Kerusakan Terjadi dari Hulu ke Hilir
Daerah aliran Sungai Jeneberang yang membentang dari Gunung Bawakaraeng hingga ke Selat Makassar, telah menjadi sandaran penghidupan jutaan warga Sulawesi Selatan. Namun, sungai yang membawa berkah tersebut juga dapat menjadi sumber petaka jika lingkungannya rusak.
Banjir dan longsor yang melanda 13 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan pada 22 Januari silam merupakan jawaban alam terhadap perilaku manusia. Bencana hidrometeorologi itu menyebabkan 79 korban tewas, lebih dari 22.000 rumah terendam, dan sebanyak 9.429 warga mengungsi. Meluapnya Sungai Jeneberang setidaknya menjadi pemicu banjir yang terjadi di Kabupaten Gowa, Takalar, dan Kota Makassar.
Sungai Jeneberang dialiri beberapa anak sungai yang menyatu dan bermuara ke Selat Makassar. DAS Jeneberang bersumber dari aliran Sungai Malino yang berhulu di dataran tinggi Malino dan Sungai Jeneberang yang berhulu di Danau Tanralili. Kedua daerah itu berada di kawasan Gunung Bawakaraeng.
Bagian hulu
Saat menyusuri DAS Jeneberang, dengan mudah ditemui kerusakan lingkungan di sepanjang kawasan DAS itu, dari hulu hingga hilir. Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah bahkan menyebutkan, sudah bertahun-tahun DAS Jeneberang dalam kondisi kritis. Kondisi lapangan mempertegas hal itu.
Di dataran tinggi Malino, sebagian besar rindang hutan telah beralih fungsi menjadi kebun sayuran, permukiman, dan bangunan vila. Secara kasat mata, pertanian hortikultura seperti wortel, kentang, jagung, dan sayuran lain tampak masif merambah masuk ke areal Gunung Bawakaraeng hingga di lereng-lereng terjal. Area lereng tempat tegakan pohon pun berganti menjadi kebun sayur tanpa menggunakan pola terasering.
Padahal, sebagian besar wilayah Malino di Kecamatan Tinggi Moncong masuk dalam areal Taman Wisata Malino yang berstatus kawasan konservasi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfataan taman wisata alam.
Namun, aturan ini diabaikan. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan, Thomas Nifinluri pun mengungkapkan, salah satu penyebab area hulu sungai kritis itu karena sebagian besar kawasan konservasi telah beralih fungsi. Areal yang mengalami alih fungsi itu mencapai 79 persen dari 3.200 hektar areal konservasi yang ada.
Thomas menyampaikan, kurang lebih ada 2.540 hektar dari areal konservasi itu digunakan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial bagi masyarakat. Kondisi ini terjadi karena area itu telah dihuni warga sejak 1960. Sementara area itu baru ditetapkan sebagai wilayah konservasi pada 1991.
“Ini akibat keterlanjuran okupansi di kawasan yang terjadi sejak 1960, tiga dekade sebelum penunjukkan wilayah konservasi pada 1991,” ujar Thomas, saat ditemui di Kota Makassar, Senin (4/2/2019).
Berbeda dengan Malino, kondisi hulu Jeneberang di Danau Tanralili tidak dipadati oleh pemandangan kebun sayur yang masif. Namun, ada ancaman bencana lain yang berada di lereng gunung tersebut, yakni material longsoran kaldera Bawakaraeng yang runtuh sejak 2004. Material itu berpotensi menggelontor ke Sungai Jeneberang kemudian mengendap di Bendungan Bili-bili.
Di bagian tengah, badan sungai Jeneberang dipenuhi aktivitas penambangan pasir. Aktivitas tambang yang masif tersebut membuat wajah sungai tampak compang-camping jika dilihat dari ketinggian. Alat berat dan truk-truk besar berjejer beriringan untuk mengangkut pasir vulkanik dan batuan sungai.
