Bupati Gowa: Saya Orang yang Paling Bahagia jika Tambang Pasir Ditertibkan
Kabupaten Gowa merupakan daerah yang paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Sulawesi Selatan pada 22 Januari 2019. Bencana ini menewaskan 46 korban jiwa dan membuat lebih dari 2.000 orang mengungsi.
Selain dipicu curah hujan ekstrem, banjir dan longsor di Gowa dinilai terkait dengan kondisi Daerah Aliran Sungai Jeneberang yang kritis. Sungai sepanjang 75 kilometer tersebut memiliki problematika cukup kompleks, seperti alih fungsi lahan yang masif di bagian hulu, tambang pasir yang marak di bagian tengah, dan tingkat sedimentasi yang tinggi di bagian hilir.
Lalu, apa upaya Pemerintah Kabupaten Gowa untuk mengatasi persoalan lingkungan di DAS Jeneberang. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan di kantor Pemkab Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (7/2/2019).
Menurut Anda apa penyebab utama banjir yang melanda Gowa pada 22 Januari 2019?
Yang pertama itu memang karena curah hujan. Dari 2.000 mm per tahun curah hujan, dalam satu hari kemarin sudah mencapai 329 mm per hari. Artinya, 35 persen sudah diambil satu hari. Kemudian, terjadi elevasi di Bendungan Bili-bili dari batas toleransi 103 mm, kemarin sudah mencapai 101,87. Sesuai prosedur balai (Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang) harus dilakukan pembukaan pintu air. Setelah dilakukan pembukaan, dia bertemu dengan aliran Jenelata. Aliran ini sangat deras karena kapasitas hanya 700 (meter kubik per detik), sedangkan aliran dari Jenelata mencapai 1.200 meter kubik per detik. Bukti derasnya aliran Jenelata adalah hancurnya Jembatan Jenelata di Moncong Loe.
Pertemuan dua arus (sungai) yang kuat ini berbahaya. Saat rapat yang dipimpin Wakil Presiden (Jusuf Kalla) di Kantor Gubernur (Sulsel), saya mengusulkan (dibangun) bendungan Jenelata untuk mengantisipasi banjir pada masa mendatang. Selain mereduksi air, memang ada empat bendungan sekarang ini, yakni bendungan Bili-bili, Parang Loe, Nipa-nipa, dan Panupu. Semua bendungan ini tidak mengaliri Kabupaten Gowa hanya mengaliri kabupaten tetangga.
Saya usulkan juga untuk mengawasi lahan-lahan konservasi yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Karena, kita ketahui dari tahun 2016 urusan perhutanan pertambangan bukan lagi urusan kabupaten, melainkan sudah menjadi urusan pemerintah provinsi dan kementerian. BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) untuk kehutanan.
Ketika wewenang ini beralih, pemerintah kabupaten tidak memiliki taring kewenangan untuk melarang orang-orang yang melakukan alih fungsi lahan. Apalagi melarang orang-orang menebang pohon. Di Malino, yang sudah jelas-jelas tertulis dilarang pengalihan fungsi lahan, malah ada vila. Saya tidak pernah menerbitkan IMB (izin mendirikan bangunan). Orang dengan bebas membangun vila. Tetapi, konsekuensinya tebang pohon. Kami tidak punya kewenangan untuk melarang dan kami tidak punya kewenangan untuk menghentikan.
Kemudian, masalah pertambangan, saat gubernur (Sulsel) mengusulkan pertambangan pasir (ditertibkan), orang yang paling berbahagia adalah saya secara pribadi dan juga secara kelembagaan Kabupaten Gowa. Karena kenapa, kami tidak mendapatkan apa-apa dari penambangan tersebut. Tidak ada PAD (pendapatan asli daerah) yang masuk ke Pemerintah Kabupaten Gowa dari pertambangan tersebut. Sebaliknya, kerusakan yang kami dapatkan dari tambang tersebut. Semua jalanan yang ada di Gowa rusak karena truk 10 roda. Yang menjadi celaka bagi Pemkab Gowa, masyarakat tidak mau tahu jalanan jadi kewenangan kabupaten, provinsi, atau jalan nasional. Selama berada di Kabupaten Gowa, maka masyarakat akan menilai Pak Bupati kerjanya tidak benar. Efek kerugian pemda dari tambang bisa ratusan miliar.
