Di dalam Lubang Tambang Itu Seperti Pasar Ikan...
Heldi Mokoagow (34) terbaring lemah di ruangan rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kotamobagu, Sulawesi Utara, Sabtu (2/3/2019). Kaki dan tangan kanan terbalut perban. Jarum infus terpasang di pergelangan tangan kanan. Hampir sekujur tubuhnya penuh luka.
Sang ibu, Oki Wengke (65) dengan sabar mendampingi Heldi. Oki menyuapi Heldi dengan tenang. Sesekali Heldi meringis menahan rasa sakit di bagian kaki kanan. “Kaki saya terjepit batu di dalam,” ujar Heldi, saat ditemui, Sabtu.
Heldi adalah satu dari 18 petambang yang berhasil dievakuasi dengan selamat dari lokasi lubang tambang emas yang runtuh di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulut pada Selasa (26/2/2019) pukul 21.10 Wita. Sebanyak delapan orang dievakuasi dalam keadaan meninggal dan dua petambang lain meninggal di rumah sakit.
Saat lokasi tambang runtuh, Heldi sudah empat jam menggali di dalam lubang tersebut. Dia masuk pada Selasa sekitar pukul 17.00 Wita dan berencana keluar esok pagi. Beruntung saat bebatuan dan tanah runtuh, posisi Heldi berada dekat dengan dinding yang tidak ambruk.
Ketika bebatuan tambang ambruk, Heldi bersandar sembari menepis batu yang jatuh ke arah kepala. Kakinya terjepit batu dan membuat dia tak bisa bergerak. Heldi harus bertahan hidup sekitar 21 jam, sebelum ditemukan Rinto Mokoagow (27), sang adik. Rinto bergegas membawa Heldi keluar dari lubang untuk diangkut menuju rumah sakit.
Heldi mengisahkan, di dekat lokasinya berdiri ada setidaknya 20-an orang yang bergelimpangan terhimpit batu dengan beragam ukuran. Dari yang seukuran kepalan tangan hingga sebesar mobil. “Tapi itu di lokasi saya. Di lubang galian yang luas, bisa ada 50-an orang bahkan lebih. Setiap hari di dalam lubang itu ramai orang, seperti pasar ikan,” kata bapak dua anak tersebut.
Di lubang galian yang luas, bisa ada 50-an orang bahkan lebih.
Menurut Heldi, tak ada sedikit pun ada pertanda bahwa tanah di dalam lubang akan ambruk pada Selasa (26/2/2019) malam. Tidak ada bunyi retakan atau rontokan batu. Tiba-tiba runtuh begitu saja. Bruuk..!! Mereka yang sedang sibuk menambang pun tertimbun batu dan tanah.
Lubang busa
Lubang tambang yang runtuh di Desa Bakan, kerap dijuluki lubang busa oleh para petambang. Penyebutan ini diambil dari buih busa yang muncul saat batu hasil galian direndam. Berbusa menandakan kadar emas yang baik. Atas alasan ini pula emas di dalam lubang busa diburu para petambang liar.
Tak sulit untuk menambang di lubang busa. Heldi misalnya, hanya bermodal Rp 1 juta dapat membawa lima karung bebatuan yang mengandung emas. Uang tersebut untuk membayar jasa kuli angkut, transportasi, dan proses pencucian hingga menjadi emas. Tak hanya itu, ada juga biaya untuk parkir dan pungutan liar agar petambang bisa masuk ke lubang.
“Semua bisa masuk dan mengambil sekuatnya. Mau dari pagi sampai pagi, mau setengah hari, tidak ada batasan dan tidak ada rebutan. Pokoknya kalau sudah mengambil dan keluar, akan ada lagi yang masuk,” ucap Heldi.
Dalam sehari, Heldi dapat mengantongi keuntungan dari hasil penjualan emas sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. Bahkan, kadang lebih dari itu. Pendapatan yang menggiurkan ini membuat Heldi beralih profesi dari sebelumnya sebagai buruh bangunan. “Kalau jadi kuli bangunan sehari paling dapat Rp 100 ribu. Dari menambang emas jauh lebih banyak,” tutur Heldi.
Ambisi mendapatkan bongkahan-bongkahan dengan kadar emas terbaik, membuat para petambang, termasuk Heldi, berkerumun bak semut menghamipiri gula. Mereka terus memenuhi lubang tambang dan mengambil bebatuan di perut gunung hingga area bekas galian sudah membentuk seperti kubah. Keamanan dan keselamatan seolah tak dipedulikan.
Namun, ada segelintir warga yang mempertimbangkan keselamatan sehingga berhenti menambang. Maskom Momanto (40) salah satunya. Warga Desa Bakan ini pernah menambang di lokasi yang saat ini runtuh selama lima bulan, Juli-November 2018.
Maskom akhirnya berhenti dan bertani kakao. “Saya khawatir melihat situasi di dalam lubang. Bekas galian sudah sangat luas seperti kubah. Di samping itu ada terowongan yang malang-melintang bukan hanya mendatar tapi juga dari atas ke bawah,” kata Maskom.
Kepala Desa Bakan Hasanudin Mokodompit mengakui, tiap hari, ratusan orang biasa menambang. Namun, banyak petambang dari luar Desa Bakan. Aparat desa sudah berkali-kali melarang tetapi warga tak peduli. “Mereka tetap menambang karena penghasilannya besar,” ucap Hasanudin.
Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow mengungkapkan, lubang tambang ilegal itu di dalam konsesi kontrak karya tambang emas PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM). Untuk itu, pembukaan lubang tambang itu dipastikan ilegal.
Evakuasi terkendala
Hingga Senin (4/3/2019), regu pencari masih mengandalkan alat berat untuk mengevakuasi sisa petambang yang masih tertimbun. Sesuai kesepakatan tim pencari gabungan, Badan Pencarian dan Pertolongan (SAR) Nasional, pun menambah masa pencarian selama tiga hari.
Direktur Operasi Badan SAR Nasional Brigadir Jenderal (Mar) Budi Purnama mengakui, evakuasi terkendala bebatuan yang labil dan medan terjal sehingga proses evakuasi terhambat karena perlu dibantu dengan alat berat. Selain itu, bebatuan besar yang berserak di dalam lubang. Kondisi ini dapat membahayakan tim pencari yang hendak masuk lubang.
Evakuasi dilakukan sekitar 400 personel terdiri atas petugas Badan SAR Nasional, tentara, kepolisian, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bolaang Mongondow, tentara, kepolisian, dan regu tanggap darurat PT JRBM. Jalan perusahaan PT JRBM menjadi jalur evakuasi dan akses mendekat menuju lokasi tambang runtuh.
Pada Senin (4/3/2019) sore, tim pencari gabungan berhasil menemukan beberapa potongan jasad petambang yang dimasukkan dalam dua kantong mayat. Potongan tubuh itu dievakuasi dengan dibantu alat berat. Belum dapat dipastikan jasad yang tidak utuh tersebut dari orang yang berbeda.
Potongan jenazah tersebut langsung dibawa oleh ambulans ke pos ante mortem kepolisian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotamobagu untuk keperluan identifikasi yang dilakukan tim identifikasi korban bencana (DVI) Kepolisian Daerah Sulut.