Menjaga Tradisi dan Harga Diri Dengan Gerabah Klipoh
Kudu nrimo ing pandum bermakna harus ikhlas menerima keadaan. Petuah Jawa itu tertulis pada papan yang ditempel di dinding bata merah di sebuah rumah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di sampingnya, Kerah (70) seolah membuktikan makna petuah itu. Gerakan tangan keriputnya yang ringan, riang, dan penuh semangat bekerja, menyiratkan keikhlasan hatinya untuk tetap menjadi penerus tradisi kerajinan gerabah, yang kini nyaris tak terjamah oleh generasinya sendiri.
Dusun Klipoh adalah dusun yang menjadi sentra kerajinan gerabah di kawasan Borobudur. Seiring waktu, seiring dengan tergesernya gerabah oleh berbagai macam piranti lain, jumlah perajin gerabah pun terus menyusut.
Kerah menerima kemampuan dirinya yang memang sejak kecil hanya bisa dan terbiasa membuat gerabah. Ketrampilan itulah yang diandalkan baginya untuk tetap mencari penghasilan di usianya yang renta.
“Bisanya kerja ini (membuat gerabah). Ya inilah yang saya lakukan sekarang,” ujarnya sembari cekatan memilih, membentuk adonan tanah liat di atas mesin pemutar gerabah.
Aktivitas membuat gerabah itu pun dilakoninya dengan senang tanpa ada ekspresi berat hati ataupun malas. Dia memang memilih untuk tetap bekerja, agar dirinya tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari tanpa merepotkan empat anaknya yang kini sudah sibuk dengan urusan rumah tangganya masing-masing.
“Tidak enak dengan anak, tidak anak dengan menantu. Lebih enak memakai uang sendiri saja,” ujarnya sembari terkekeh.
Tidak menumpang tinggal dengan salah satu dari empat anaknya, Kerah yang sudah menjanda sejak belasan tahun silam, memilih tinggal bersama dengan sepupunya, Sani (68), yang juga sudah menjanda.
Jika semasa muda dirinya bisa membuat lebih dari 50 bejana per hari, maka sekarang ini, dirinya hanya bisa membuat 10-20 bejana per hari. Bejana yang dimaksud adalah bejana kecil dengan diameter penampang sekitar 10 sentimeter. Bejana kecil tersebut biasa diambil, dibeli oleh pengepul dengan harga Rp 3.000 per buah.
Tidak banyak, namun penghasilan yang didapat adalah sesuatu yang menurutnya harus disyukuri setiap hari.
“Penghasilan saya masih cukup untuk membeli beras dan lauk pauk. Kalau ditabung lama, juga masih tetap bisa untuk membeli kain atau emas,” ujarnya.
Semangat dan kemandirian serupa juga terpancar dari Robiyah (55), perajin gerabah lainnya. Sekalipun tinggal satu rumah bersama anak perempuannya, dia pantang diam dan tidak mau berstatus hanya menumpang hidup.
Dia menyadari tetap harus bekerja, karena anaknya pun punya kebutuhan sendiri.
“Saya tidak ingin menjadi beban. Kebutuhan anak saya juga banyak. Ada tiga cucu saya yang harus dia rawat dan juga harus dipenuhi kebutuhannya,” ujarnya.
Sejak usia 10 tahun, Robiyah sudah dididik untuk bekerja, mencari nafkah dengan membuat gerabah. Karya tangannya sejak lama sudah mendukung ekonomi keluarga, dan kini tetap dilakukannya sekalipun yang ditopang adalah kehidupan ekonominya sendiri.
Juminah (90) juga tetap bekerja membuat gerabah. Sudah tidak bisa lagi mendengar dan berkomunikasi dengan baik, dia tetap konsisten berkarya, sekalipun setiap hari hanya menghasilkan lima kuali yang laku terjual Rp 5.000 per buah.
Supoyo (48), putra bungsu Juminah mengatakan, ibunya pun sangat mandiri. Sekalipun sudah janda, dia tetap bertahan tinggal sendiri, terpisah dari tujuh anaknya. Selain bekerja, setiap hari, dia pun masih menjalankan aktivitas berbelanja dan memasak untuk dirinya sendiri.
Sesekali, Juminah tetap menerima uang pemberian dari anak-anaknya. Namun, uang pemberian itu tidak pernah dibelanjakan untuk kebutuhannya sendiri. Biasanya, menurut Supoyo, uang itu kemudian dipakai untuk membeli daging atau lauk lainnya, yang kemudian dimasak dan dibagikan kepada seluruh anaknya. Porsi terbanyak, biasanya diberikannya kepada anak yang memberinya uang.
Setiap Lebaran, Juminah juga sering menerima uang dari cucu-cucunya. Namun, uang itu tidak pernah dipakai dan hanya disimpannya di lemari pakaian.
“Ibu saya memang sepertinya gengsi untuk memakai atau membelanjakan uang yang diterimanya cuma-cuma. Dia lebih suka memakai uang yang didapatkan dari hasil kerjanya sendiri,” ujarnya sembari terkekeh.