Tetapi, ada dua (hal) yang harus dipikirkan kalau tambang ditutup. Pertama, khusus untuk kategori sandpocket itu wajib ditambang untuk mengantisipasi material masuk ke dalam bendungan. Yang kedua mengantisipasi terjadinya pendangkalan sehingga di titik-titik sandpocket wajib ditambang untuk mengambil sedimentasi. Kedua, semua material bangunan, baik batu maupun pasir, di Kota Makassar dan di Gowa itu diambil dari sepanjang Sungai Jeneberang. Kalau ini ditutup, di mana mau ambil material untuk pembangunan di Makassar dan Gowa.
Apakah ada kemungkinan bencana serupa bisa berulang, terutama apabila tidak ada perbaikan di kondisi hulu?
Makanya, saya dorong percepat itu perda (peraturan daerah) dan pembentukan satgas. Bahkan, kalau perlu ada perpres (peraturan presiden), seperti di (Sungai) Citarum. Kalau ada perpres, kan, semua bergerak cepat.
Usulan saya perda karena ada di level provinsi ya. Tetapi, kalau ada perpres, itu lebih baik lagi. Artinya, semua kementerian langsung turun juga. Level Pak Wapres atau menko yang langsung memimpin rapat. Langsung pembagian tugasnya apa supaya jelas. Nanti kan kelihatan siapa yang enggak jalan kalau sudah ada pembagian tugas sehingga tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab.
Karena bencana paling parah terjadi di Gowa, sementara pemkab tidak ada wewenang terhadap Daerah Aliran Sungai Jeneberang. Lalu, apa yang dapat Pemkab Gowa lakukan?
Kemarin waktu rapat dengan Wagub Sulsel dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), saya usulkan ini harus ada perda dan pergub (sebagai payung hukum untuk tim yang bertugas) untuk semacam satgas. Pak Gubernur sebagai ketua tim satgas dibantu kapolda dan pangdam sehingga kalau ada pelanggaran, langsung ditindak kepolisian. Dibantu juga oleh kejati sebagai wakil ketua. Kemudian, masuk juga di dalamnya dari balai PUPR, kemudian Balai KSDA. Perbaikan reboisasi harus (tercantum) dalam perda agar ada sanksi tegas saat (terjadi) pelanggaran. Peraturan bupati tidak diperkenankan mengeluarkan sanksi.
Perda (Provinsi Sulsel) yang bisa memasukkan sanksi untuk pelaksanaannya kalau satgasnya yang bekerja di bawah peraturan gubernur. Semua elemen yang bertanggung jawab dan punya kewenangan di sungai tersebut masuk tim satgas dan sama-sama bekerja sesuai porsinya. Jadi, jangan pintar bicara tetapi tidak ada aksi. Saran dan masukan, bisa dimasukkan dalam tim itu.
Gunung Bawakaraeng juga mungkin perlu ada direktorat khusus karena menangani gunung dan hutan berbeda. Beberapa kali kami buat diskusinya yang melibatkan anak-anak pencinta alam. Justru kami lebih ekstrem, kami mau tutup (jalur pendakian ke Bawakaraeng), tidak boleh ada pendakian sampai kami perbaiki dan bersihkan. (Melakukan) Reboisasi kondisi gunung.
Orang banyak salah artikan dan tafsirkan statement saya. Saya bedakan pencinta alam dan pendaki. Pencinta alam tidak membuang sampah di sembarang tempat dan merusak tumbuhan tanaman. Tetapi, sebagian pendaki meninggalkan sampah dan pohon-pohon di sana hilang. Ini harus dibedakan kategorinya kalau ada yang katakan tidak benar. Saya ada foto dan video kondisi Bawakaraeng. Kira-kira sampah siapa yang bawa? Apakah turun dari langit? Tidak mungkin. Kerusakan di Gunung Bawakaraeng sudah jelas.
