Vonis Billy Sindoro Lebih Rendah daripada Tuntutan Jaksa
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan pidana penjara 3,5 tahun dan denda Rp 100 juta kepada Billy Sindoro, terdakwa kasus suap perizinan proyek properti Meikarta. Vonis itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta.
Majelis Hakim Tipikor yang diketuai Tardi, dengan anggota Judianto dan Lindawati, menyatakan, Billy Sindoro dan tiga terdakwa lainnya, yaitu Henry Jasmen P Sitohang, Fitradjaja Purnama, dan Taryudi, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Hal itu sesuai dakwaan kedua, yaitu Pasal 5 Ayat 1 Huruf ”b” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Ketiga terdakwa lainnya juga divonis lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Henry yang dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Sementara Fitradjaja dan Taryudi divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Keduanya dituntut 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Dalam sidang sebelumnya, Fitradjaja dan Taryudi telah mengakui perbuatannya. Hal itu menjadi salah satu yang meringankan dalam hal hakim mengambil keputusan.
Hakim menyatakan terdakwa terbukti memberikan suap kepada Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hasanah Yasin dan sejumlah pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sesuai dakwaan, pemberian suap itu dilakukan secara bertahap dengan total uang Rp 16,18 miliar dan 270.000 dollar Singapura. Suap diberikan untuk memuluskan perizinan proyek Meikarta.
Hakim menyatakan terdakwa terbukti memberikan suap kepada Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hasanah Yasin dan sejumlah pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Proyek Meikarta merupakan pembangunan kawasan komersial, meliputi apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan, dan perkantoran di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, dengan total luas 438 hektar. Proyek yang dibagi dalam tiga tahapan pembangunan itu dilakukan PT Lippo Cikarang melalui anak perusahaannya, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU).
Jaksa menyatakan, Billy bertugas mengurus perizinan proyek tersebut. Billy kemudian merekrut Henry, Fitradjaja, dan Taryudi.
Setelah membacakan vonis, majelis hakim mempersilakan keempat terdakwa menanggapi putusan itu. ”Saudara (terdakwa) mempunyai hak untuk pikir-pikir dalam waktu tujuh hari. Jika sudah cukup, bisa menyatakan menerima. Kalau tidak puas, bisa banding. Hal yang sama berlaku untuk jaksa penuntut umum,” tutur ketua majelis hakim, Tardi.
Keempat terdakwa kemudian berkonsultasi dengan penasihat hukum masing-masing. Fitradjaja dan Taryudi menerima keputusan hakim itu. Sementara Billy dan Henry menyatakan masih pikir-pikir.
Jaksa KPK juga menyatakan masih pikir-pikir atas keputusan hakim. Mereka akan mempelajari vonis tersebut untuk menentukan sikap, menerima atau mengajukan banding.
Sidang pembacaan putusan berlangsung selama 1,5 jam. Dalam persidangan, keempat terdakwa lebih sering menunduk.
Dalam sidang tuntutan sebelumnya, jaksa menyinggung tentang pidana korporasi yang diduga dilakukan PT MSU. ”Kami akan pelajari putusan hakim untuk melihat keterkaitan pidana korporasi dalam kasus ini,” ujar jaksa KPK, I Wayan Riana, seusai persidangan.