dalam proses penyidikan. Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum.
Untuk diketahui, Eddy Sindoro didakwa memberikan suap Rp 150 juta dan 50.000 dollar AS kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian uang itu terkait dengan perkara hukum yang menimpa dua korporasi, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL). Kedua perusahaan itu diyakini masih berafiliasi dengan salah satu jaringan konglomerasi besar di Indonesia.
Kronologi
Perkara hukum korporasi itu berkaitan dengan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 2013, yang menyatakan bahwa MTP wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar 11,1 juta dollar AS.
Terhadap putusan SIAC, MTP tak kunjung melaksanakan kewajibannya sehingga PT Kmyco mendaftarkan putusan itu di PN Jakarta Pusat agar perkara dapat dieksekusi di Indonesia.
Menindaklanjuti hal itu, PN Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning (peringatan) kepada MTP pada 1 September 2015. Namun, dalam beberapa kali pemanggilan, perwakilan MTP tidak hadir.
Mengetahui pemanggilan putusan MTP, Eddy memerintahkan anggota stafnya untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Edy Nasution disebut bersedia menunda proses aanmaning dengan imbalan Rp 100 juta yang disetujui oleh Eddy. Uang itu diserahkan melalui perantara Doddy Aryanto Supeno.
Adapun AAL dinyatakan pailit oleh putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2013. Namun, sampai masa waktu yang ditentukan, AAL tidak segera mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Eddy pun meminta anggota stafnya untuk mengupayakan pengajuan PK dan melakukan pengecekan di PN Jakarta Pusat tahun 2016. Staf Eddy pun kembali menghubungi Edy Nasution agar menerima pengajuan PK yang sudah melewati masa tenggat itu.
Edy Nasution bersedia melakukannya dan meminta imbalan Rp 500 juta. Kemudian Eddy menyetujui permintaan tersebut. Melalui kuasa hukum perusahaan, Edy Nasution menerima 50.000 dollar AS. Permohonan PK AAL pun didaftarkan dan langsung diurus Edy hingga sampai proses di Mahkamah Agung.
Jaksa menilai, perbuatan Eddy melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. (MELATI MEWANGI)