Kalau Gowa sudah ada tim Satgas sendiri?
Ada kumpulan pakar untuk mendiskusikan Bawakaraeng. Sudah tiga kali kami buat diskusinya untuk Bawakaraeng, termasuk (kawasan) Malino dan sekitarnya. Produknya dari (diskusi) tim pakar ini kami dorong regulasi atau pembentukan perda untuk perlindungan Gunung Bawakaraeng. Permasalahan yang ada di hilir dan sepanjang DAS Jeneberang ini berawal dari Bawakaraeng. Kalau Bawakaraeng bagus, yang lain pasti juga ikut bagus. Makanya, kemarin kami diskusi melibatkan pencinta alam juga supaya kita satu visi kalau kondisi Bawakaraeng itu memang kritis. Tidak akan mungkin bisa dilakukan perbaikan kalau orang yang mendaki di atas tidak ditahan, sementara ratusan ton sampah di Bawakaraeng tidak diturunkan. Untuk pembersihan, makan waktu berbulan-bulan. Baru setelah itu kita lakukan reboisasi.
Sebelum bencana terjadi pemda sudah sempat melakukan ini?
Sampai saat ini belum.
Kemarin kenapa belum, Pak? Apakah tidak pernah terpikir?
Namanya bencana, kan, kita tidak pernah tahu kapan terjadinya.
Untuk kerusakan lahan di Gunung Bawakaraeng sendiri karena apa?
Ya, salah satunya itu tadi, pembalakan hutan. Sebagian pendaki yang tidak tahu aturan merusak lingkungan, misal mau bangun tenda, akar pohon yang dijadikan patok. Termasuk alih fungsi lahan yang ada di kemiringan, (menjadi) tanaman yang tidak punya akar seperti jagung, kentang, dan lain-lain. Sebenarnya yang cocok di kemiringan itu dua saja cokelat dan kopi, karena itu punya akar dan penahan longsor. Tetapi, kenapa masyarakat memilih jagung? Karena panen tiga bulan sekali, (sedangkan) kopi dan cokelat butuh waktu 4-5 tahun. Jika ada satgas nanti (akan) dipikirkan (solusinya).
Perlu diingat juga Bawakaraeng ini tidak hanya di Gowa, tetapi ada juga (Kabupaten) Sinjai, Bulukumba. Butuh perda, karena kalau (hanya) dipasang (larangan) di Gowa, dia (pembalak dan warga yang melakukan alih fungsi lahan) juga bisa masuk dari kabupaten lain.
Terakhir, data sampah di atas (menunjukkan) puluhan ton sampah ada di Bawakaraeng. Paling mengerikan kalau sudah mendekati 17 Agustus, pendaki naik membawa bekal, tetapi turun tidak bawa sampah.
Satgas bisa membuat program pengganti pembudidayaan di lereng menjadi kopi dan cokelat, tetapi kami bagi (tugas). Pemprov dan pemkab bertanggung jawab kira-kira sebelum empat tahun apa pekerjaan masyarakat supaya tidak kehilangan penghasilansambil menunggu cokelat dan kopi panen. Kalau cuma bicara kabupaten, kan kemampuan keuangan kabupaten juga terbatas. Kalau berjalan dengan koordinasi yang baik, insya Allah selesai. Selama didukung juga oleh TNI dan kepolisian.
Penunjukan Taman Wisata (TWA) Malino baru 1991, sementara ada keterlanjuran pembukaan lahan di sana dari tahun 1960-an. Apa yang bisa dilakukan Pemkab Gowa untuk mengatasi keterlanjuran ini?
Kita bisa lihat, mana bangunan yang baru dan bangunan lama. Tidak usah saya menjawab, silakan Bapak-Ibu ke sana sekaligus mengklasifikasikan mana yang kira-kira bangunan tua dan mana yang kira-kira bangunan baru. Di situ kita bisa pilah mana yang kira-kira bangunan dari tahun 1960-an, mana yang (tahun) 2000, mana yang 2018. Jadi, jangan dibilang kalau semua bangunan lama.
