Penapisan Masih Rendah, Sosialisasi Perlu Didorong
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran masyarakat untuk deteksi dini kanker serviks atau kanker mulut rahim masih sangat rendah. Padahal, fasilitas penapisan melalui inspeksi visual asam asetat atau IVA bisa diakses secara mudah di puskesmas. Untuk itu, sosialisasi dan edukasi harus lebih gencar dilakukan.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani di Jakarta, Rabu (6/3/2019) menyampaikan, kanker serviks masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Kanker ini merupakan jenis kanker terbanyak kedua yang diderita oleh perempuan, setelah kanker payudara.
Masalah lain yang juga terjadi adalah sekitar 70 persen pasien kanker serviks datang ke layanan kesehatan pada stadium sudah lanjut . Akibatnya, perawatan semakin sulit diberikan dan angka kematian pun semakin tinggi. Kanker serviks stadium lanjut mudah menyebar ke organ tubuh lainnya sehingga respons dari pengobatan menjadi buruk.
Angka harapan hidup pun sangat rendah, yakni 14 persen yang bertahan hidup selama 1 tahun sejak terdiagnosis, 6 persen bertahan hidup hingga tahun ke-2, dan 0 persen yang mampu bertahan hidup sampai tahun ke-5.
“Banyaknya pasien kanker serviks yang datang di stadium lanjut menandakan rendahnya kesadaran untuk deteksi dini. Seharusnya kondisi ini bisa dicegah karena fasilitas deteksi dini dengan IVA sudah bisa dilakukan di puskesmas dan dijamin oleh BPJS Kesehatan. Deteksi dini sangat berpengaruh pada keberhasilan perawatan pada pasien,” kata Dwi.
Data jurnal kedokteran dan kesehatan pada 2015 mencatat, cakupan penapisan untuk deteksi dini kanker serviks di Indonesia baru sekitar 5 persen. Jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan angka cakupan yang harus dicapai untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian pada kanker serviks, yaitu 85 persen.
Peta jalan
Untuk itu, Dwi menyarankan, pemerintah bersama institusi dan lembaga terkait perlu membuat peta jalan terkait target cakupan penapisan kanker serviks pada masyarakat. Dengan begitu, diharapkan semua pihak secara bersama fokus untuk mencapai target tersebut.
“Jadi ada target tahun depan cakupan harus berapa persen sehingga ada yang dipacu. Semua kementerian, lembaga, dan organisasi bekerja bersama. Harapan saya, dengan cara ini, lima tahun ke depan cakupan screening (penapisan) sudah 50 persen. Seluruh puskesmas juga sudah bisa melakukannya sehingga tidak ada kendala,” tuturnya.
Staf divisi onkologi ginekologi bagian obstetri-ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Laila Nuranna menyebutkan, tes IVA dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan dengan cara mengoleskan asam asetat (cuka dapur) dengan kadar 3-5 persen di bagian leher rahim. Sensitivitas IVA cukup tinggi, yakni sekitar 70-80 persen.
Hasil tes bisa diketahui dalam waktu beberapa menit. Jika terdeteksi ada lesi (kerusakan) prakanker, pasien disarankan untuk mendapatkan terapi lanjutan dengan krioterapi atau terapi pembekuan untuk membuang lesi prakanker dengan nitrogen.
“Setiap perempuan berisiko terkena virus HPV (penyebab kanker serviks) sehingga deteksi dini sangat dianjurkan terutama pada perempuan di atas 20 tahun yang sudah menikah ataupun yang sudah melakukan hubungan seksual,” katanya.