Ahli Hidrologi Universitas Hasanuddin Farouk Maricar mengakui, penambangan pasir yang sesuai kaidah dapat mengurangi sedimentasi. Namun, jika penambangan tidak dilakukan sesuai kaidah dan lokasinya terlalu dekat dengan bangunan sabo dam, maka dapat merusak bangunan sabo dam yang berfungsi sebagai pengendali pasir itu.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulsel, terdapat 18 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan di sepanjang Sungai Jeneberang dengan luas mencapai 254,24 hektar. Tambang itu tersebar di Kecamatan Parang Loe dan Manuju, Kabupaten Gowa. Para pemilik tambang tersebut ada yang berskala perusahaan hingga perorangan.
Kepala Dinas ESDM Sulsel, Gunawan Palaguna mengatakan, praktik penambangan pasir diperbolehkan dan diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Ia menilai, tambang pasir juga dapat mengurangi tingkat sedimentasi di sungai.“Jeneberang ini bisa dibilang diberkahi pasir dan batuan yang melimpah dari Gunung Bawakaraeng,” ucap Gunawan.
Untuk bisa mengantongi IUP, pengusaha harus memiliki sejumlah rekomendasi, yakni dari Dinas ESDM Sulsel, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang, dan Pemerintah Kabupaten Gowa. Rekomendasi diberikan jika lokasi dan kaidah penambangan sesuai aturan. Namun, selain tambang pasir berizin, di Jeneberang juga marak penambangan ilegal yang biasanya melakukan penambangan secara manual tanpa alat berat.
Usai mendapati tambang pasir yang marak, tampak membentang Bendungan Bili-bili yang bertugas sebagai pengendali banjir dan penyuplai air baku. Bendungan yang berada di Desa Bili-bili Kecamatan Bontomarannu, ini menjadi benteng terakhir untuk menampung kiriman air dan sedimen dari hulu sebelum digelontorkan ke arah hilir yang padat permukiman.
Bendungan ini mampu menyediakan air baku sebesar 3300 liter per detik dengan luas areal irigasi 24.585 Hektar, serta memiliki pembangkit tenaga listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 20,1 Megawatt.
Setelah melewati Bendungan Bili-bili, Sungai Jeneberang bertemu dengan aliran Sungai Jenelata. Sungai ini kemudian melewati Bedung Bissua, Bendung Kampili, dan Bendung Karet, sebelum tiba di Selat Makassar. Ketiga bendungan ini total mengaliri irigasi dan persawahan seluas 23.690 hektar untuk Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar.
Hilir sungai
Perjalanan air Sungai Jeneberang sepanjang 75 kilometer kerap kali menemukan permukiman warga di bantaran sungai. Salah satunya di Desa Mangali, Kecamatan Palingga, Kabupaten Gowa. Di sisi timur Jembatan Kembar, terlihat masih banyak permukiman padat penduduk yang berada persis di bibir Sungai Jeneberang di desa ini.
Tak heran, banyak rumah warga yang ikut tersapu air saat banjir bandang datang pada 22 Januari lalu. Salah satunya rumah milik Denjoa (40), warga Desa Mangali. “Air sungai mulai naik jam 8 pagi. Tidak sampai 30 menit, air itu sudah tinggal sejengkal lagi lewati jembatan. Airnya kencang, bawa pergi rumah kami,” kata Denjoa.
Rumah kayu milik Denjoa seluas 7 meter kali 4 meter persegi itu kini rata dengan tanah tersapu banjir. Dia menaksir mengalami kerugian material rumah dan seisinya mencapai sekitar Rp 50 juta. Beruntung, saat banjir itu terjadi, istri dan anaknya sedang berada di rumah orangtuanya di Kabupaten Takalar.
Sejak rumahnya tersapu banjir, dia menetap sementara di gedung Sekolah Sungai milik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang di Desa Sunggu Minasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Denjoa dapat tinggal di sana karena kantor itu belum beroperasi. Hingga kini dia masih berupaya kembali membangun rumahnya.
Tak hanya menghilangkan rumahnya, banjir juga menyapu sumber mata pencahariannya. Sehari-hari Denjoa berkebun ubi jalar dan bunga di bantaran Sungai Jeneberang dekat Sekolah Sungai Lahan milik BBWS Pompengan-Jeneberang. Lahan seluas 50 meter persegi yang sebelumnya ditanami ubi dan bunga, itu kini hancur berantakan.