Untuk perbaikan DAS apa yang jadi prioritas Pemkab Gowa? Sebab, di luar TWA Malino banyak juga hutan yang sudah dirambah.
Seperti yang saya katakan tadi, Pemkab Gowa perlu mengedukasi masyarakat mengganti tanaman jagung yang ada di lereng dengan yang akarnya lebih kuat seperti kopi dan cokelat. Aparat kami akan memberikan edukasi kepada masyarakat mulai dari camat, kepala desa, kepala dusun. Nah, pemkab dan pemprov perlu memikirkan, apa yang harus kita berikan kepada masyarakat selagi menunggu kopi dan cokelat itu panen. Misalkan diberikan bantuan dana untuk kelompok usaha bersama. Harus ada program yang kita berikan sambil menunggu 4-5 tahun panen. Orang memilih jagung karena setiap 3 bulan panen. Penghasilan. Ini masalah perut. Kita berharap ada tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) jelas antar-pihak yang berwenang.
Sama halnya dengan DAS, tidak bisa kita serahkan semuanya ke PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Karena KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga punya kewenangan untuk DAS. Saya sangat mengapresiasi Kepala BNPB Doni Monardo karena timnya yang di Citarum mau dibawa ke sini untuk menangani Jeneberang. Tetapi, yang perlu kita ketahui menangani Citarum (dengan Jeneberang) kan berbeda. Di mana pelibatan kabupaten dan pemprov di situ. Itulah yang saya maksud itulah kenapa diperlukan satgas untuk perbaikan DAS jeneberang dari hulu ke hilir. Tetapi harus semuanya terlibat di situ. Sanksi dibutuhkan untuk efek jera. Pentingnya sanksi ini karena seringkali ada oknum pemerintah yang bermain di situ. Usulan saya segera buat peraturan daerah dan peraturan gubernur untuk konservasi.
Konkretnya supaya warga mau beralih komoditas, gebrakan apa yang bisa dilakukan Pemkab Gowa?
Pertama kita lakukan feasebility studies (studi kelayakan) terlebih dulu, pengkajian dulu terhadap mereka (masyarakat) semua. Baru kita temukan apa yang cocok untuk mereka baru kita panggil dan sosialisasi. Pemda kemudian pikirkan program yang tepat untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat, selagi menunggu panen kopi dan cokelat sesuai kondisi sosial di wilayah masing-masing. Setelah itu baru inilah yang menjadi (solusi) sementara menuju permanen. Butuh anggaran yang besar ini sehingga butuh kerja sama semua pihak termasuk Pemprov Sulsel.
Untuk pembuatan perda sudah ada rapat dengan Gubernur Sulsel?
Sampai saat ini belum ada. Tapi, kami mendorong itu. Kalau bisa sampai dalam bentuk perpres itu luar biasa.
Sebelum ada kejadian ini, apa kendala terbesar untuk mengatasi persoalan Jeneberang?
Kewenangan saja, kami tidak punya kewenangan untuk mengatasi itu, seperti tambang dan alih fungsi lahan di TWA Malino. Boleh dicek, tidak ada rekomendasi untuk tambang baru selama pemerintahan saya, yang ada hanya perpanjangan. Tetapi, yang harus diketahui, sebelum pengusaha mengajukan izin kepada kami, sudah ada peta yang mereka pegang dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Sulsel terkait wilayah yang dapat diperpanjang (izin tambangnya). Kalau minta izin baru, pasti saya tolak. Tetapi, kalau perpanjangan, ya sudah, namanya orang sudah telanjur investasi.
Terkait tambang pasir ilegal, apakah pemkab punya wewenang untuk berkoordinasi dengan kepolisian untuk menertibkan ini?