Tradisi gerabah
Di Dusun Klipoh, tradisi membuat gerabah sudah ada, dan menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang. Supoyo, yang juga menjabat sebagai ketua kelompok perajin gerabah Bina Karya mengatakan, di masa lalu, aktivitas membuat gerabah memang menjadi pekerjaan, mata pencaharian utama di setiap rumah di Dusun Klipoh.
Karena kerajinan gerabah memang merupakan pekerjaan seni yang membutuhkan ketekunan, kesabaran erta kelembutan hati pelakunya, maka kerajinan ini, sejak dahulu, memang dipercayakan untuk dikerjakan kaum perempuan saja. Adapun, kaum laki-laki hanya mendukung dengan membantu mencarikan tanah liat, serta membantu memasarkan gerabah ke pasar.
Dengan pembagian tugas tersebut, maka, perempuan, secara otomatis menjadi “tokoh penting”, sebagai penopang perekonomian keluarga. Tugas tersebut sudah menjadi “kewajiban” yang melekat bagi setiap perempuan di Dusun Klipoh.
“Di dusun kami, perempuan harus bekerja, dan aktivitas mengasuh anak dan melakukan tugas-tugas rumah tangga bukan termasuk bekerja. Perempuan harus bisa membuat gerabah,” ujarnya.
Karena tugas “pentingnya” tersebut, maka tak jarang, perempuan kerap kali harus mengalah. Supoyo mendontohkan, empat kakak perempuannya harus rela, memfokuskan diri untuk terus bekerja, sementara tiga saudara laki-lakinya bisa bermain-main ke luar rumah.
Dari aktivitas membuat gerabah itulah, Supoyo mengenang, seluruh kebutuhan keluarga, termasuk segala keperluan sekolah dia dan enam saudaranya, bisa tercukupi. Kondisi serupa, menurut dia juga terjadi di setiap rumah di Dusun Klipoh.
Peran penting perempuan di masa lalu itulah, yang kemudian dimakluminya, terus terbawa di kehiduoan sebagian perempuan, hingga di masa kini. Mereka pantang berhenti bekerja sekalipun kemampuan fisik sudah dimakan usia.
“Barangkali, membuat gerabah adalah bagian dari cara mnjaga harga diri mereka, bahwa mereka masih menjadi tokoh penting di keluarga,” ujarnya.
Kendatipun kondisi fisik sudah berubah karena usia, para perempuan di Dusun Klipoh memastikan akan tetap membuat gerabah hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
“Ibu saya memang sering sakit dan mengeluh capek. Namun, saat ditanya kapan dirinya akan berhenti, maka dia hanya akan menjawab sampai dirinya tidak bisa membuat gerabah lagi,” ujarnya.
Juminah, menurut dia, tidak akan berhenti lebih dari tiga hari. Setelah sebelumnya mengeluh masuk angin, dia bisa tiba-tiba kembali bekerja, membuat gerabah.
Arkeolog Balai Konservasi Borobudur (BKB) Yudi Suhartono, mengatakan, tradisi membuat gerabah adalah tradisi yang sangat kuno, dan telah dikenal, dijalankan bahkan sebelum masyarakat purba mengenal tulisan.
Di masa lalu, gerabah, menurut dia, menjadi peralatan penting karena saat itu hanya piranti itulah yang tersedia untuk mendukung kebutuhan rumah tangga, dan untuk kegiatan doa dan pemujaan kepada para dewa.
Di Candi Borobudur, dipakainya gerabah untuk upacara pemujaan, tergambar, terukir di 36 relief. Adapun, gambaran perempuan membuat gerabah terukir di relief di pagar langkan lorong 1, dan sisi utara bawah. Di relief itu bahkan tergambar adanya alat putar dan pukul.
Penerus
Perempuan-perempuan usia lanjut di Dusun Klipoh adalah bagian dari penerus tradisi yang tersisa di masa kini. Supoyo mengatakan, seiring waktu, jumlah perajin gerabah kian terus menyusut. Jika tahun 1970-1980an jumlah perajin masih mencapai ratusan orang, tahun 2014 berkurang menjadi 86 orang, dan kini tinggal ada sekitar 70 perajin saja.
Sekitar 60 persen dari 70 perajin tersebut, adalah kalangan perajin berusia 40 tahun ke atas.
“Kebanyakan generasi muda dari kalangan muda, usia 20-30 tahun, lebih suka menekuni beragam pekerjaan lain di luar kota,” ujarnya.
Dari sekitar 70 perajin yang tersisa tersebut, menurut dia, juga hanya separuh atau sekitar 35 perajin yang membuat gerabah secara kontinyu. Separuh perajin lainnya sering beralih menjadi pedagang di musim-musim tertentu seperti musim libur Lebaran atau libur sekolah.
Sekitar 90 persen perajin yang masih bertahan adalah kaum perempuan, yang mayoritas diantaranya sudah berusia lanjut. Kepada merekalah sebagian asa tradisi gerabah dititipkan. Para perempuan yang menjaga tradisi dan harga diri dengan gerabah Klipoh.