Selama lebih dari 15 tahun tinggal di sana, Denjoa mengatakan, baru kali ini banjir datang begitu dahsyat. Ia mengatakan, saat musim hujan, air sungai memang kerap naik, tetapi tidak sampai membuat banjir.
Setelah banjir menerjang rumahnya, Denjoa mengaku tidak takut atau kapok tinggal di pinggir sungai. Sebab, dia tidak punya pilihan tempat tinggal selain di sini. “Saya tidak punya uang untuk pindah ke tempat yang lebih baik. Mau pulang ke kampung, segan sama keluarga karena saya inginnya mandiri,” ujar Denjoa.
Tidak hanya di Palingga Gowa, permukiman di bantaran sungai juga terlihat di Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Lamalate, Kota Makassar. Lebih dari 100 rumah berdiri di atas sedimen sungai sehingga membuat lebar sungai menyempit. Saat banjir melanda Makassar 22 Januari silam, tiga rumah di kawasan ini pun hanyut terseret arus sungai.
Daeng Time (57) bersama suami dan tiga anaknya mengaku terpaksa tinggal di atas sedimen sungai karena tidak punya pilihan lain. Dia menyadari tinggal di bantaran sungai akan rawan terkena banjir. Kendati demikian, Daeng Time mengaku selama 13 tahun tinggal di Parang Tambung, baru kali ini ia mengalami banjir melampaui satu meter dan masuk ke rumahnya.
Farouk Maricar yang juga terdaftar sebagai anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Sulsel bidang pengairan, menilai, akibat tata ruang pembangunan wilayah buruk, ekosistem hulu sungai menjadi kritis. Saat puncak banjir, aliran air melimpah karena curah hujan tinggi dan tak memiliki aliran. “Sedimentasi sampai sistem drainase buruk membuat banjir makin tinggi,” katanya.
Setelah melewati permukiman di Lamalate, Sungai Jeneberang menemui muaranya di Selat Makassar. Disana juga ada permukiman warga dan nelayan yakni di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.
Muara Sungai Jeneberang juga punya cerita sendiri. Disini banyak delta atau tanah timbul yang muncul dari proses sedimentasi sungai selama bertahun-bertahun. Warga pun banyak tinggal disana. Desi Taba (53), warga Barombong, mengungkapkan, saat dirinya masih kanak-kanak, lokasi rumah yang ditinggalinya saat ini sebelumnya adalah laut. “Lama-kelamaan itu ada tanah. Ya sudah kita tinggal di sana,” ujar Taba.
Pria yang sehari-hari memiliki mata pencaharian sebagai penjual buah ini mengatakan, dirinya lahir dan besar di tempat ini. Sehingga dia tidak memiliki alasan untuk pindah. Ia mengaku juga tidak pernah terkena banjir.
Ia pun menjadi saksi di mana daratan semakin lama makin timbul dan makin menjorok ke laut. Hanya berselang Jembatan Barombong, di daerah Tanjung Bayang, Kecamatan Tamalate, juga muncul daratan yang makin hari menjorok ke laut.
Bedanya, tanah ini muncul karena buatan manusia atau reklamasi. Kini di tanah itu, terbangun permukiman mewah dan sejumlah pusat perbelanjaan. “Reklamasi mulai ramai sejak Pak Soeharto turun. Lalu 10 tahun terakhir saya kira, pembangunan rumah mewah dan toko-toko itu mulai ramai,” ujar Taba.
Adapun saat banjir besar akhir Januari lalu, air Sungai Jeneberang sempat meninggi tetapi tidak sampai tumpah dan mengguyur permukiman warga. Tidak seperti kebanyakan warga pesisir, Taba mengaku tidak kesulitan mendapatkan air bersih dengan mengebor sumur sedalam tiga meter di rumah. Namun bila mengebor lebih dalam lagi, air payau yang akan keluar.
Kondisi Jeneberang dari hulu ke hilir yang kritis mencerminkan perilaku manusia yang abai dengan lingkungan dan tak peduli mitigasi bencana. Tanpa adanya penanganan yang menyeluruh, bukan tidak mungkin bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor kembali melanda Sulawesi Selatan.
(Dimas Waraditya Nugraha/Benediktus Krisna Yogatama)