Kami punya tim terpadu, pemda, kepolisian, TNI (Kodim), dan kejaksaan, untuk penertiban tambang liar sudah berjalan dari 2017. Namanya Tim Peti (Penertiban Tambang Ilegal) Gowa. SK peraturan bupati. Cuma kan memang melakukan penertiban tambang liar ini seperti main kucing-kucingan. Kita awasi dari pagi ke malam, dia tambang dini hari. Mereka bisa tahu saya yakin karena bocor. Ada oknum yang membocorkan? Pasti. Itu sudah kita pastikan ada oknum pemda yang ikut bermain.
Ada data berapa tambang ilegal yang sudah ditertibkan Tim Peti?
Sudah banyak, ada puluhan sudah.
Itu kebanyakan pemiliknya warga lokal atau mana Pak, ada dari Jakarta dan pembesar juga?
Gabung, silakan Anda tafsirkan maksud saya gabung apa.
Kalau ada oknum yang terlibat karena kucing-kucingan karena penertiban, itu indikasinya oknum penegak hukum atau pemerintahan?
Aparat. Aparat saja saya katakan karena saya yakin Anda sudah mengerti maksud saya. Luas wilayah tambang cukup banyak, sementara petugas kami sedikit sehingga sudah sulit juga kami tertibkan. Tetapi, alhamdulillah sudah membaik karena penegakan Tim Peti, tim penertiban tambang ilegal.
Ada upaya pak untuk melacak oknum tersebut dan memberikan sanksi?
Pokoknya kapasitas pemda hanya penertiban. Ketika ada pelanggaran, kami sita. Tetapi, proses penegakan hukumnya itu ada di tangan kepolisian dan kejaksaan.
BBWS Pompengan-Jeneberang pernah memberi masukan ke Pemkab Gowa untuk menindak bangunan yang ada di bantaran sungai. Apa tindak lanjut dari Pemkab Gowa?
Saya juga sudah sampaikan kepada kepala balai, beberapa bangunan di bantaran sungai bersertifikat dari BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kami mau menertibkan ya tidak bisa juga itu. Termasuk yang membuka tanggul, dia menang di pengadilan karena itu masih hak milik dia dan belum dibebaskan oleh balai. Tidak semua dibebaskan. Ketika kami mau tertibkan ini, ternyata sudah memiliki sertifikat, makanya kami bingung bagaimana ini kok sudah memiliki sertifikat.
Dulu pernah mau ditertibkan sebelum saya. Itu Bapak saya dulu. Kendala karena sudah ada sertifikatnya.
Ciliwung itu kan yang menertibkan Pemda DKI, balai besar yang melakukan normalisasi.
Tapi, kan, tidak ada yang punya sertifikat di situ, masih semipermanen semua. Semua bangunan liar.
Ya, artinya kan tidak boleh ditertibkan itu di sempadan sungai, izin lain dari pemerintah tidak ada?
Iya itu kan kewenangan BPN menerbitkan sertifikat. Bahkan, kami hampir membongkar itu sekolah sungainya balai besar sungai PUPR. Itu hampir kami bongkar, ada surat resmi balai ke saya akhirnya tidak jadi kami bongkar. Tapi apa yang tidak kami bongkar itu karena sudah bersertifikat dan hak milik. Itu yang pemda tidak bisa tertibkan.
Ada lahan yang masyarakat tempati, tetapi di lahan yang memang belum dibebaskan oleh BBWS. Apakah pemda bisa menertibkan itu? Pemilik lahan yang bisa membebaskan lahan. Putusan pengadilan sudah menetapkan sebagai hak miliknya dia sampai pengadilan di MA.
Kemarin ada usulan warga yang tinggal di rawan bencana untuk relokasi. Bagaimana dengan di Gowa?
Kami rencanakan untuk relokasi mereka di daerah Manuju (dan) Patiro. Untuk relokasi mereka ke daerah di sekitar situ, di lahan yang minim potensi longsor. Kami ajukan juga bantuan ke BNPB untuk bisa mendapatkan anggaran relokasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi. Kalau kita dapatkan itu, kita bisa bantu masyarakat kita untuk bangun kembali bangunannya, kemudian lahan nanti pemda yang siapkan. Semua yang terdampak longsor.